SINGAPURA: Klasik Hingga Modern

Tibalah di hari ketiga. Hari ini hampir sama dengan hari sebelumnya, saya bangun terlalu siang. Hari ini saya hendak menuju ke salah satu lokasi yang paling sering didatangi wisatawan. Namun sebelumnya saya menuju ke Hong Kong Street untuk sarapan di Killiney Kopitiam. Salah satu gerai warung kopi asli Singapura yang dibangun oleh Ah-Gong sejak 1919. Namanya diambil dari lokasi awal berdirinya warung kopi ini, yaitu di Killiney Road. Namun pagi itu saya justru tidak memesan menu seperti di Ya Kun Kaya Toast. Saya justru memesan menu set sarapan ala Inggris. Padahal saya bisa saja memesan roti bakar dan teh tarik. Ya sudah, kita nikmati saja. Nanti kita coba sewaktu di Jakarta saja.

Selesai sarapan, saya menuju ke pusat kota dengan berjalan kaki. Telapak kaki memang sudah terasa panas karena saya salah menggunakan sepatu. Ini menjadi pelajaran berharga untuk saya, karena saya pikir merek sepatu yang saya pakai ini cocok untuk berjalan kaki jauh. Perjalanan saya dimulai dengan melalui Coleman Bridge untuk menuju ke Raffles’ Landing Site yang berada di Boat Quay. Dulu ini merupakan tempat di mana Sir Thomas Stamford Raffles mendarat untuk pertama kalinya di Singapura pada 28 Januari 1819.

Di lokasi ini kita akan menemukan patung Sir Thomas Stamford Raffles yang menghadap ke laut. Patung ini sebenarnya adalah duplikat patung perunggu gelap yang asli, yang ditempatkan di sini pada 1972. Patung aslinya sendiri berada di depan Victoria Memorial Hall di Empress Place. Dipahat oleh pemahat dan penyair tersohor asal Inggris, Thomas Woolner, patung ini diresmikan pada 27 Juni 1887. Oya, selain patung ini juga terdapat 4 patung lainnya yang menandai Singapore Bicentennial, atau dua abad sejak Inggris menginjakan kaki di Singapura. Patung-patung itu terdiri dari Sang Nila Utama, seorang pangeran Palembang di abad ke-13 yang mendirikan Kerajaan Singapura dan yang memberinya nama, yang berarti kota singa, lalu ada Tan Tock Seng, pedagang dan dermawan Singapura yang membantu mendanai Rumah Sakit Tan Tock Seng, yang melayani orang miskin, Munshi Abdullah, sapak sastra Melayu modern, menulis Hikayat Abdullah dan menciptakan bahasa Melayu sehari-hari, dan Naraina Pillai, pendiri perusahaan batu bata pertama Singapura dan berkontribusi besar pada pembangunan Kuil Sri Mariamman.

Tak jauh dari situs ini, berdiri Asian Civilisations Museum (ACM) yang memiliki koleksi artefak yang menceritakan kisah peradaban Asia. Saya tidak masuk ke dalam museum ini, takut eneg berkunjung ke museum karena saking banyaknya museum di Singapura. Satu hal yang paling ikonik adalah bola cermin yang berada di depan museum ini atau tepatnya di Empress Place, serta Cavenagh Bridge. Jembatan gantung ini merupakan salah satu jembatan tertua, bahkan menjadi yang paling tua karena dibangun pada 1897. Desain jembatan ini masih sama dengan aslinya dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Tak jauh dari situ ada Anderson Bridge yang dibangun pada 1910 dan menjadi lintasan F1 Marina Bay Street Circuit.

Berjalan sedikit menuju ke Victoria Theatre and Concert Hall, kita akan melalui sebuah tugu yang namanya Dalhousie Obelisk. Oya, kembali ke Victoria Theatre and Concert Hall. Gedung ini dibangun pada 1862 sebagai Balai Kota dengan teater di dalamnya. Teater megah ini juga menjadi rumah bagi Singapore Symphony Orchestra atau SSO. Saya hanya melintas di depannya saja karena saya lebih tertarik dengan bangunan di belakangnya, yaitu Old Parliament House atau The Art House. Dibangun pada 1827, gedung ini adalah bangunan pemerintah tertua dan mungkin bangunan tertua yang masih ada di Singapura. Bangunan itu adalah rumah bagi Parlemen Singapura dari 1965 hingga 1999, dan kemudian pindah ke gedung yang baru. Satu hal yang istimewa dari gedung ini adalah patung gajah yang berada di depannya. Patung ini adalah hadiah dari Raja Chulalongkorn atau Rama V sebagai tanda penghargaan atas kunjungannya pada 16 Maret 1871. Pada mulanya berada di depan Victoria Theatre and Concert Hall, namun kemudian digantikan dengan Patung Raffless pada 1919. Oya, kenapa istimewa? Karena patung ini sama dengan patung yang ada di Museum Nasional atau Museum Gajah di Jakarta. Sama-sama pemberian dari Raja Thailand. Bedanya, patung yang ada di Jakarta dibiarkan warnanya sama seperti aslinya, sedangkan yang ada di Singapura dicat warna hitam dan putih pada bagian gadingnya. Setelah puas menemukan “harta karun” ini, saya melanjutkan ke beberapa lokasi. Tapi saya hanya melintasinya saja, karena hendak menuju ke lokasi tujuan utama hari ini.

Pertama saya melintas di St Andrew’s Cathedral. Gereja ini merupakan katedral terbesar di Singapura dan contoh peninggalan terkenal arsitektur era kolonial. Dirancang oleh Kolonel Ronald MacPherson pada tahun 1856. Kemudian Central Fire Station, yang merupakan stasiun pemadam kebakaran tertua yang ada di Singapura, dan terletak di Hill Street. Di sini juga ada museum Singapore Civil Defence Heritage Gallery, jika ada waktu lebih bisa berkunjung ke dalam.

Selanjutnya adalah Old Hill Street Police Station, bangunan bersejarah dan bekas kantor polisi di Singapura yang kini menjadi kantor Ministry of Communications and Information dan Ministry of Culture, Community and Youth. Gedung ini selalu menjadi sasaran pencari konten Instagram karena gedung ini memiliki jendela yang berwarna-warni. Bergerak ke lokasi selanjutnya adalah Clarke Quay, sebuah dermaga yang diberi nama dari gubernur Singapura kedua, Sir Andrew Clarke. Lokasi ini dikenal dengan pusat perbelanjaan. Sayangnya ketika saya datang, masih belum ada keramaian karena masih terlalu pagi.

Masih di Hill Street, di sini terdapat Armenian Church of St Gregory. Gereja Kristen tertua di Singapura ini dibangun pada tahun 1835 untuk didedikasikan bagi St. Gregory the Illuminator, rahib Armenia pertama. Tak jauh, kita akan menemukan satu bangunan yang makin terkenal karena digunakan sebagai lokasi syuting film Crazy Rich Asian. Namanya CHIJMES Hall. Dulu ini merupakan bekas kapel Convent of the Holy Infant Jesus yang dirancang oleh Pastor Charles Benedict Nain. Selain bangunan kapel, di dalamnya ada terdapat banyak resto dan café yang sangat cozy. Bahkan kita tidak menyangka jika dulu bangunan ini adalah sekolah Katolik untuk anak perempuan. Oya, cara pengucapan CHIJMES sebenarnya mudah, yaitu chimes. Lain kali saya mau ke sini lagi sambil duduk-duduk di bean bag yang ada di taman belakang kapel. Oya, kapel ini masih digunakan sebagai lokasi pernikahan.

Nah, kalau ingin menikmati sensasi menginap di hotel dengan sentuhan kolonial, kalian bisa menginap di Raffles Hotel. Dinamai berdasarkan pendiri Singapura, Sir Thomas Stamford Raffles, hotel ini dibangun oleh Sarkies Brothers, empat pengusaha berdarah Armenia dan dibuka pada 1887. Namanya sempat beberapa kali berganti sebelum namanya sekarang, dari Beach House, menjadi Emmerson’s Hotel, menjadi Hotel Des Indes. Nah koktail “Singapore Sling” yang terkenal itu diciptakan di Raffles Hotel pada 1915 oleh bartender Ngiam Tong Boon. Dengar-dengar ada tur yang dibuka untuk umum yang ingin mengetahui sejarah Raffles Hotel dengan nama Raffles Walk of Fame yang berdurasi 45 menit. Jadi tidak perlu sampai menginap di sini untuk sekadar ingin tahu tentang isi hotel ini.

Cuaca makin panas, jadi semakin haus. Akhirnya berjalan ke arah Marina Square untuk membeli teh boba. Sayangnya sesampai di sana, R&B Tea masih belum buka. Akhirnya membeli buah dan sejenak meluruskan kaki. Perjalanan saya lanjutkan lagi menuju ke Bugis Street. Lokasi ini merupakan destinasi utama para wisatawan untuk berburu oleh-oleh. Di sini kita menemukan barang-barang dengan harga terjangkau dan tentunya bisa ditawar. Bugis Street dulunya merupakan tempat tinggal para pelaut Bugis yang singgah di Temasek. Kini menjadi tujuan utama bagi mereka yang berburu oleh-oleh murah. Saya tidak lama singgah di sini, karena nanti sepulang dari beberapa tempat saya akan kembali ke sini untuk membeli oleh-oleh titipan ibu saya. Oya, lokasi Bugis Street yang asli itu sebenarnya berada di Bugis Junction, karena dulu sempat dihancurkan dan kemudian direvitalisasi.

Saya kemudian berjalan kaki menuju ke Arab Street. Jaraknya memang tidak dekat, tapi masih bisa dicapai dengan berjalan kaki. Lokasinya ada di Kampong Glam, tak jauh dari Bugis Street. Arab Street ini adalah pusat tempat tinggal masyarakat muslim di Singapura. Kawasan ini juga terkenal sebagai pusat perbelanjaan untuk produk-produk tekstil dan parfum. Berdasarkan sejarahnya, dulu lokasi ini dimiliki oleh pedagang Arab bernama Syed Ali bin Mohamed Al Junied, sehingga namanya dikenal dengan Arab Street.

Kawasan Arab Street juga identik dengan bangunan Sultan Mosque. Masjid ini berada di Muscat Street. Kabarnya, ini adalah masjid tertua dan terbesar di Singapura. Masjid Sultan sudah berdiri sejak 1826 dan dikenal dengan ciri khas kubah emasnya yang besar. Masjid ini pada masa pembangunannya mendapat sumbangan dari Sir Stamford Raffles.

Tak jauh dari Arab Street, ada sebuah jalan kecil bernama Haji Lane. Daerah ini dulunya adalah tampat penyelenggaraan layanan ibadah haji untuk wilayah Singapura. Sekarang Haji Lane disebut sebagai jalan paling trendi di Singapura. Di sini terdapat banyak grafiti warna-warni di sisi kanan-kiri. Kita juga bisa melihat bangunan-bangunan Chinese shophouse yang usianya ratusan tahun namun kondisinya masih terawat. Bangunan-bangunan tersebut kini dimanfaatkan sebagai kafe, bar, restoran dan butik-butik lokal Singapura. Hal serupa juga bisa kita temui di Kandahar Street yang lokasinya tak jauh dari Sultan Mosque.

Oya, di Haji Lane saya menyempatkan untuk mencicipi LiHo Tea. LiHo Tea sendiri mempunyai arti “apa kabar” dalam dialek China-Hokkien. Gerai ini telah ada sejak 2017 dan menjual berbagai minuman teh. Saya kemudian memesan Milk Tea and Brown Sugar Pearls. Sekalian duduk-duduk melihat orang yang sedang berlalu lalang.

Kampong Glam sendiri memiliki sejarah yang menarik. Dulu Kampong Glam ini dipenuhi pohon ‘Cajeput‘ yang kalau dalam Malaysia bernama Gelam. Sebelum zaman penjajahan Inggris di 1819 daerah Kampong Glam ini merupakan rumah para bangsawan Melayu Singapura. Kemudian pada perencanaan tata letak kota oleh Raffles di 1822, Stamford Raffles menetapkan pemukiman ini menjadi lokasi Melayu, Bugis dan Arab untuk tinggal, berniaga dan berkembang. Kampong Glam sendiri diperuntukkan untuk Sultan dan keluarganya, selain itu juga masyarakat Melayu dan Arab. Saat ini tanah kesultanan melayu Singapura dihibahkan menjadi pusat warisan sejarah dan budaya Melayu. Salah satunya adalah Istana Kampong Glam yang dibangun oleh Sultan Hussein Shah dari Johor di 1819.

Saatnya menuju ke Little India. Lokasi yang juga menjadi tujuan banyak wisatawan. Oya meski namanya erat dengan kebudayaan India, justru dulunya kawasan ini pada 1840an merupakan rumah orang-orang Eropa. Kala itu mereka sangat suka pacuan kuda dan akhirnya membutuhkan banyak pekerja. Hingga kemudian banyak orang India yang bekerja sebagai pengelola pacuan kuda, penggembala ternak, hingga pengolahan batu bata. Lokasi Little India di Singapura terbentang dari Tekka Market, Buffalo Road hingga Dunlop Street. Kita seakan sedang berjalan-jalan di India, saking banyaknya orang India dan berbagai pernak-pernik serba India di sini. Selain juga ada berbagai graffiti yang menggambarkan kebudayaan India di sini.

Di tengah-tengah Little India, kita bisa menemukan sebuah bangunan warna-warni, namanya Tan Teng Niah House. Jadi Tan Teng Niah adalah nama salah satu pengusaha asal Tionghoa yang terkemuka di Little India. Dia memiliki banyak pabrik penganan di Serangoon Road dan rumah asap karet di Buffalo Road di abad 20-an. Pada 1900, Tan Teng Niah membangun vila 8 kamar yang dirancang dengan halaman, atap genteng terbuat dari bambu, dan pintu ayun yang diberikan sebagai hadiah untuk istrinya. Dulu cat dinding bangunan ini masih berwarna putih dan atap berwarna hijau. Kemudian pada 1980-an bangunan ini direvitalisasi dan aksen warna-warni baru ditambahkan pada periode berikutnya.

Di Little India ada Kuil India yang terkenal namanya Sri Veeramakaliamman. Kuil ini dibangun oleh para buruh yang berasal dari Suku Tamil, India pada 1953. Di bagian depan terlihat ornamen patung dewa-dewi Hindu, yang menjulang tinggi di atap kuil. Di dalam kuil ada koleksi patung Dewi Sri Veeramakaliamman yang diapit dua anaknya, Ganesha dan Murugan.

SG425

Ada satu tempat yang menjadi destinasi orang Indonesia jika berkunjung ke Little India, namanya Mustafa Centre. Mustafa Centre adalah tempat untuk belanja Segala Ada, mulai dari barang elektronik, perlengkapan rumah tangga, parfum, koper, dan masih banyak lagi dengan harga yang cenderung murah. Tapi di sini kita tidak bisa menawar ya, karena harganya tercantum di barangnya. Mustafa Centre di Little India ini buka 24 jam dan tidak pernah tutup sepanjang tahun. Saya tidak masuk karena sedang ramai dan kebetulan banyak orang yang berbelanja untuk persediaan selama pandemik COVID-19 di Singapura. Saya lanjut saja untuk makan siang di Usman Restaurant, yang kebetulan tidak jauh dari Mustafa Centre.

Resto ini berada di Serangoon Road dan menyediakan makanan yang halal dan juga enak. Usman Restaurant merupakan resto Pakistani & Northern India dengan harga yang terjangkau. Resto ini terkenal dengan roti naan, sejenis roti pipih beragi yang dibuat dari tepung gandum. Selain itu menu yang cocok dicicipi dengan roti naan ini adalah kari. Kalau tidak suka pedas, kita juga bisa memesan kari yang tidak pedas, tinggal bilang saja ke pelayannya. Saya terlalu banyak memesan roti naan, satu pun tidak habis. Haha. Akhirnya tersisa banyak. Oya, kalau memesan es teh jangan berharap seperti di warteg ya. Sebab yang akan datang adalah semacam es teh tarik. Sebenarnya saya ingin mencicipi empat resto, tapi setelah terlalu kenyang akhirnya saya mengurungkan diri. Tiga resto lainnya adalah Kailash Parbat Restaurant, Khansama Tandoori Restaurant, dan MTR1924. Mungkin lain kali saja saya mengunjungi resto-resto ini.

Perut kenyang, saya langsung menuju ke Bugis Street untuk membeli titipan ibu saya. Namun saya masih menyempatkan untuk membeli Ice Cream Sandwich di dekat Sim Lim Tower. Akhirnya membeli jajanan khas Singapura ini. Penjualnya uncle-uncle yang sudah tua sekali. Tapi saya akui jualannya sangat bersih walau jajanan kaki lima.

Lanjut menuju ke Bugis Street, kaki sudah cukup pegal tapi terlalu nanggung untuk naik bus. Sesampai di Bugis Street, saya langsung mencari Spiral Staircase yang ternyata lokasi “nyempil” di belakang Bugis Street. Lokasi ini termasuk lokasi yang instagramable, karena ada banyak tangga spiral berwarna-warni di sini. Tangga ini merupakan bagian belakang toko yang berada di gang kecil. Jadi cermati setiap bagian di Bugis Street, jangan sampai terlewatkan. Selesai foto-foto, saya langsung masuk ke Bugis Street untuk membeli tas titipan ibu saya. Harganya lumayan sih untuk dua tas ukuran besar. Tapi yang penting oleh-oleh untuk ibu sudah saya dapatkan. Saya kemudian kembali ke hotel untuk beristirahat, karena malamnya saya harus ke Esplanade! Sampai nanti ya!

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s