Sering kali saya melintas di depan museum yang letaknya berseberangan dengan Monumen Nasional atau yang sering kita kenal dengan Monas ini. Suatu ketika akhirnya saya memiliki kesempatan untuk berkunjung dan melihat-lihat koleksi Museum Nasional yang juga dikenal dengan sebutan Museum Gajah ini. Saya sendiri memang sangat penasaran dengan museum ini, apalagi ditambah dengan embel-embel nasional. Saya langsung membayangkan museum-museum nasional negara lain yang tampak begitu megah dan memiliki koleksi yang lengkap. Semoga saja isinya pun menarik dan seru. Ya paling tidak, saya sudah memiliki niat untuk sekadar tahu isi museum ini.
Pagi itu saya mengajak seorang teman untuk bertemu di Halte Monumen Nasional. Sayangnya, janji yang awalnya jam 10 menjadi molor sampai jam 11 (kejadian ini pernah terjadi pada saat sebelumnya di halte yang sama). Yah, paling tidak teman saya ini akhirnya sampai juga meski saya sedikit kesal. Tapi ya sudahlah, jangan sampai hal ini merusak rencana untuk menikmati Museum Nasional.
Bangunan museum yang berada di sebelah kiri lebih terkenal disebut Gedung Gajah karena di halaman gedung ini terdapat sebuah patung gajah pemberian dari Rama IV, Raja Thailand. Sedangkan arsitektur gedungnya sendiri sangat kental dengan bangunan semasa kolonialisme Belanda di Indonesia lainnya. Untuk masuk, kita hanya perlu membayar tiket sebesar 5000 rupiah (kalau anak-anak cukup 2000 rupiah saja). Awalnya agak bingung memasuki museum ini, sebab hanya ada satu papan peta museum. Sayangnya saat bertanya kepada petugas tentang peta museum (dalam bentuk brosur atau selebaran) ini, mereka tak memilikinya. Jadilah, kami berdua secara acak memasuki ruang-ruang museum ini.
Pertama kami memasuki taman arca yang letaknya langsung di depan pintu masuk museum. Arca Ganesha langsung menyambut kedatangan kami berdua di ruangan ini. Di sini terdapat beragam arca dan prasasti dengan ukuran yang berbeda-beda pula. Sayangnya, banyak yang tak terawat dan cara menampilkannya pun kurang baik. Satu hal yang membuat kami bertanya-tanya adalah peletakkan arca di ruang terbuka (taman ini letaknya persis di tengah museum), apakah ini tidak akan merusak fisik arca? Apalagi cuaca yang berubah setiap saat, panas-dingin dan basah-kering. Tapi sejauh ini, arca-arca ini cukup memukau dan mengundang decak kagum.
Kami kemudian melanjutkan ke ruangan sejarah. Di sini kami menemukan beberapa koleksi meriam dan furnitur khas Eropa (ini juga mengingatkan saya dengan koleksi si Museum Fatahillah). Sejauh yang saya lihat, di ruangan ini lebih banyak menampilkan sejarah awalnya serangan Belanda ke Indonesia.
Setelah ruangan sejarah, kami lalu masuk ke ruang tekstil. Ruangan ini sangat menarik sebenarnya. Kita bisa mengetahui beragam jenis tekstil yang digunakan oleh beragam suku di Nusantara. Koleksi yang paling menarik menurut saya adalah pakaian yang terbuat dari kulit pohon. Namun sayang sekali ada koleksi kain nusantara yang tak bisa dlihat karena lemari penyimpannya terkunci. Teman saya lalu bilang, kenapa juga dipajang kalau pengunjungnya tidak bisa melihat. Oya, di dekat ruangan ini terdapat Ruang Thailand yang berisi koleksi barang-barang dan miniatur candi di Thailand (saya langsung kangen dengan Bangkok saat masuk ruangan ini). 😀
Oke, kita lalu masuk ke ruangan yang menurut kami berdua sangat lembab dan panas (kok saya jadi teringat dengan Museum Zoologi yang ada di Bogor yah). Ruang Keramik berisikan beragam koleksi keramik, baik yang lokal maupun asing. Ruangan ini sangat besar dan tersambung dengan Ruang Rumah Adat (yang kami lihat sudah banyak yang kurang terawat). Tak jauh dari situ ada Ruang Prasejarah. Ruangan ini cukup mengingatkan saya dengan pelajaran sejarah saat duduk di bangku sekolah. Di sini kita bisa melihat beragam koleksi fosil dan benda-benda yang digunakan oleh masyarakat prasejarah.
Ruang Prasejarah
Ruang Rumah Adat
Nah, kalau di ruangan berikutnya kita bisa mengenal secara dekat masyarakat Nusantara dari ujung Sabang sampai ke Merauke. Nama ruangan ini adalah Ruang Etnografi. Sebenarnya ruangan ini bisa kita masuki pertama kali saat kita masuk ke museum, sebab letaknya di sebelah kanan pintu masuk. Di sini kita benar-benar bisa melihat secara langsung keberagaman suku dan masyarakat yang ada di Indonesia. Ruangannya sendiri di bagi menjadi tiga zona, barat, tengah dan timur. Karena kami masuk dari belakang, kami jadi memulainya dari kawasan Indonesia bagian timur. Oya, diantara ruangan ini terdapat Ruang Gamelan yang berisi tiga jenis gamelan (seingat saya ada dari Bali dan Jawa Tengah, bahkan lengkap dengan pagelaran wayang kulit). Di sini pula kita disuguhkan sebuah video yang berisi pertunjukan-pertunjukan budaya. Sayangnya, sepenglihatan saya hanya satu layar LCD yang memutar video ini. Sedangkan lainnya mati dan terkesan ikut menjadi pajangan museum.
Tempat tidur Dewi Sri
Karapan Sapi
Si Gale-Gale
Ruang Gamelan
Di ujung ruang, kita bisa melihat peta etnografi Indonesia. Di sini pula kita bisa melihat wajah suku yang masing-masing tersebar di seluruh bagian Nusantara. Tapi yang paling unik adalah peta yang berada di kawasan tengah, ada peta pulau Jawa yang sangat besar. Bahkan saya bisa mampu melihat kampung halaman saya di peta ini (Boyolali Tersenyum).
Kami kemudian berjalan menuju ke gedung sebelah (yang sepertinya adalah gedung baru). Kebetulan di jembatan penghubungnya sedang ada pameran arsitektur Portugis. Ada beberapa maket dan foto-foto yang menunjukkan kekhasan bangunan Portugis.
Di gedung setinggi 7 lantai ini (tapi sepertinya tak sampai setinggi itu), koleksi dibagi secara tematik. Di lantai satu kita bisa menikmati koleksi yang bertemakan Manusia dan Lingkungan. Kita pun bisa melihat langsung sosok nenek moyang kita di masa prasejarah. Uniknya ada pula gua buatan yang di dasarnya terdapat fosil manusia purba. Coba saja guanya lebih besar, pasti akan sangat menarik.
Di lantai dua, tema koleksinya adalah Ilmu Pengetahuan, Ekonomi dan Teknologi. Di lantai ini tersimpan berbagai koleksi prasasti dan alat-alat navigasi serta perekonomian jaman dulu.
Naik satu lantai, kita akan memasuki ruangan dengan tema Organisasi Sosial dan Pemukiman. Lebih tepatnya, ruangan ini lebih banyak mengupas kebiasaan masyarakat jaman dulu. Ada seksi koleksi yang cukup kami berdua tertawa geli, yaitu Peralatan Kenikmatan (Luxury Items). Terdengar agak aneh, sebab terasa tak pas saja. Padahal isinya seperti tempat penyimpanan sirih. Mungkin lebih tepat diberi nama Peralatan Bersantai atau Leisure Items. Oya, ada pula beberapa jenis alat transportasi unik yang bisa kita temui di lantai ini.
Sedangkan di lantai empat, koleksinya bertemakan Emas dan Keramik Asing. Sayangnya kami tidak boleh mengambil gambar di kawasan ini. Walau sebenarnya sudah ingin curi-curi mengambil gambar. Tapi, lebih baik menghormati aturan yang sudah ada. Mungkin Anda akan dibuat penasaran dan akhirnya berniat untuk berkunjung ke museum ini kelak. Sejauh mata memandang, isinya memang alat-alat dan perhiasan yang terbuat dari emas. Untuk ruangan keramiknya kita bisa melihat beberapa koleksi keramik yang diambil dari dasar lain. Bahkan masih ada yang menempel di karang.
Saat kembali ke lantai dasar, kami lalu masuk ke ruang pameran. Saat itu ada pameran seniman patung dari China, Cai Zhisong. Sepi, sesepi empat lantai yang baru saya sambangi bersama teman saya. Tapi sepertinya tak semua orang boleh masuk , terutama anak-anak. Sebab koleksinya sebagian besar menggambarkan lelaki tanpa busana. Cukup menarik, karena bentuknya unik dan tidak biasa.
Kami kemudian berjalan kembali ke pintu utama. Di sana kami kemudian naik ke lantai atas, yang ternyata menyimpan koleksi-koleksi benda berharga. Khasanah Arkeologi dan Khasanah Etnografi, adalah nama dua ruangan itu. Lagi-lagi di sini kami tak boleh mengambil gambar. Yang unik adalah pintu masuknya yang berbentuk bundar, tampak begitu klasik. Untuk isi koleksinya tak jauh berbeda dengan koleksi emas dan keramik di gedung sebelah.
Saat keluar, kami mencoba menuju ke lokasi bawah yang berbentuk setengah amphitheater. Ternyata ada ruangan lagi, namanya Ruangan Asean. Tapi tampak begitu sepi. Sayangnya ruangan ini terkunci, sehingga kami tak bisa masuk. Sejauh mata memandang, isinya lebih banyak mengenalkan kita tentang budaya masyarakat Asean pada umumnya. Selain itu, ternyata kami melewatkan satu ruangan yaitu Ruang Numismatik yang berisi koleksi alat pembayaran seperti koin dan uang kertas.
Wah, ternyata luas juga. Namun, entah kenapa saya masih kurang puas. Mungkin cara museum ini memajang atau menampilkan koleksi-koleksi mereka. Sama seperti saat berkunjung ke Museum Zoologi di Bogor. Terasa begitu sepi seperti perpustakaan tua yang sudah lama tak dirawat. Tapi saya cukup puas dengan koleksi tematik yang ada di gedung sebelah. Lebih tertata dan memiliki sirkulasi udara yang pas (alias memiliki sistem pendingin yang menyejukan). Teman saya juga menyayangkan ketiadaan penjualan souvenir khas Museum Nasional. Padahal ini juga bisa dijadikan pemasukan tambahan untuk perawatan museum. Oya, banyak peranti informasi yang tak menyala. Padahal alat berlayar sentuh ini cukup membantu para pengunjung perihal isi koleksi museum ini.
Walau begitu, museum ini masih mampu menarik banyak pengunjung. Mulai dari anak-anak hingga dewasa, dan bahkan wisatawan asing (yang ternyata jumlahnya tak sedikit). Kalau saja Museum Nasional benar-benar bisa membuat nyaman pengunjungnya, mungkin saja akan banyak orang yang berbondong-bondong datang. Siang ternyata masih panjang, kami lalu memutuskan untuk datang ke Pameran Flona di Lapangan Banteng dan Festival Passer Baroe. Tapi, sepertinya sudah terlalu panjang saya bercerita. Saya janji akan menceritakan pengalaman saya ke kedua tempat tadi lain waktu. Selamat berjalan-jalan!
2 thoughts