JAKARTA: Monumen Pancasila Sakti – Lubang Buaya

Kali ini saya menuju ke Jakarta Timur, tepatnya di daerah Lubang Buaya. Di sini saya akan mengunjungi Monumen Pancasila Sakti bersama dengan Jakarta Good Guide. Nama daerah ini pastinya cukup familiar bagi kita yang dulu wajib menonton film Pengkhianatan G 30 S PKI, karena menjadi lokasi peristiwa G 30 S yang menewaskan tujuh Pahlawan Revolusi. Mendengar akan ada Museum Tour ke sini, saya langsung mendaftarkan diri. Biar tidak penasaran dengan apa saja yang ada di dalam kawasan ini, yuk kita ikuti perjalanannya!

Cerita Di Balik Nama Lubang Buaya

Monumen Pancasila Sakti ini berada tak jauh dari Taman Mini Indonesia Indah. Tepatnya berada di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Untuk menuju ke sini, kita bisa menggunakan bus Transjakarta dengan tujuan akhir Pinang Ranti dan dilanjutkan dengan naik angkot atau ojek online. Pintu masuknya tampak jelas dari Jalan Raya Pondok Gede. Untuk masuk ke dalam, kita berjalan kaki. Tiket masuknya sebesar Rp4.000 per orang, jika membawa kendaraan kalian harus membayar Rp5.000 untuk sepeda motor dan Rp15.000 untuk mobil. Lapangan parkir di dalamnya terbilang cukup besar.

Nah, kenapa namanya Lubang Buaya? Jadi, dulu jauh sebelum meletusnya peristiwa G 30 S, di dekat daerah ini terdapat sungai bernama Sunter, yang terbilang berbahaya karena banyak sekali buaya yang berkeliaran. Buaya-buaya ini membuat lubang untuk bersembunyi dan bersarang, dari situ kemudian nama daerah ini menjadi Lubang Buaya. Selain itu juga ada mitos yang berkaitan dengan siluman buaya putih. Berkat seorang sakti bernama Pangeran Syarif, siluman buaya putih ini berhasil dimusnahkan. Dikisahkan, dulu pada abad ke-7, Pangeran Syarif melakukan perjalanan ke Sunda Kelapa menggunakan perahu getek atau perahu bambu melalui Kali Sunter. Saat melewati daerah ini, perahunya tiba-tiba tersedot ke dalam sebuah lubang hingga menyentuh dasar sungai. Beruntung dirinya selamat dan tidak ikut terseret ke dalamnya. Ternyata itu adalah ulah siluman buaya putih bernama Pangeran Gagak Jakalumayung, yang memiliki anak bernama Mpok Nok yang berwujud buaya tanpa ekor atau buaya buntung. Pangeran Syarif lalu melawan keduanya hingga masuk ke dalam kampung. Ia pun berhasil menaklukkan kedua siluman ini dan mencetuskan nama Lubang Buaya sesuai dengan kampung tempat ia melawan siluman buaya. Sejak itu, nama daerah ini dinamai Lubang Buaya.

Selain itu, Pangeran Syarif juga diceritakan mampu mengelabui pasukan Belanda yang hendak menguasai daerah ini. Berkat doa yang dipanjatkannya, pasukan Belanda melihat daerah ini seperti lautan atau banjir dan akhirnya tidak jadi menyerbu. Warga pun memanggil Pangeran Syarif dengan nama Datok Banjir berkat kemampuan saktinya ini.

Sejarah Tentang Partai Komunis Indonesia

Sebelum kita melangkah masuk ke dalam kawasan Monumen Kesaktian Pancasika, kita bahas secara singkat tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituding sebagai dalang utama di balik peristiwa G 30 S. Jadi PKI ini dulu merupakan partai komunis terbesar, di luar Tiongkok dan Uni Soviet, bahkan sudah jauh ada sebelum Indonesia Merdeka. Cikal bakal PKI adalah serikat buruh bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang dibentuk oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet atau yang dikenal dengan Henk Sneevliet. Anggotanya saat itu adalah 85 orang Belanda yang bekerja di pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda. ISDV juga memperkenalkan ide-ide Marxis kepada pribumi, terutama buruh, untuk menentang kolonial. Anggotanya pun bertambah mencapai 400 orang dan kebanyakan adalah pribumi. Pemerintah Belanda melihat jika organisasi ini sebagai ancaman dan memulang para pentolan ISDV ke Belanda, termasuk Sneevliet pada 1918.

Henk Sneevliet. Sumber: tribunnewswiki.com
Anggota Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Sumber: tribunnewswiki.com
Pertemuan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Batavia pada 1925. Nama PKI sendiri mulai dipakai pada 1924. Sumber: id.wikipedia.org

Anggota ISDV yang tersisa lalu mendirikan Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) pada 1920, dengan Semaoen sebagai ketua dan Darsono sebagai wakil ketua. Pada 1924, PKH mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia dan resmi menjadi organisasi politik yang mendukung pergerakan kemerdekaan Indonesia. Meski berpaham komunis, PKI justru bisa mendapatkan suara mayoritas pada Pemilihan Umum 1955. PKI berhasil meraih 16,4 persen suara dan menempati posisi keempat di bawah PNI, Masyumi, dan NU.

Awal Mula Terjadinya Peristiwa G 30 S

Lalu, apa yang menyebabkan terjadinya peristiwa G 30 S ini? Sesuai dengan penjelasan yang paling umum, dilatarbelakangi oleh kemunculan konsep ideologi Nasionalisme, Agama dan Komunisme (NASAKOM) yang berlangsung sejak era Demokrasi Terpimpin yang diterapkan dari tahun 1959-1965 di bawah kekuasaan Presiden Soekarno. Selain itu ada ketidakharmonisan antara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan PKI, karena rencana pembentukan Angkatan Kelima, yang terdiri dari buruh dan tani di luar Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dan Polisi. Pembetukan Angkatan Kelima ini merupakan salah satu usulan PKI yang diterima oleh Soekarno. Di sisi lain, para petinggi ABRI tidak menyetujuinya karena khawatir akan disalahgunakan untuk mempersenjatai buruh dan tani untuk melakukan pemberontakan.

Tokoh PKI D.N. Aidit saat berkampanye pada Pemilu 1955. Sumber: wikipedia.org

Selain itu, penyebaran ideologi komunis yang dilakukan PKI juga menimbulkan kecurigaan dari kelompok anti-komunis. Hal ini yang membuat PKI yang saat itu dipimpin oleh Dipa Nusantara Aidit menyebarkan desas-desus bahwa ada beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya melalui Dewan Jenderal.

Letkol Oentoeng saat menjalani pengadilan di Mahkamah Militer Luar Biasa. Sumber: tvonenews.com

Di salah satu versi, dikatakan bahwa isu ini terdengar oleh Komandan Batalyon I Tjakrabirawa Letnan Kolonel Oentoeng Sjamsoeri, yang merupakan pasukan khusus pengawal presiden. Dia lalu mengangkat diri sebagai Ketua Dewan Revolusi sekaligus menginisasi dan memimpin Gerakan 30 September untuk melindungi Soekarno. Ia kemudian merencanakan aksi bersenjata dengan menangkap sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang terlibat dalam Dewan Jenderal. Di versi lainnya, operasi penculikan Dewan Jenderal merupakan inisiatif D.N. Aidit. Pertemuan untuk merencakan penculikan dilakukan menjelang akhir Agustus 1965, dibantu oleh Kepala Biro Chusus PKI, Sjam Kamaruzaman. Baru pada pertemuan di rumah Sjam di Jalan Pramuka di 22 September 1965, Sjam bersama asistennya Supono Marsudidjojo, mengundang tiga perwira menengah ABRI yang menjadi kandidat utama pelaksana, mereka adalah Letkol Oentoeng, Kolonel Abdoel Latief yang menjabat Komandan Garnisun Kodam Jaya, dan Mayor (Udara) Sujono, Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim Perdanakusumah.

Dalam pertemuan penyusunan sasaran gerakan, selain menargetkan tujuh jenderal, mereka juga mengusulkan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, dan Brigadir Jenderal Ahmad Soekendro, jenderal intelijen di Angkatan Darat. Namun Aidit kemudian mencoret nama Mohammad Hatta dan Chairul Saleh. Sedangkan Ahmad Soekendro tercoret karena saat itu dia sedang berada di Beijing untuk mewakili pemerintah dalam rangka perayaan hari kelahiran Tiongkok.

Tujuh jenderal yang kemudian masuk dalam target penculikan adalah:

1. Jenderal Abdul Haris Nasution, Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata

2. Letnan Jenderal Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi

3. Mayor Jenderal Soewondo Parman, Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat Bidang Intelijen

4. Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Deputi II Menteri/Panglima Angkatan Darat Bidang Administrasi

5. Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat Bidang Perencanaan dan Pembinaan

6. Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan, Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat Bidang Logistik

7. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo, Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat

Kronologi Meletusnya G 30 S dan Penumpasan PKI

Mulanya, peristiwa ini direncanakan berlangsung pada 30 September. Namun terpaksa mundur menjadi 1 Oktober 1965 dini hari dikarenakan untuk persiapan. Di saat-saat akhir, nama operasi yang awalnya diberi nama Operasi TAKARI itu diubah menjadi Gerakan 30 September agar tidak berbau politik. Itu pula yang membuat nama Hatta dicoret, tujuannya agar menyamarkan gerakan ini sebagai konflik internal.

Untuk merekrut pasukan, Letkol Oentoeng mendekati komandan batalyon yang saat itu berada di Jakarta untuk meramaikan HUT ABRI ke-20 yang jatuh pada 5 Oktober 1965. Pasukan dari daerah ini merupakan utusan dari masing-masing KODAM di Pulau Jawa. Momen ini dimanfaatkan Letkol Oentoeng untuk merekrut pasukan, apalagi dulu dirinya adalah perwira KODAM Diponegoro yang berprestasi.

Untuk melancarkan operasi ini, Letkol Oentoeng membagi pasukan menjadi tiga satuan tugas (satgas), yakni Pasopati, Bimasakti dan Pringgodani. Satgas Pasopati terdiri dari anggota Batalyon I Tjakrabirawa dan Brigade 1 Kodam Jaya, bertugas untuk menculik tujuh jenderal. Letkol Oentoeng menunjuk Letnan Satu Doel Arief dari Batalyon I Tjakrabirawa menjadi komandan pasukan Pasopati. Sedangkan Satgas Bimasakti yang terdiri dari Batalyon 454 Diponegoro dan Batalyon 530 Brawijaya, bertugas mengamankan Monumen Nasional dan menguasai kantor Pusat Telekomunikasi dan Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat. Satgas Bimasakti dipimpin oleh Kapten Soeradi Prawirohardjo dari Batalyon 530 Brawijaya. Lalu Satgas Pringgodani atau Gatotkaca bertugas mempertahankan pangkalan Halim Perdanakusumah dan Lubang Buaya yang menjadi basis utama G 30 S. Satgas ini akan diisi oleh Batalyon Pasukan Gerak Tjepat AURI dan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim Perdanakusumah, serta sukarelawan dari Pemuda Rakjat. Satgas Pringgodani ini dipimpin oleh Mayor (Udara) Soejono.

Tepat pada pergantian hari Kamis, 30 September menuju hari Jumat, 1 Oktober 1965. Tepat jam 3.00, satgas Pasopati yang dibagi menjadi tujuh kelompok mulai bergerak. Enam jenderal berhasil diculik, tiga di antaranya terbunuh saat akan diculik. Tiga jenderal terbunuh di kediamannya yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen M.T. Harjono, dan Brigjen D.I. Panjaitan. Satu jenderal yang selamat dalam penculikan ini adalah Jenderal A.H. Nasution. Ajudannya, Letnan Satu Czi.Pierre Andreas Tendean justru tertangkap karena dikira sebagai Nasution. Dalam peristiwa ini, Nasution berhasil melarikan diri dengan melompati pagar, sayangnya sang putri Ade Irma Suryani terkena tembakan dan tidak bisa diselamatkan. Selain itu, kejadian ini juga merengut nyawa Brigadir Polisi Karel Sadsuitubun (banyak yang salah menulis dengan Karel Satsuit Tubun), pengawal kediaman Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang bertetanggaan dengan kediaman Nasution.

Brigadir Polisi Karel Sadsuitubun. Sumber: faktakini.info

Pada dini hari 1 Oktober 1965, seluruh pasukan G30S kembali ke Lubang Buaya. Saat itu, para prajurit menurunkan empat orang korban penculikan yang terikat dan ditutup matanya serta tiga jenazah. Wakil Komandan Satgas Pringgodani Mayor (Udara) Gatot Soekrisno yang melihatnya mengira para jenderal itu seharusnya dihadapkan kepada Soekarno dan tidak dibunuh. Kesalahpahaman ini mungkin terjadi karena Sjam Kamaruzaman menginstruksikan untuk membawa para jenderal baik dalam keadaan hidup atau mati. Keempat orang yang masih hidup kemudian disiksa dan dieksekusi dengan ditembak mati oleh pasukan G 30 S. Jenazah ketujuh perwira ini lalu dimasukkan ke dalam sumur tua.

Lalu pada 1 Oktober 1965, pasukan bernama Divisi Ampera berhasil menguasai gedung Radio Republik Indonesia (RRI). Melalui RRI ini Letkol Oentoeng mengumumkan tentang aksi yang telah dilakukan melalui Dekrit Nomor 1 yang menyatakan bahwa gerakan G 30 S adalah upaya penyelamatan negara dari Dewan Jenderal yang ingin mengambil alih negara dan pengambilalihan kekuasaan sekaligus membentuk Dewan Revolusi menggantikan Dewan Jenderal.

Pangkostrad Mayjen Soeharto (tengah) saat berada di Lubang Buaya pada 6 Oktober 1965. Sumber: makassar.tribunnews.com

Mendengar laporan tentang para perwira tinggi yang diculik, Mayor Jenderal Soeharto yang menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (PANGKOSTRAD) langsung mengambil alih pimpinan. Ia memerintahkan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhie Wibowo untuk merebut kembali gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi. Gedung RRI yang diduduki pasukan G 30 S lalu berhasil diambil alih pasukan RPKAD. Soeharto lalu mengumumkan melalui RRI bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan oleh pasukan G 30 S dan telah berhasil dikuasai kembali oleh ABRI, dia juga diumumkan bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution dalam keadaan selamat. Sejak itu banyak pihak yang menganggap PKI sebagai dalang peristiwa ini, apalagi Dewan Jenderal hanya alibi yang dipakai PKI untuk merebut kekuasaan.

Soeharto lalu menghubungi Angkatan Laut dan Polisi untuk membantu penumpasan pemberontakan G 30 S. Ia berhasil menetralisasi pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka dan diajak bergabung kembali untuk memukul pemberontakan, termasuk pasukan Batalyon 530 Brawijaya yang masuk ke dalam area markas KOSTRAD. Meski awalnya Sjam Kamaruzaman mengaku jumlah kekuatan pasukan cukup kuat untuk melakukan gerakan, namun kenyataannya jumlahnya jauh lebih sedikit dan komando gerakan tidak berjalan mulus. Pada 2 Oktober 1965, pasukan Batalyon 454 Diponegoro mundur ke Halim Perdanakusumah dan jumlahnya makin menyusut. Sebagian memilih meninggalkan komandan batalyon dan wakilnya. Mereka juga berhasil dibujuk untuk menyerahkan diri dan diajak ikut menumpas pasukan G 30 S.

Saksi peristiwa G 30 S, Agen Polisi Tingkat II Soekitman. Sumber: tempo.co

Di tanggal yang sama, juga dilakukan pencarian lokasi jenazah para perwira di Lubang Buaya. Pentunjuknya didapat dari Agen Polisi Tingkat II Soekitman yang berhasil lolos dari penculikan. Pada saat peristiwa penculikan Brigjen D.I. Panjaitan, Soekitman dan rekannya, Soetarso sedang berpatroli di kawasan Blok M. Mendengar suara letusan senjata, dia lalu menghampiri dan ikut diculik serta dibawa ke Lubang Buaya. Ia membantu pasukan RPKAD menemukan sumur Lubang Buaya.

Lubang Buaya dan Monumen Pancasila Sakti

Nah, kita kembali ke kawasan Monumen Pancasila Sakti ya. Sebelum meletusnya peristiwa G 30 S, daerah Lubang Buaya adalah kawasan hutan karet yang sepi. Ada sekitar 13 rumah yang berpencar di lokasi ini. Hingga kemudian daerah ini digunakan oleh PKI dan organisasi di bawahnya untuk tempat latihan militer, beberapa bulan sebelum peristiwa G 30 S. Banyak penduduk yang kemudian mengungsi tiga hari sebelum peristiwa G 30 S. Mereka meninggalkan rumah mereka tanpa mendapatkan uang saku, bahkan ada yang ditinggalkan tanpa dikunci. Alasannya karena akan dilakukan latihan besar-besaran di desa ini. Saat itu mereka dijanjikan bahwa rumah mereka akan dijaga keamanannya. Para penduduk yang mengungsi beberapa di rumah sanak saudaranya ini terkejut saat mereka kembali ke desanya dan menemukan bahwa rumah mereka dalam kondisi berantakan.

Untuk mengenang peristiwa ini, Presiden Soeharto kemudian menggagas untuk dibangunnya Monumen Pancasila Sakti di atas lahan seluas 14,6 hektar. Bangunan museum dan monumen mulai dibangun pada 1967, kala itu Soeharto yang menerima Surat Perintah Sebelas Maret atau SUPERSEMAR memberi mandat untuk membebaskan kawasan Lubang Buaya dari pemukiman penduduk dalam radius 14 hektar. Para penduduk yang digusur rata-rata pindah ke Rawabinong dan Bambu Apus. Baru pada 1 Oktober 1973, kawasan ini diresmikan dan dibuka untuk umum oleh Presiden Soeharto bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.

Saat ini ada tersisa tiga rumah yang merupakan milik dari penduduk RW 02, Desa Lubang Buaya. Rumah pertama adalah Rumah Penyiksaan yang menjadi lokasi penyiksaan para korban. Di sini mereka dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan untuk mengakui bahwa mereka adalah Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta kepada Presiden Soekarno pada HUT ABRI, mereka disiksa sebelum akhirnya dibunuh. Rumah ini merupakan milik Bambang Harjono, yang merupakan simpatisan PKI. Dulunya rumah ini digunakan sebagai tempat belajar Sekolah Rakyat, atau kalau sekarang Sekolah Dasar. Bambang Harjono sendiri menyerahkan rumah ini kepada PKI setelah adanya rencana latihan besar-besaran di desanya. Sekarang di dalamnya terdapat diorama yang menggambarkan penyiksaan para korban yang masih hidup, mereka adalah Mayjen R. Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo S., dan Lettu Czi. Pierre A. Tendean.

Rumah kedua adalah Rumah Pos Komando yang dimiliki oleh Haji Sueb. Rumah ini dipakai untuk mempersiapkan penculikan terhadap para jenderal, di mana pasukan Pasopati pimpinan Letnan Satu Doel Arief diberikan pengarahan pada 30 September 1965, jam 12 malam. Beberapa perabotan rumah ini masih dipertahankan hingga sekarang, seperti lampu petromaks, mesin jahit, dan lemari kaca. Lalu rumah yang ketiga adalah Dapur Umum yang dimiliki oleh Ibu Amroh, perempuan yang sehar-hari berjualan pakaian keliling atau cingkau. Rumah berlantai tanah ini dipakai sebagai tempat penyediaan makanan untuk para pasukan.

Salah satu yang menurut saya ngeri di kawasan ini adalah Sumur Maut. Sumur tua dengan kedalaman 12 meter dan diameter 75 cm digunakan untuk mengubur para korban. Mereka dimasukkan dengan posisi kepala di bawah. Menurut informasi, jenazah yang berada paling bawah adalah Bridjen D.I. Pandjaitan, kemudian di atasnya Letjen A. Yani, Bridjen Soetojo S., Mayjen M.T. Harjono, lalu Mayjen S. Parman dan Mayjen R. Soeprapto yang terikat menjadi satu, dan Lettu Czi. Pierre A. Tendean yang berada paling atas. Untuk menutupi jejak, sumur tua ini ditutupi potongan batang pisang, sampah dan daun-daun kering secara berselang-seling, kemudian ditimbun tanah. Bahkan mereka juga menggali lubang-lubang lainnya agar mengelabui orang yang mencari lokasi sumur tersebut.

Jenazah diangkat dari sumur pada 4 Oktober 1965 oleh pasukan KIPAM (Kesatuan Intai Para Amphibi) KKO Angkatan Laut yang dipimpin oleh Kapten KKO Winanto. Selanjutnya dibawa ke Rumah Sakit Pusat TNI AD Gatot Subroto, untuk dilakukan visum etrepertum, dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Pemakamannya dilakukan pada 5 Oktober 1965 yang bertepatan dengan HUT ke-20 ABRI di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Semuanya korban G 30 S kemudian dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Revolusi untuk menghormati jasa dan pengorbanannya.

Di area ini terdapat Cungkup Sumur Maut, sebuah bangunan persegi yang menaungi sebuah sumur tua, yang dikenal dengan nama Sumur Maut. Di sumur ini jenazah para Pahlawan Revolusi dibuang. Di bekas sumur tersebut terdapat sebuah plakat yang bertuliskan “Tjitatjita & perjuangan kami untuk menegakkan kemurnian pantja-sila tidak mungkin dipatahkan hanja dengan mengubur kami dalam sumur ini”. Sumur tersebut ditemukan pada 4 Oktober 1965.

Tak jauh dari Sumur Maut, berdiri sebuah tugu yang merupakan Monumen Pancasila Sakti. Lokasinya 45 meter (yang melambangkan tahun kemerdekaan Indonesia) di sebelah utara. Patung para Pahlawan Revolusi berdiri dengan latar belakang sebuah dinding setinggi 17 meter (melambangkan tanggal kemerdekaan Indonesia) dengan hiasan patung Garuda Pancasila. Jumlah anak tangga untuk menuju ke pelatarannya ini sebanyak 7 anak tangga, yang melambangkan 7 Pahlawan Revolusi. Ketujuh patung, berdiri berderet dalam setengah lingkaran dari barat ke timur yaitu: Mayjen TNI Anumerta Soetojo Siswomihardjo, Mayjen TNI Anumerta D.I Panjaitan, Letjen TNI Anumerta R. Soeprapto, Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani, Letjen TNI Anumerta M.T. Harjono, Letjen TNI Anumerta S. Parman, dan Kapten Czi Anumerta P.A. Tendean. Dari ketujuh patung Pahlawan Revolusi ini, patung Jenderal Ahmad Yani tampak menunjuk ke lokasi Sumut Maut.

Tepat di bawah patung tersebut terdapat sebuah relief yang menggambarkan peristiwa prolog, kejadian, dan penumpasan G30S oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan rakyat. Monumen Pancasila Sakti ini dibuat oleh maestro patung Edhi Sunarso. Ia bertindak sebagai ketua pelaksana dan dibantu oleh Saptoto sebagai penanggung jawab proyek serta sejumlah mahasiswa Jurusan Seni Patung Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta. Pembangunannya dimulai pada Agustus 1967. Beberapa tahun setelah diresmikan pada 1973, lambang Garuda Pancasila yang bertengger di dinding diganti dengan yang lebih besar seperti sekarang ini. Sayapnya yang lebar dimaksudkan untuk memberi kesan menaungi dan melindungi ketujuh Pahlawan Revolusi.

Di dalam kawasan Monumen Pancasila Sakti, kita akan menemukan dua prasasti. Pertama bertuliskan naskah Pancasila, dan yang kedua merupakan Sapta Marga, pedoman prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), kini Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dikeluarkan pada 5 Oktober 1951. Sapta Marga bertujuan mencegah terjadinya perpecahan dari internal atau dari dalam tubuh TNI. Keduanya seakan menjadi pengingat tentang ideologi negara dan juga keberpihakan TNI.

Kendaraan Peninggalan Peristiwa G 30 S

Masih di dalam kawasan monumen, terdapat sebuah mobil truk Dodge yang digunakan untuk membawa jenazah Brigjen D.I. Pandjaitan, dari rumahnya di Jalan Sultan Hasanudin No. 52, Kebayoran Baru menuju ke daerah Lubang Buaya. Truk Dodge 1961 buatan Amerika Serikat dengan nomor polisi B 2982 L ini merupakan replika kendaraan jemputan P.N. Arta Yasa, yang lokasinya berada di Perum Peruri yang sekarang. Kendaraan ini dirampas di sekitar Jalan Iskandasyah Raya saat meninggalkan pool kendaraan Perum Peruri pada jam 4 pagi. Supir bernama Oman ditodong dengan senjata yang ditembakkan ke atas, sehingga akhirnya menyerahkan truk yang dikendarainya.

Di bagian luar, kita akan menemukan dua kendaraan. Pertama adalah Mobil Dinas Letnan Jenderal Ahmad Yani. Mobil dengan nomor registrasi AD-01 ini merupakan kendaraan yang digunakan oleh Letjen Ahmad Yani. Mobil berwarna hijau army ini kemudian menjadi milik keluarga Ahmad Yani pada 6 Juni 1966. Baru kemudian dipamerkan pada Mei 1989 atas inisiatif Kepala Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI atau sekarang Pusat Sejarah TNI. Kemudian kendaraan yang kedua adalah Mobil Dinas Mayjen Soeharto. Jeep Toyota Kanvas dengan nomor 04-62957/44-01 ini digunakan Soeharto untuk menumpas G 30 S. Ia menggunakan mobil ini dari rumahnya di Jalan Agus Salim menuju ke Markas KOSTRAD dengan dikemudikan oleh Prajurit Satu (Pratu) Soewondo. Mobil ini juga digunakan untuk mengantarkan Soeharto menuju ke Desa Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965 untuk memimpin langsung jalannya pengangkatan jenazah oleh pasukan KIPAM (Kesatuan Intai Para Amphibi) KKO Angkatan Laut.

Selain dua kendaraan tadi, ada satu kendaraan sejenis panser yang ikut dipamerkan di sini. Panser dengan tipe PCMK-2 Saracen ini adalah kendaraan lapis baja buatan perusahaan asal Inggris, Alvis. Kendaraan militer beroda enam ini dibeli untuk melengkapi persenjataan Indonesia dalam Operasi Trikora. Pembeliannya dipimpin oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani dan dibantu Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo dari London, Inggris pada 1959. Panser ini dipakai oleh Batalyon Kavaleri 7 Kodam V/Jaya, dan sempat digunakan untuk mengepung Lanud Halim Perdanakusumah pada 2 Oktober 1965.

Kendaraan ini juga digunakan untuk membawa jenazah dari Lubang Buaya menuju mengangkut ketujuh jenazah ke Rumah Sakit Pusat TNI AD Gatot Subroto, untuk dilakukan visum etrepertum, serta mengantar jenazah dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di Jalan Merdeka Utara menuju ke Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965. Kala itu rute yang dilalui adalah Jalan Merdeka Timur, Cikini Raya, Salemba, Matraman Raya, Jatinegara, Cawang, Jalan Gatot Subroto, Pancoran, Jalan Pasar Minggu, lalu tiba di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada 1976, panser ini dipindahkan ke Batalyon Kavaleri 3 KODAM VIII/Brawijaya dan dipakai untuk operasi militer di Timor-Timor. Pada Juli 1985, panser ini ditarik dari penugasannya di Timor Timur dan dipamerkan di sini.

Dua Museum Di Monumen Pancasila Sakti

Ada dua bangunan museum ini kawasan ini, pertama adalah Museum Pengkhianatan PKI. Museum ini dibuka bersamaan dengan Monumen Pancasila Sakti. Di dalamnya menceritakan sejarah pemberontakan-pemberontakan PKI yang bertujuan menggantikan dasar negara Pancasila dengan komunis yang bertentangan dengan Pancasila. Saat masuk ke dalam kita akan disambut dengan 3 mozaik foto, yaitu kekejaman PKI dalam pemberontakan Madiun, pengangkatan jenazah tujuh Pahlawan Revolusi, dan pengadilan para pelaku G30S oleh Mahkamah Militer Luar Biasa. Museum ini menyimpan koleksi diorama yang menceritakan tentang pemberontakan PKI di berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Peristiwa Tiga Daerah pada 4 November 1945 hingga pemberontakan G 30 S. Jumlahnya sebanyak 34 diorama, yang tersebar hingga lantai dua. Selain diorama, juga terdapat koleksi foto dan juga beberapa barang dan senjata.

Museum kedua adalah Museum Paseban. Kita bisa langsung masuk melalui pintu utama atau bisa langsung melalui sebuah jembatan penghubung dari lantai 2 Museum Pengkhianatan PKI. Museum ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1 Oktober 1981 bertepatan dengan Dwi Windu Hari Kesaktian Pancasila. Bangunan museum ini kemudian direnovasi atas gagasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun 2007. Pelaksanaan renovasi sendiri baru dilakukan pada 2013 dan diresmikan secara simbolis pada 25 Agustus 2013 oleh Panglima TNI, Laksamana TNI Agus Suhartono.

Koleksi museum ini adalah diorama yang menceritakan pemberontakan G30S, mulai dari rapat persiapan pemberontakan, latihan para sukarelawan di Lubang Buaya, peristiwa G30S, hingga kejadian penculikan masing-masing Pahlawan Revolusi. Jumlah diorama di dalam museum ini sebanyak 16 diorama dan tersebar di lantai 1 dan 2. Selain diorama, museum ini juga terdapat Ruang Relik yang berisi barang-barang peninggalan para Pahlawan Revolusi, terutama pakaian yang mereka kenakan ketika mereka diculik, disiksa, sampai akhirnya dibunuh. Selain itu juga terdapat hasil visum dari dokter dan Aqualung, sebuah alat bantu pernapasan yang digunakan untuk mengangkat jenazah 7 Pahlawan Revolusi dari dalam sumur tua.

Di sini juga terdapat Ruang Teater yang memutar rekaman penculikan dan pembunuhan yang terjadi pada peristiwa G30S dengan durasi 30 menit. Untuk menontonnya bisa melihat jadwal yang ada di depan pintu Ruang Teater. Lalu terdapat Ruang Pameran Foto yang berisi koleksi foto-foto pengangkatan jenazah Pahlawan Revolusi dan pemakamannya di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Selain monumen ini, beberapa dari kita pasti familiar dengan Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI atau Pengkhianatan G 30 S PKI karya Arifin C. Noer. Film yang rilis pada 1984 ini dulu menjadi tontonan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September malam, hingga akhirnya pada September 1998, empat bulan setelah jatuhnya Soeharto, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menyatakan bahwa film ini tidak akan lagi menjadi bahan tontonan wajib, dengan alasan bahwa film ini adalah usaha untuk memanipulasi sejarah dan menjadi kendaraan propaganda Orde Baru. Keputusan juga memengaruhi dua film lainnya, Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1981), karena dianggap sebagai upaya untuk menciptakan pengkultusan Soeharto.

Poster film Pengkhianatan G 30 S PKI yang rilis pada 1984 oleh Perusahaan Produksi Film Negara. Sumber: wikipedia.org

Meski kontroversi, film ini menerima tujuh nominasi dalam Festival Film Indonesia 1984, memenangkan satu penghargaan Citra untuk Skenario Terbaik. Skenario film ini didasarkan pada sebuah buku terbitan 1968 yang ditulis oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan penyidik Ismail Saleh yang berjudul Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia. Biaya film ini mencapai Rp. 800 juta dan mendapat pendanaan dari pemerintah kala itu. Proses produknya memakan waktu hampir dua tahun, menghabiskan empat bulan dalam pra-produksi dan satu setengah tahun dalam pembuatan film.

Tak terasa, sudah cukup lama berkeliling di kawasan monumen ini. Perjalanan berkeliling Monumen Pancasila Sakti ini terbilang menakjubkan sekaligus meninggalkan kesan yang cukup seram. Meski demikian, keberadaan monumen ini menjadi pengingat akan jasa pahlawan yang gugur dalam membela negara dan juga Pancasila. Terima kasih sudah membaca tulisan saya, semoga kita jadi belajar banyak tentang sejarah negara kita. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya ya!

2 thoughts

  1. Saya belum pernah masuk area ini. Abad lalu, saya naik motor buat rumah tahanan Nirbaya di belakang terminal Pinangranti, ternyata gak ada. Saat itu belum era Google Maps, saya pakai peta orang Jerman, main kira-kira. Warga setempat tak tahu menahu rumah tahanan itu.

    Like

    1. Wah, saya baru tahu tentang rumah tahanan itu. Ternyata masih terkait dengan G30S. Mungkin bangunannya sudah dialihfungsikan atau malah sudah dihancurkan.

      Like

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s