

Gedung-gedung pencakar langit seringkali dikaitkan dengan gambaran kota metropolitan. Tak terkecuali Kota Jakarta yang memiliki sekitar 400 gedung bertingkat. Tingginya pun seakan berlomba-lomba menjadi yang “paling tinggi” di Jakarta, bahkan Indonesia. Salah satu kawasan yang paling banyak memiliki gedung tinggi adalah Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman. Ketika Jakarta Good Guide mengadakan walking tour skyscrapers di kawasan ini, saya pun langsung tertarik. Bahkan saya sudah dua kali mengikuti tur ini, demi memuaskan rasa penasaran saya. Tulisan ini akan menggabungkan dua perjalanan berbeda waktu yang pernah ikuti bersama Jakarta Good Guide. Yuk, kita jalan!
Pada tur yang pertama, saya dipandu oleh Mas Indra, sedangkan pada tur yang kedua saya dipandu oleh Huans. Kedua perjalanan dimulai dari Sarinah, yang disebut-sebut sebagai pusat perbelanjaan pertama di Jakarta dan Indonesia. Saat ini gedung ini sedang direnovasi, sehingga kami hanya berdiri di luar halamannya. Sarinah sendiri merupakan gagasan dari Presiden Soekarno untuk mewadahi perdagangan produk dalam negeri dan mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sarinah sendiri didirikan pada 17 Agustus 1962 dan namanya diambil dari nama salah satu pengasuh Presiden Soekarno di masa kecil. Pemberian nama ini dikarenakan Soekarno memiliki kesan yang mendalam terhadap sang pengasuh. Sarinah digambarkan sebagai sosok yang memiliki kecintaan pada rakyat kecil.



Gedung Sarinah ini dibangun dengan biaya pampasan perang pemerintah Jepang (atau kompensasi dari pemerintah Jepang sebagai konsekuensi atas penjajahannya di Indonesia setelah kalah dalam Perang Dunia II melawan sekutu). Pembangunannya juga menjadi bagian dari salah satu proyek mercusuar Presiden Soekarno. Pusat perbelanjaan setinggi 74 meter dan 15 lantai ini menjadi pencakar langit pertama di Jakarta. Diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 15 Agustus 1966 dan menjadi ikon berbelanja pertama di Jakarta.





Di Sarinah pula terdapat restoran cepat saji asal Amerika Serikat, McDonalds yang pertama kali masuk ke Indonesia. Sayangnya kemudian harus tutup karena Sarinah hendak direnovasi dan kemungkinan tidak akan buka kembali di sini. Gedung ini pernah terbakar dua kali, pada tahun 1984 dan 2015. Pada Juni 2020 dilakukan revitalisasi atau renovasi besar-besaran dengan menelan anggaran senilai Rp700 miliar. Nantinya Sarinah akan menjadi pusat perbelanjaan yang khusus mengangkat produk-produk lokal, di mana Usaha Kecil Menengah (UKM) akan diajak untuk berpartisipasi. Oya, selama renovasi ditemukan relief yang ada sejak jaman Presiden Soekarno. Relief ini menggambarkan kegiatan ekonomi kerakyatan dengan 12 sosok petani dan nelayan yang terbuat dari beton bertulang. Namun karena perubahan desain Sarinah di tahun 1980-an, menyebabkan relief ini tertutup. Belum diketahui siapa pembuatnya, namun diyakini dibuat oleh kelompok seniman Yogyakarta pada masa konstruksi 1962-1966. Nantinya relief ini akan dibongkar dan dipindahkan untuk dipajang di halaman utama Gedung Sarinah.
Gedung ini juga tak lepas dari nama jalan tempat gedung ini berdiri, yaitu Jalan M. H. Thamrin. Jalan ini membentang sepanjang 2,5 kilometer dari bundaran air mancur Bank Indonesia sampai Dukuh Atas. Nama jalan ini diambil dari nama pahlawan nasional yang juga asli orang Betawi, yaitu Mohammad Hoesni Thamrin. Penamaan ini sebagai bentuk penghargaan atas jasanya dalam meningkatkan kualitas kehidupan Jakarta. Pembangunan jalan ini bermula dari pengembangan Kebayoran Baru sebagai kota satelit Jakarta pada 1948. Pembangunannya terbagi dua bagian, yaitu bagian pertama sejauh empat kilometer (yang kemudian menjadi Jalan Sudirman) dan bagian kedua sepanjang dua kilometeran (yang kelak disebut Jalan M.H. Thamrin).



Pembangunannya ditargetkan selesai pada tahun 1950 dengan dua tahap. Pertama, tahap pembebasan lahan dan kedua, tahap pengerjaan fisiknya. Namun proses pembebasan lahan sempat berlangsung lama, karena warga tidak mau melepas tanahnya begitu saja. Bahkan pemerintah menawarkan ganti berupa perkampungan di Bendungan Hilir, lima kilometer dari tempat tinggal lama warga. Pembuatan jalan pun baru selesai pada 1952.
Proses pembangunannya dimulai dengan pelebaran Gang Timboel (dari air mancur Bank Indonesia sampai perempatan Kebon Sirih) sepanjang 300 meter pada tahun 1950. Nama jalan ini kemudian diberi nama Jalan M. H. Thamrin. Jalan itu lalu ditambah sekitar 1,6 kilometer pada tahap berikutnya.
Huans mengatakan jika aspal jalan M.H. Thamrin berbeda dari aspal jalan lainnya di Jakarta. Lebih berdaya tahan lama terhadap tekanan kendaraan dan air hujan. Jalan M.H. Thamrin mempunyai dua jalur untuk kendaraan menuju dan dari arah Kebayoran. Di tengah-tengah ada sebuah tanah rumput yang lebarnya enam meter. Pada tahun 1961, jalan ini diperlebar guna mendukung Asian Games 1962. Untuk memecah kemacetan di simpangan antara Jalan M.H. Thamrin dengan Jalan Sudirman dibangunlah bundaran. Soekarno juga punya visi bahwa di sepanjang jalan M.H. Thamrin harus berdiri bangunan megah, maka dibangunlah tiga gedung pencakar langit yaitu Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, dan Sarinah.
Bicara tentang jalan raya, pasti kita sering melihat fasilitas penyeberangan jalan. Di Jakarta, saat kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, dulu dibangun Zebra Cross untuk mengendalikan pengendara agar tidak melaju kencang (selain fungsinya untuk menyeberang jalan). Kala itu Zebra Cross dibangun di beberapa titik, yakni di Jalan Matraman, Salemba, Hayam Wuruk-Gajah Mada, Sudirman, dan Thamrin. Namun justru banyak nyawa melayang, karena para pengendara tak sedikitpun mengurangi kecepatannya saat akan melintasi Zebra Cross.

Akhirnya pada tahun 1968, dibangunlah Jembatan Penyeberangan Orang atau JPO di depan Sarinah. JPO pertama di Jakarta dan Indonesia ini dinamai dengan JPO Kartini, karena hari peresmiannya bertepatan dengan perayaan Hari Kartini, yaitu 21 April 1968. Jembatan ini mempunyai panjang 15 meter dan tinggi 8 meter. Bentuknya menyerupai huruf H dan terdapat dua tangga pada masing-masing sisi jalan sehingga totalnya empat tangga. Pembangunannya dibiayai oleh swasta itu menelan biaya sebesar Rp 2,3 juta. Pembiayaan itu memiliki konsekuensi, yakni perusahaan swasta boleh memasang reklame di badan jembatan penyeberangan selama lima tahun. Pada hari-hari awal penggunaannya, ratusan orang bergantian menjajal jembatan itu.


Kami kemudian melintasi gedung Kedutaan Besar Prancis atau Ambassade de France en Indonésie et au Timor oriental. Kalau dari tulisan berbahasa Prancis, kantor ini mewakili negara Prancis untuk Indonesia dan Timor Leste. Hubungan bilateral Indonesia dengan Prancis sendiri dimulai sejak 1951. Belum diketahui lokasi kedutaan ini antara 1951 hingga 1973, namun sejak 1973 hingga sekarang letaknya berada di Jalan M. H. Thamrin No. 30. Sebelum gedung yang baru, gedung yang lama memiliki 5 lantai dan dirancang oleh arsitek Soejoedi Wirjoatmodjo dari Gubah Laras (yang merancang gedung DPR/MPR, Manggala Wanabhakti dan ASEAN). Gedung selesai dibangun pada Agustus 1973 dengan biaya pembangunan Rp200 juta. Kedubes Prancis sempat pindah ke lantai 40 Menara BCA pada Maret 2012. Gedung lama dibongkar dan mulai dibangun kembali pada September 2013. Gedung baru berlantai 6 ini dirancang oleh arsitek Segond-Guyon dan resmi digunakan sejak November 2014. Gedung yang luasnya tiga kali lipat gedung lama ini meleburkan semua aktivitas institusi kebudayaan dan diplomasi Prancis ke dalam sebuah kompleks. Di Jalan M. H. Thamrin, pintu masuk mengarah ke kantor institusi kebudayaan Prancis (Institut Français d’Indonésie atau IFI) dan pintu di Jalan Sunda adalah kantor kedutaan.




Masih bersebelahan dengan Kedutaan Besar Prancis, ada satu gedung yang dibangun di atas bekas bioskop yang namanya sering kita dengar. Di sini dulunya adalah Studio 21 pertama di Indonesia. Di bangun di Jalan M. H. Thamrin Kav 21 oleh pengusaha Sudwikatmono pada 21 Agustus 1987. Dia mengubah ruang gedung Bioskop Kartika Chandra menjadi sinepleks dengan beberapa layar. Kala itu dia bekerjasama dengan Raam Punjabi, serta Benny Suherman dan Harris Lesmana. Nama “21” diambil dari nomor kaveling tempat di mana lokasi Studio 21 pertama dibangun. Namun ada juga yang mengatakan jika nama ini diambil dari nama Su-Dwi-kat-Mono. Pada tahun 1999, Sudwikatmono melepaskan kepemilikan jaringan bioskop 21 itu kepada Benny Suherman dan Harris Lesmana. Gedung Studio 21 pertama ini kini sudah berubah menjadi gedung pencakar langit BII Tower (Sinarmas Land Plaza). Selain Cinema 21, jaringan bioskop ini juga mengembangkan Cinema XXI. Bioskop yang memiliki fasilitas tempat bermain, cafe dan lounge. Cinema XXI pertama kali didirikan di Plaza Indonesia Entertainment X’nter pada Januari 2004, dengan 4 buah teater reguler dan 2 buah teater Premiere. Setelah Cinema XXI berdiri, perlahan Cinema 21 berubah menjadi jaringan bioskop kelas dua, dengan sebagian besar film yang diputar merupakan film-film lokal.


Di sebelah Sinarmas Land Plaza terdapat satu gedung yang kini masih berupa bongkaran dari gedung yang lama, yaitu Wisma Kosgoro. Gedung ini sebenarnya sudah dicanangkan oleh Wakil Perdana Menteri Dr. Chaerul Saleh pada tahun 1964. Namun tiang pancangnya baru dibangun pada tahun 1971. Pemancangan sempat terhenti dan berlanjut lagi pada 7 Desember 1973 dengan pemancangan ulang oleh Gubernur Ali Sadikin. Wisma Kosgoro berdiri di atas tanah sumbangan Presiden Soekarno dan menelan biaya sekitar 7,4 juta dolar AS atau setara Rp3,075 milyar. Gedung dengan tinggi 80 meter ini dirancang oleh Ir. Raysoeli Moeloek dan menjadi gedung pertama di Indonesia yang menggunakan lapis kaca sebagai lapis luar gedung. Kaca yang digunakan dalam gedung ini bersifat reflektif, sehingga memantulkan sinar panas dari matahari sehingga mengurangi biaya pendingin ruangan. Pembangunannya selesai pada Juli 1976 dan bertepatan dengan dibukanya operasional gedung tersebut. Gedung ini menjadi kantor dari Standard Chartered Bank mulai dari Desember 1976 dan KOSGORO (Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong) yang berafiliasi dengan Partai Golongan Karya. Pada Desember 1994, Standard Chartered Bank digantikan dengan Deutsche Bank. Kebakaran hebat menerjang gedung ini pada 9 Maret 2015 dan akhirnya pada tahun 2020 dibongkar untuk dibangun gedung baru.






Masih di sisi yang sama, berdirilah Oil Centre Building. Gedung perkantoran ini dibangun sebagai kantor kontraktor perminyakan asing. Diresmikan oleh Dirut PN Pertamina Ibnu Sutowo pada 10 Mei 1971 dan memiliki fasilitas canggih di masanya seperti komputer dan teleks yang beroperasi non-stop, khususnya agar bisa memantau pasar minyak global. Penyewa awalnya adalah 8 perusahaan minyak dari 40 perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia kala itu. Selain perusahaan minyak, di sini juga menjadi kantor Citibank (First National City Bank) hingga tahun 1968. Eksterior gedung sempat berubah dua kali, yaitu pada tahun 1980-an dan 2005-2006.




Tepat di seberangnya berdiri Kedutaan Besar Jepang. Bangunan unik ini termasuk beberapa dari gedung kedutaan yang menempati Jalan M. H. Thamrin. Hingga kemudian pada masa kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo dipusatkan di daerah Kuningan. Sayangnya tak banyak informasi yang disampaikan tentang gedung ini. Nah, tapi di sini juga menjadi bekas beberapa gedung kedutaan lainnya, seperti Kedutaan Besar Australia, Uni Soviet, dan Jerman Timur.


Bekas gedung Kedutaan Besar Australia di Jalan Thamrin (source: 70yearsindonesiaaustralia.com)
Kedutaan Besar Australia sendiri dibuka pada tahun 1967 di Jalan M. H. Thamrin. Setelah 26 tahun berdiri, pada tahun 1993 dipindahkan ke Jalan HR Rasuna Said. Di depan Kedubes Australia di Kuningan ini pernah terjadi ledakan bom mobil pada 2004. Alasan keamanan yang menjadikan kedutaan ini pindah lagi ke kompleks baru seluas 50.000 meter persegi di Jalan Patra Kuningan Raya, bersebelahan dengan Kedutaan Besar Britania Raya. Pembangunannya memakan biaya 415 juta dolar AS dan menjadi Kedubes Australia terbesar dan termahal di dunia. Nah untuk bekas gedung di Thamrin, kemungkinan masih ada di kawasan yang sama dengan Kedubes Jepang dan Plaza Indonesia.


Bekas gedung Kedutaan Besar Uni Soviet (source: setiapgedung.web.id) dan kini dibangun gedung kembar oleh Media Group
Sedangkan Kedutaan Besar Uni Soviet, lokasinya dulu dihancurkan untuk dibangun Entertainment X’nter (EX) – kini akan dibangun gedung kembar oleh Media Group. Sejarahnya sendiri cukup unik, dibangun dengan upacara penanaman kepala kerbau oleh Menlu RI Adam Malik dan Dubes Uni Soviet untuk Indonesia Pavel Kuznetsov pada 14 Mei 1974. Gedung berlantai 12 ini selesai dibangun pada tahun 1976 dan diresmikan oleh Menlu RI ad interim Mochtar Kusumaatmadja dan Dubes Uni Soviet untuk Indonesia Ivan F. Shpedko pada 22 Desember 1977. Arsitek asal Uni Soviet Arkonin merupakan perancangnya dan dibangun oleh Pembangunan Jaya (gedung kedutaan kedua yang dibangun setelah Kedubes Prancis). Gedung seluas 6 ribu meter persegi ini hanya bertahan 13 tahun, salah satunya karena runtuhnya Uni Soviet. Pada Desember 1990 ditutup dan dihancurkan pada tahun 1991. Lalu untuk Kedutaan Besar Jerman Timur, tak ada informasi jelas tentang sejarahnya dan juga bekas lokasinya.
Ngomongin Kedubes Jepang, biasanya banyak diplomat maupun warga negara Jepang yang menginap di Hotel Pullman Jakarta. Meski namanya tampak modern, namun hotel ini sudah lama sekali dibangun. Awalnya hotel ini bernama President Hotel, diresmikan bersamaan dengan Wisma Nusantara pada 2 Desember 1972 oleh Presiden Soeharto. Hotel ini awalnya memiliki 360 kamar dan dikelola oleh Japan Airlines Development Co. Jembatan penghubung antara gedung perkantoran Wisma Nusantara dengan hotel dibangun pada tahun 2002.


President Hotel (source: uwm.edu) dan Nikko Hotel (source: travelindo.com)


Pada Januari 2003, President Hotel berganti nama menjadi Nikko Hotel. Nikko sendiri adalah operator hotel yang juga anak usaha JAL Hotels. Perubahan nama ini sekaligus mengubah kelas hotel bernuansa Jepang ini dari bintang empat menjadi bintang lima. Di tahun ini pula Nikko Hotel diperluas dengan penambahan berupa menara berlantai sebelas yang menyediakan kamar-kamar mewah di sebelah utara kompleks Wisma Nusantara. Menara hotel ini dibangun oleh Kenzo Tange International. Total kamar yang dimiliki menjadi 425 kamar, dengan110 kamar di antaranya berada di bangunan baru hasil renovasi. Baru pada 19 Januari 2012 grup hotel Accor mengambil alih pengelolaan Nikko Hotel dan mengubah namanya menjadi Hotel Pullman Jakarta Indonesia. Hotel ini memiliki 427 kamar dan 40 suites.
Tepat di sebelahnya berdiri Wisma Nusantara. Bangunan ini merupakan gedung pencakar langit pertama di Indonesia sekaligus di Asia Tenggara dengan ketinggian 117 meter. Tingginya bahkan mengalahkan bangunan termasyur saat itu, yakni Hotel Indonesia dan menyamai tinggi Monumen Nasional. Gedung ini dirancang oleh Kinoshita, Kajima, dan Taisei, yang diawasi oleh tokoh konstruksi kenamaan Indonesia, Wiratman Wangsadinata. Pembangunannya dilakukan oleh perusahaan asal Jepang, Mitsui Corporation. Bangunan Wisma Nusantara menerapkan teknologi tahan gempa dan merupakan prototipe gedung tahan-gempa generasi kedua bagi pencakar langit di Jepang. Baja berkualitas tinggi yang diimpor dari Jepang digunakan sebagai penyangga utama dari gedung.



Pencanangan gedung ini dimulai pada 1963, sementara pembangunan fisik dimulai pada 1964. Namun sempat ditunda pada 1965 karena adanya masalah politik. Konstruksi kemudian baru bisa dilanjutkan pada 1969. Bangunannya sendiri memiliki 30 tingkat dan pada lantai ke-20 dan 30 terdapat ruang observasi, di mana pengunjung bisa melihat setiap sudut Jakarta. Sedangkan pada lantai ke-28 terdapat restoran dengan nama Sky Restaurant, dan sisanya disewakan menjadi ruang perkantoran dengan luas 20.486 meter persegi. Wisma Nusantara juga ditahbiskan sebagai bangunan perkantoran pertama di Jalan M. H. Thamrin. Peresmian gedung ini dilakukan bersamaan dengan President Hotel. Pada tahun 1990 dilakukan renovasi oleh JICA dan penambahan Gedung Anex untuk mengakomodasi parkir pada 2005.





Saatnya kita menyeberang ke arah Plaza Indonesia. Di tengah-tengah jalan (paling ujung dekat Bundaran HI) terdapat satu instalasi seni, yang terkenal karena kontroversinya. Dulu pada saat persiapan Asian Games 2018, Gubernur Anies Baswedan ingin mempercantik kawasan Bundaran HI sama seperti yang dilakukan oleh Presiden Soekarno. Lalu ditempatkanlah instalasi bambu Getah Getih karya seniman Joko Avianto. Menurut Anies, bambu ini ditanam oleh petani di pedesaan yang kemudian mampu membentang di area paling mahal di republik ini. Sayangnya instalasi bambu ini hanya mampu bertahan selama 11 bulan dan dibongkar karena sudah rapuh. Padahal menelan biaya sekitar Rp550 juta.



Sebagai gantinya, pada Agustus 2019 dipasanglah Instalasi Gabion, yaitu batu-batu yang ditumpuk dan ditempatkan ke dalam tiga keranjang besi dengan hiasan tanaman di sekitarnya. Kata gabion berasal dari bahasa Italia “gabbione” yang berarti sangkar besar. Dalam dunia konstruksi, sangkar ini dibuat menggunakan anyaman kawat dan diisi dengan batu-batu berukuran sedang hingga besar. Menurut Suzi Marsita, Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta, instalasi ini memiliki filosofi yang melambangkan kekuatan dan kesatuan. Sedangkan tiga keranjang besi melambangkan air, udara, dan tanah, tiga elemen yang menunjukkan keselarasan lingkungan. Instalasi ini sendiri menelan biaya sebesar Rp150 juta dan merupakan hasil rancangan dari Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Kami pun sudah sampai di seberang. Masih ada setengah perjalanan dengan berbagai ceritanya. Untuk cerita selanjutnya akan bersambung di tulisan berikutnya ya. Ditunggu ya!
One thought