JAKARTA: Jelajah Pusat Ibukota, Part 1

Sore itu saya mendapatkan surel dari kantor saya jika Pilkada yang berlangsung pada hari Rabu adalah hari libur Nasional. Buru-buru saya mendaftarkan diri untuk ikut Walking Tour keesokan harinya. Sebenarnya tidak terencana, saya iseng membuka laman Jakarta Good Guide dan mencari tur yang berlangsung di hari Rabu. Kebetulan ada dua jadwal, City Center dan Old Town. Berhubungan kemarin-kemarin sudah menyambangi Kota Tua, kali ini saya ingin ikut tur berkeliling pusat kota Jakarta.

KISAH TENTANG PUSAT IBUKOTA

Pagi hari, saya dan ibu saya bergegas menuju ke halaman Museum Nasional Indonesia atau Museum Gajah. Belum banyak peserta yang datang, namun pemandu kami – Candha, sudah bersiap menyambut kami. Hari itu cukup banyak yang mengikuti tur ini, kebanyakan mereka yang sedang libur dan tidak memiliki hak pilih (karena Jakarta tidak mengadakan Pilkada). Setelah berkenalan satu sama lain, Candha kemudian memulai tur dengan menjelaskan lokasi titik nol Jakarta.

Dulu, pusat pemerintahan Batavia berada di kawasan Kota Tua dan area Monas ini dulunya adalah perbukitan. Saya cukup terkejut mendengarnya dan mencoba membayangkan begitu sejuknya daerah Monas ini dulunya. Sayangnya sekarang sudah panas dan sumuk. Nah, kawasan ini dibangun untuk menjadi lokasi ibukota yang baru. Atas prakarsa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels, beliau mengusulkan untuk memindahkan istana Batavia yang mulai kumuh di muara Sungai Ciliwung ke wilayah pusat ibu kota baru Weltevreden. Akhirnya mereka mencari lokasi yang tak jauh dari pusat pemerintahan yang lama.

Lokasi ini dirasa lebih tepat karena udaranya masih sejuk, banyak pepohonan dan juga jauh dari pemukiman. Di sini pula banyak sekali gedung-gedung mirip vila yang menjadi tempat peristirahatan para pejabat VOC. Oya, Candha sempat menuturkan jika dulunya orang Belanda mencari “pelarian” dari kumuhnya Batavia ke beberapa kawasan. Beberapa diantaranya dengan membangun istana di Bogor, namun sayangnya curah hujannya terlalu tinggi. Selain itu mereka juga membangun vila di Cipanas, yang menurut orang –orang Belanda saat itu udaranya mirip dengan negara asal mereka.

Dulu lapangan Monas benar-benar lapangan kosong, berupa padang rumput. Lokasi ini juga disebut Koningsplein atau lapangan luas. Lapangan ini sering dipakai untuk berbagai kegiatan, salah satunya Pasar Malam Gambir pada tahun 1921 sampai 1941. Disini banyak kita jumpai beberapa bangunan peninggalan kolonial Belanda, mulai dari Istana Merdeka, Museum Nasional Indonesia, Istana Wakil Presiden, dan juga Balai Kota. Di sini pula didirikan pusat pemerintahan yang baru, yaitu gedung yang kini menjadi Gedung Kementerian Keuangan (lokasinya di Lapangan Banteng).

CERITA DI BALIK PATUNG GAJAH

Kembali ke Museum Nasional Indonesia yang menjadi titik keberangkatan kami. Cikal bakal dari museum ini adalah pembentukan Bataviaasch Genootschap atau lebih lengkapnya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Ikatan Kesenian dan Ilmu Batavia) pada 1778. Awalnya J.C.M. Radermacher, ketua perkumpulan, menyumbang sebuah gedung yang bertempat di Jalan Kali Besar (kini menjadi kompleks Kota Tua). Kemudian Sir Thomas Stamford Raffles yang juga merupakan direktur dari Bataviaasch Genootschap memerintahkan pembangunan gedung baru yang terletak di Jalan Majapahit (yang kini menjadi kompleks Sekretariat Negara). Hingga akhirnya pemerintah Hindia Belanda mendirikan gedung yang baru pada 1862. Bangunan yang baru ini bergaya Klasisisme dengan ciri khas pilar-pilar yang berada di depan bangunannya.

Museum ini juga dikenal sebagai Museum Gajah karena di depannya ada patung gajah berbahan perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn atau Rama V dari Siam (Thailand) pada 1871. Menurut Chanda, selain Indonesia, Raja Siam juga memberikan patung yang sama ke negara Singapura. Bedanya, di Indonesia patungnya tetap dibiarkan dengan warna aslinya, sedangkan di Singapura dicat hitam dan gadingnya dicat putih. Selain patung gajah, halaman depan museum ini juga dihiasi dengan patung berbentuk pusaran karya pematung I Nyoman Nuarta pada 2012. Patung ini diberi nama “Ku Yakin Sampai di Sini” yang menggambarkan arus perjuangan yang dahsyat melalui semangat dan kerja keras hingga pada tujuan akhir yang lebih baik. Usut punya usut, ternyata itu adalah judul lagu yang diciptakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Di belakangnya, berdiri bangunan baru dari museum ini yaitu Gedung Arca. Menurut penjelasan Candha, koleksi yang ditampilan di museum ini baru sepertiga dari total koleksi. Sisanya tentu tersimpan di gudang. Sayangnya ada beberapa kali kasus pencurian koleksi. Mungkin ini pula yang mendorong pengelola museum mulai membangun gedung yang baru agar dapat menampilkan seluruh koleksi yang ada.

PILAR-PILAR MAHKAMAH KONSTITUSI

Berlanjut ke jalan Medan Merdeka Barat. Di sini kami menyurusi trotoar sambil melintas di depan gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perhubungan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan sejenak berhenti di gedung Mahkamah Konstitusi. Dulu sebelum memiliki gedung sendiri, Mahkamah Konstitusi berpindah-pindah kantor. Hingga pada 2005, pembangunan gedung baru resmi dimulai. Jika dilihat dari pilar-pilar yang berada di depan gedungnya, bangunan ini menggunakan desain Yunani atau Romawi kuno dengan podium yang bergaya klasik. Pilar yang berada di bagian luar berjumlah sembilan pilar yang menyimbolkan sembilan hakim konstitusi. Jumlahnya yang ganjil ini sempat menjadi perdebatan, khususnya bagi penggiat arsitektur karena pilar berjumlah ganjil itu tidak dikenal dalam rumus arsitektur.

SUDUT PANDANG ISTANA

Sejenak berfoto-foto, kami kemudian melanjutkan perjalanan dengan melintasi gedung Radio Republik Indonesia (RRI) dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Di sini kami menyeberang ke salah satu sudut dari kawasan Monas, yaitu Taman Pandang Istana yang berada di ujung Silang Monas Barat Laut.

Taman ini terbilang baru dan yang menjadi ciri khas sudut ini adalah papan besar yang biasanya akan ditampilkan foto presiden dan tamu negara yang tengah berkunjung ke Istana Kepresidenan. Aslinya taman ini dibuka untuk memfasilitasi para pendemo yang melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka atau sebagai tempat untuk menyuarakan aspirasi dan gagasannya. Di taman ini terdapat instalasi tipografi tiga dimensi yang terdiri dari bangku taman, instalasi patung “Ragam dan Insan”, instalasi pada lantai berupa kutipan inspiratif dari para tokoh dan pahlawan Indonesia seperti Abdurrahman Wahid, Mohammad Hatta, dan YB Mangunwijaya. Instalasi ini akan tampak indah jika dilihat dari atas (harus menggunakan drone).

MONUMEN KEBANGGAAN KOTA JAKARTA

Kami juga sempat memasuki kawasan silang Monas yang berada tepat di depan Istana Merdeka. Pemandu kami sempat menceritakan tentang desain arsitektur tugu kebanggaan warga Jakarta ini. Pembangunan monumen ini merupakan ide dari presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Beliau ingin membuat monumen yang bisa dikenal oleh seantero dunia. Pada 1954, beliau membentuk panitia dan menggelar sayembara desain monumen. Ada sebanyak 51 desain yang diterima dan terpilihlah desain karya Frederich Silaban. Uniknya, tidak ada pemenang pertama melainkan hanya pemenang kedua. Karena masih kurang puas, pada 1960 diadakan kembali sayembara dan ada sebanyak 136 karya yang diterima. Namun tetap saja, tidak ada yang cocok. Hingga hanya terpilihlah juara ketiga.

ibukota031

Setelah itu, Soekarno pun meminta Silaban untuk merancang ulang desain dari monumen yang telah dibuatnya terlebih dahulu dengan menggunakan konsep Lingga dan Yoni. Sayangnya desain yang dibuatnya membutuhkan biaya yang tinggi dan tidak sesuai dengan kondisi ekonomi Indonesia saat itu. Hingga akhirnya Soekarno menunjuk R.M Soedarsono untuk meneruskan desain Silaban dengan anggaran yang lebih sesuai. Oya, kenapa Lingga dan Yoni? Karena itu merupakan salah satu ciri khas dari budaya Indonesia yang biasa ditemui di bangunan candi-candi bersejarah. Lingga melambangkan laki-laki, sedangkan Yoni melambangkan perempuan. Jika digabungkan, maknyanya menggambarkan kesuburan, kesatuan dan keharmonisan. Lingga dan Yoni ini juga dapat diartikan sebagai “Alu dan Lesung” yaitu alat penumbuk padi.

Monumen ini dibangun dengan tinggi 132 meter dan di puncaknya berbentuk lidah api yang terbuat dari perunggu dengan ketinggian 17 meter dan berdiameter 6 meter dengan berat mencapai 14,5 ton. Perunggu ini dilapisi emas seberat 50 kilogram. dan terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Menurut cerita, emas yang melapisi puncak Monas tersebut adalah sumbangan dari Teuku Markam, salah seorang pengusaha asal Aceh yang juga pernah menjadi orang terkaya nomor satu di Indonesia pada saat itu. Menurut mitos, lidah api yang berada di puncak ini berbentuk menyerupai perempuan yang sedang duduk bersimpuh. Sosok ini hanya bisa dilihat dari jalan Medan Merdeka Utara, atau segaris lurus dengan Istana Merdeka.

Oya, dulu Taman Medan Merdeka Selatan dibangun menjadi kompleks bangunan untuk pameran yang digunakan sebagai lokasi Pekan Raya Jakarta dari tahun 1968 hingga 1992, sementara sudut barat daya Taman Medan Merdeka Selatan dijadikan “Taman Ria Jakarta”. Namun karena terkesan padat, akhirnya Pekan Raya Jakarta atau PRJ dipindahkan ke Kemayoran atau yang kita kenal dengan JIExpo Kemayoran. Perjalanan kami menjelajahi pusat Kota Jakarta masih panjang. Selanjutnya kami akan melintas di Istana Merdeka, Gedung Mahkamah Agung, sejenak menikmati Es Krim Ragusa, dan menuju ke dua bangunan ibadah yang menjadi simbol toleransi umat beragama di Jakarta. Cerita tentang Taman Monas bisa juga dibaca di Jalan-Jalan Sore di Monas.

Bersambung ke Part 2

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s