JAKARTA: Sore di Matraman

Waktu sudah menunjukkan jam setengah empat sore. Tapi saya masih dalam perjalanan menuju ke kawasan Matraman. Saya pun mulai mempercepat laju motor saya. Beruntung sampai di tujuan, walau sedikit terlambat. Sore itu saya kembali ikut walking tour yang diadakan Jakarta Good Guide. Kali ini menuju ke kawasan Jakarta Timur, tepatnya di daerah Matraman. Menurut sejarahnya sendiri, kawasan ini termasuk jalan raya yang dibuat oleh Daendels. Nah, yuk kita mulai perjalanan kita.

Sejarah di Jalan Raya Pos

Sore ini saya dipandu oleh Huans dari Jakarta Good Guide. Lokasi pertama tak jauh dari Halte Kebon Pala. Di sini kita mulai dengan awal mula Matraman itu sendiri. Menurut Huans ada beberapa versi tentang nama Matraman ini, kalau yang sering dikenal orang adalah berasal dari “Mataraman” karena dulunya wilayah ini adalah kawasan pertahanan pasukan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung ketika menyerang Batavia melalui darat untuk kedua kalinya pada 1629. Namun serangan itu gagal karena terputusnya pasokan suplai makanan oleh VOC. Setelah pasukan Mataram dilumpuhkan, banyak di antara mereka yang akhirnya memutuskan berbaur dengan masyarakat dan tidak kembali ke daerah asalnya.

Jalan Matraman yang dulunya dikenal dengan Matramanweg ini juga merupakan bagian dari jalur Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Kala itu Daendels membangun Jalan Raya Pos atau Groote Postweg dari Anyer di ujung barat Jawa Barat ke Panarukan di ujung timur Jawa Timur untuk memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels dan sebagai benteng pertahanan di pantai utara Pulau Jawa. Jalan sepanjang kira-kira 1000 km ini selesai dibangun pada tahun 1808 dengan masa pembangunan hanya dalam 1 tahun. Oya, dulu di jalan ini juga merupakan jalur trem yang menghubungkan Batavia dan Kampoeng Melajoe. Jalur trem ini termasuk yang paling panjang dari jalur-jalur lainnya, yaitu 14,3 km. Sayangnya kini jalurnya sudah tidak berbekas.

Tak jauh dari Halte Kebon Pala, berdiri satu bangunan gereja yang bersejarah, GPIB Koinonia Jatinegara. Huans mengatakan jika gereja yang berada di ujung Jalan Matraman ini merupakan gereja pertama yang berada di kawasan timur Batavia. Saat Meester Cornelis membangun kawasan ini pada tahun 1881-1918. Gereja ini dibangun sekitar tahun 1889 dan kemudian direnovasi pada tahun 1911-1916 dan diberi nama Bethelkerk. Arsitekturnya bergaya vernacular dengan atap bergaya gable Belanda dan penerapan salib Yunani pada pediment tympanium (semacam fasad). Denah gereja dipengaruhi aturan geometrik. Bentuk segi empatnya dibagi tepat menjadi sembilan bagian, dimana empat sudut terluar berfungsi sebagai ruang tangga, sehingga bagian dalam gereja berbentuk salib simetri. Ruang-ruang tangga dari luar terlihat seperti menara.

Gereja yang mampu menampung 500 jemaat ini dulunya setelah memakai nama Bethelkerk berubah menjadi GPIB Bethel Jemaat Djatinegara sejak tahun 1948 ketika dipakai oleh De Protestantse Kerk in Westelijk Indonesie atau bisa dikatakan gereja ini masuk dalam aliran Idische Kerk yaitu Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) , dan pada 1 Januari 1961 menjadi GPIB Jemaat “Koinonia” Jakarta. Koinonia sendiri berarti “Persekutuan” (dari bahasa Yunani). Gerejaini pada 2005 menjadi cagar budaya oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.

Di sekitar kawasan ini juga masih ada beberapa bangunan peninggalan kolonial Belanda. Sebagian besar menjadi aset milik TNI Angkatan Darat. Dulunya rata-rata merupakan rumah tinggal milik orang Belanda, yang kemudian diambil alih oleh Jepang untuk tempat tinggal tentaranya. Hingga kemudian Jepang mundur dan beberapa bangunan peninggalan Belanda ini lalu digunakan sebagai tempat tinggal prajurit TNI Angkatan Darat. Sebagian masih ada yang berdiri dan dihuni. Sebagian lagi sudah berganti bangunan.

Sisa-sisa Perjuangan di Jatinegara

Kawasan Matraman ini memang berbatasan dengan kawasan Jatinegara, sehingga sebagian besar cerita di jalan ini pun tak jauh-jauh dari kawasan yang dulunya disebut Meester Cornelis. Di kawasan ini pula dulunya menjadi tempat perjuangan rakyat pada saat masa revolusi kemerdekaan. Untuk mengenang seluruh peristiwa dan perjuangan rakyat di Jakarta Timur khususnya di daerah Jatinegara, maka dibangunlah Monumen Perjuangan Jatinegara. Monumen ini diprakarsai oleh Gubernur Ali Sadikin namun peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Tjokropranolo pada tanggal 7 Juni 1982.

Huans mengatakan jika patung bergaya realis ini dirancang dan dibuat oleh pematung Haryadi. Monumen ini berbentuk sosok pemuda berukuran 2,5 meter yang berdiri tegak dengan tangan sedekap sambil memeluk senapan dan sosok anak kecil berukuran 1 meter yang mengenankan celana pendek dan pada lehernya bergantung sebuah ketapel. Kedua sosok ini menggambarkan seorang bapak yang menjadi tentara pejuang dan ditemani oleh anaknya dalam berjuang. Bahkan kata Huans, konon anak kecil ini juga turut membantu perjuangan karena mereka menjadi mata-mata para pejuang kemerdakaan. Namun bisa juga dikatakan bahwa perjuangan kemerdekaan saat itu melibatkan semua golongan rakyat, yakni dari remaja hingga anak-anak. Di monumen ini tertulis prasasti yang berbunyi “Tiada Sesuatu Perjoangan Yang Lebih Luhur Daripada Perjoangan Kemerdekaan“. Proses pembuatan patung ini memakan waktu 2,5 tahun dan dilakukan di Yogyakarta.

Lanjut ke arah utara, di sini kita bisa menemukan jembatan yang membentang di atas Jalan Matraman Raya. Jembatan ini dikenal dengan Jembatan Gunung Antang, nama ini cenderung lekat dengan kegiatan lokalisasi di pinggir rel kereta api sejak tahun 1976. Namun sebenarnya jembatan ini bernama Viaduct Meester Cornelis yang berfungsi sebagai penyeberangan kereta api yang melintasi Matramanweg. Jembatan ini dibangun pada masa pemerintahan Belanda di awal abad 20 tepatnya tahun 1918 dan bersamaan juga dengan dibukanya jalur kereta api dari Stasiun Manggarai menuju Stasiun Jatinegara. Oya, viaduk atau viaduct sendiri adalah sebuah jembatan yang terdiri dari tiang atau kolom yang jaraknya pendek. Viaduct berasal dari Bahasa Latin yang artinya adalah melalui jalan atau bisa disebut menuju sesuatu arah.

Jembatan yang dibangun dengan arsitektur BOW Modern ini awalnya memiliki 3 jalur, namun seiring perkembangan ruas jembatan diperpanjang dengan penambahan 2 lajur jalan yaitu pada sisi kiri dan kanan jalan. Bahkan dulu terdapat satu stasiun pemberhentian kereta, yaitu Perhentian Kebonpala. Kini akan lagi dibangun Stasiun Matraman yang melayani KRL Commuter Line sebagai bagian dari program jalur dwiganda lintas Manggarai–Cikarang.

Jejak Misionaris di Matraman

Di Matramanweg ini juga berdiri salah satu bangunan gereja tua di DKI Jakarta, yaitu Gereja Katolik Santo Yoseph. Awalnya dimulai dengan pembelian sebidang tanah di tepi Matramanweg pada 13 Desember 1906 untuk pembangunan gereja. Sebab gereja ini dulunya stasi atau bagian dari Gereja Katedral yang dibentuk pada 28 Desember 1906. Baru kemudian pada 22 Juni 1909 dilakukan permandian atau baptis pertama yang kemudian menandai kelahiran Paroki Matraman. Kala itu Christina Wilhelmina Cornelia adalah anak pertama berdarah Belanda yang dibaptis di gereja ini.

Gedung gereja baru direncanakan pada 8 April 1923 dengan nilai bangunan 70.000 gulden. Pembangunan dimulai dengan peletakan batu pertama pada 9 September 1923. Arsitek yang merancang gedung gereja ini adalah Ir. Frans Johan Lauwrens Ghijsels, pria kelahiran Toeloeng Agoeng, 8 September 1882. Dia juga yang membangun gedung-gedung di Batavia waktu itu, seperti bangunan Stasiun Kota dan Vrijmetselaarslogre, sekarang Gedung Bappenas. Nama arsitek ini kemudian diabadikan pada prasasti di lantai Gereja Santo Yoseph, setelah renovasi tahun 2002, tepat pada posisi altar lama. Gereja ini awalnya dirancang sebagai katedral mini. Desain awal bangunan didominasi elemen vertikal yang menjulang. Menara di bagian depan gereja terdiri dari menara utama dengan mahkota salib di atasnya, didampingi dua menara yang lebih pendek di sisi kanan dan kiri. Patung Santo Yoseph terletak di atas pintu masuk utama. Pembangunan gereja ini memakan waktu 7 bulan dan kemudian dilakukan pemberkatan dan peresmian oleh Mgr. Van Velsen, SJ, pada 6 April 1924.

Selama 30 tahun awal, jemaat gereja ini didominasi orang-orang Belanda. Namun karena semakin sedikitnya orang Belanda, lama-lama masuklah orang pribumi dan Tionghoa. Gereja ini awalnya hanya untuk menampung 400 umat, namun pada akhirnya berkembang hingga lebih dari 1000. Maka pada tahun 1970, bangunan gereja dipeluas ke bagian kiri dan menyatu dengan rumah para pastor, dan disebut sebagai “gereja samping”. Gereja kembali direnovasi pada tahun 2001 setelah melalui konsultasi dengan Dinas Museum dan Pemugaran DKI. Baru pada 17 Januari 2015 akhirnya gedung gereja bisa digunakan lagi. Sayangnya kami hanya bisa melihat dari luar halaman karena sedang ada proses renovasi dan juga karena pandemi.

Di sebelah gereja terdapat bangunan Sekolah Marsudirini. Gedung yang digunakan dulunya milik Ordo Suster-suter Ursulin, baru kemudian diberikan kepada Suster OSF atau Fransiskus untuk didirikan sekolah dasar Marsudirini pada tahun 1955. Sebelumnya, bangunan sekolah ini merupakan bangunan tempat tinggal para petinggi tentara Belanda.

Kisah Dua Kubu

Jalan Matraman juga dikenal sebagai lokasi tawuran antar warga. Sekitar periode 1990-an di wilayah ini kerap kali terjadi tawuran antara warga Pal Meriam, yang dihuni masyarakat Betawi dan pendatang, dengan warga Berland yang merupakan anak kolong atau tangsi tentara. Namun terlepas dari peristiwa ini, kedua lokasi ini justru menyimpan banyak kisah sejarah yang mungkin tak banyak orang mengetahuinya.

Kampung Berland dulunya adalah Benteng Mataram yang kemudian dikuasai oleh Belanda. Lokasi ini kemudian diberi nama Bearland atau Bweerland. Nama ini diambil dari dua kata, yaitu bear artinya beruang, dan land artinya tanah. Waktu itu Belanda memberi nama pasukan khususnya di Indonesia dengan nama Bearland. Karena masyarakat susah menyebut ejaan Bearland, maka mereka hanya menyebut berland. Berland digunakan sebagai benteng kavaleri Belanda dan posko pasukan berkuda serta kantor dinas blandtweer (sebutan untuk markas pemadam kebakaran). Ketika Indonesia merdeka, asrama khusus tentara Belanda ini diambil alih oleh TNI yang kemudian asrama Belanda ini ditempati pasukan Zeni TNI.

Sedangkan di seberangnya adalah Pal Meriam. Nama ini ada kaitannya lokasi ini yang dulunya pernah didirikan gudang persenjataan dan amunisi tentara Inggris. Ini terkait peristiwa besar yang terjadi pada 1811, di mana terjadi pertempuran antara pasukan Inggris dan pasukan gabungan Belanda dan Prancis. Pada waktu itu pasukan artileri meriam Inggris mengambil tempat di daerah tersebut untuk posisi meriam yang siap ditembakkan dalam penyerangan ke kota Batavia, sehingga tempat itu disebut paal meriam atau tempat meriam disiapkan. Namun ada juga versi lainnya, di mana dulu daerah paal meriam ini merupakan bagian dari jalan raya pos. Di lokasi itu dipasang patok jalan yang terbuat dari meriam yang sudah tidak terpakai. Masyarakat setempat melihat meriam sebagai patok jalan atau disebut juga paal jalan yang terbuat dari meriam sehingga kemudian disebut paal meriam.

Konon pertikaian antara warga Pal Meriam dengan Berland mungkin menurun dari sejarah dua wilayah itu. Di mana satunya bekas pemukiman pasukan Mataram dan wilayah satunya lagi merupakan bekas benteng pasukan Belanda.

Melestarikan Kisah Masa Lalu

Meski banyak bangunan bersejarah, di Matraman juga terdapat satu restoran yang cukup menarik. Kami sejenak berhenti di depan Restoran Munik. Usut punya usut, ternyata restoran ini didirikan oleh William Wongso. Awalnya Munik dikenal sebagai pembuat bumbu masakan dengan merek “Munik” yang khusus membuat bumbu masakan asli Indonesia dan memiliki ragam bumbu masak siap saji paling lengkap. “Munik” sendiri berasal dari kata Mudah dan Nikmat dan sudah ada sejak tahun 1994. Huans bercerita, dulunya Munik membuat bumbu sayur asam, namun terus berkembang hingga kemudian memunculkan aneka bumbu dasar dan sambal. Bahkan kini sudah berdiri restoran yang menyajikan beraneka masakan khas Indonesia. Beberapa menu andalannya adalah Gurame Bakar, Sop Buntut dan tentunya Sayur Asam. Bumbu siap saji Munik bisa ditemui di berbagai supermarket dan bahkan sudah diekspor hingga ke Australia, Kanada, dan Belanda.

Nah, tepat di seberang Munik berdiri bangunan Panti Asuhan Pa van der Steur yang dulu dikelola oleh seorang warga Belanda. Sejarah berdirinya panti asuhan ini bermula pada 10 September 1892, ketika Johannes van der Stuer datang ke Magelang untuk mengurus rumah para tentara. Suatu ketika pada tahun 1983, seorang tentara Belanda mengatakan bahwa ada tentara yang tewas meninggalkan istri pribumi dan 4 orang anak. Keesokan harinya, van der Stuer membawa mereka ke rumah bambu (gedeg) yang dibangunnya dengan nama Oranje Nassau. Kabar pun cepat menyebar, dalam waktu dua bulan jumlah anak-anak telantar yang diasuh van der Stuer bertambah menjadi 14 orang. Pada tahun 1895 anak asuhnya mencapai 50 orang anak dan pada 1896 dia mendirikan Stiching Oranje Nassau van Pa van der Steur.

Pada tahun 1893, Pa van der Steur (panggilan akrabnya) mendapatkan bantuan dari adik perempuannya, Marie untuk mengurus panti asuhan. Namun setelah 9 tahun lamanya, Marie terpaksa pulang ke Belanda karena sakit yang dideritanya. Padahal anak asuhnya sudah mencapai 350 anak pada tahun 1903. Suatu ketika Pa van der Steur kembali ke Belanda untuk berobat. Dia kemudian memanfaatkan masa cutinya ini untuk mengajak orang-orang di negaranya untuk memberikan perhatian kepada anak-anak tentara di Hindia Belanda. Hingga dia mendapatkan perhatian dari Ratu Emma, ibu Ratu Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange Nassau. Saat kembali ke Hindia Belanda, Pa van der Steur membawa uang sumbangan dari Ratu Emma dan rakyatnya sebesar 20 ribu gulden. Uang ini lalu dipakai untuk membeli bekas barak polisi untuk rumah tinggal para tentara dan membeli pekarangan di Magelang yang menjadi cikal bakal kompleks panti asuhan Yayasan Oranje Nassau. Tak terasa dia telah mengasuh 7.000 anak miskin yang terlantar.

Pada 4 April 1907, Pa van der Steur menikah dengan Anna Maria Zwager, yang dikenal sebagai Moe can der Steur. Mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak agar bisa merawat anak-anak seperti anak mereka sendiri. Saat masa penjajahan Jepang, Pa van der Steur masuk kamp interniran di Cimahi pada 15 Februari 1944. Selama di dalam penjara, kesehatan Pa van der Steur memburuk karena usianya yang sudah tua. Dia pun dirawat oleh Lutters, salah satu anak asuhnya. Dia sempat dirawat di Semarang, sebelum akhirnya meninggal di Magelang pada 15 September 1945 di usia 80 tahun. Dia kemudian dimakamkan di kerkof Magelang. Pada 17 Februari 1949, panti asuhan dipindahkan ke Jakarta. Di Jakarta mereka diberikan tanah seluas 2000 meter oleh gereja untuk ditempati. Untuk mengenang kebaikan Johannes, ketika pindah ke Jakarta para pengurus Yayasan Oranje Nassau mengganti nama menjadi Panti Asuhan Pa Van Der Steur yang artinya panti asuhan milik papa van der Steur.

Perjalanan sudah hampir mencapai tujuan akhir. Namun kami berhenti dulu di salah satu toko roti yang legendari di Jakarta, Roti Tegal. Toko ini berdiri sejak 1968, dan kini dikelola oleh generasi keempat. Namun sebenarnya toko ini sudah ada sejak tahun 1948 dengan nama Insulinde. Dulu lokasinya di Matraman Raya 21, yang kini menjadi Grand Menteng Hotel. Alasan berganti nama menjadi Toko Roti Tegal, karena dulu Presiden Soekarno meminta nama-nama Belanda dihapuskan. Baru pada tahun 1968, toko ini pindah ke tempat yang sekarang sampai hingga hari ini. 

Roti Tegal terkenal dengan berbagai macam roti jadul. Kalau bicara tekstur, tentunya tak selembut toko kue modern. Meski baru saja direnovasi, toko ini tetap mempertahankan penataan ruangan bergaya tahun 1970an, dengan beberapa perabot lamanya. Seperti etalase, tempat duduk pelanggan, hingga timbangan untuk menimbang permen.

Di sini saya sempat mencicipi kue amandel, semacam puff pastry dengan isian mirip brownies, kemudian pie nanas yang mirip dengan nastar, serta kue lumpur. Oya, toko ini juga merupakan tempat kencan Soe Hok Gie dengan Nurmala Kartini Panjaitan pada 11 Desember 1969. Dia memesan roti nanas sekaligus berpamitan kepada Kartini, karena akan mendaki Gunung Semeru. Hari itu menjadi hari terakhir Kartini melihat Soe Hok Gie, sebab Gie meninggal di Gunung Semeru.

Baiklah, akhirnya sampai di tujuan akhir. Gramedia Matraman. Mungkin sebagian besar dari kita sudah pernah masuk ke dalam toko buku ini. Tapi apakah kalian tahu jika toko ini pernah dinobatkan sebagai toko buku terbesar se-Asia Tenggara? Kalau sekarang mungkin tak lagi menjadi yang terbesar, karena mulai tergerus dengan media digital. Walau begitu, jika ada yang pernah masuk ke dalam pastinya mengakui jika toko buku ini sangatlah luas dan besar. Nah, perjalanan menelurusi Matraman pun usai. Malam pun sudah tiba, saatnya kembali ke rumah. Ternyata menarik juga ya cerita sekitar kawasan Matraman ini. Kalau saya malah tertarik untuk datang kembali mencicipi kuliner yang ada di kawasan ini. Lain kali saya akan mencobanya. Terima kasih sudah membaca dan sampai jumlah lagi!

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s