BALI: Ubud Story, Part 1

Walau sudah beberapa kali ke pulau Bali, Ubud merupakan salah satu lokasi yang belum pernah saya kunjungi. Untuk perjalanan ke Bali kali ini, saya sengaja merencanakan untuk berlibur di Ubud bersama ibu saya (yang kebetulan belum pernah berkunjung ke Bali). Saya memilih Ubud karena menurut rekomendasi yang saya dapat dari teman-teman saya dan juga beberapa blog traveling, daerah ini sangat cocok untuk wisatawan yang ingin menikmati ketenangan dan juga mengenal lebih dekat dengan budaya masyarakat Bali. Namun yang paling utama karena destinasi wisata yang berada di Kabupaten Gianyar ini cukup friendly dengan pelancong senior.

Rencana pelesir ke Ubud sudah dari jauh hari saya siapkan. Mulai dari berburu tiket pesawat hingga mencari informasi tentang lokasi-lokasi yang hendak saya kunjungi nanti. Beruntung saya mendapatkan tiket pesawat Citilink dengan harga yang cukup murah. Setelah tiket pesawat di tangan, maka tahap berikutnya adalah mengajukan cuti!

Untuk mendapatkan cuti di kantor saya sekarang memang gampang-gampang susah. Lagi-lagi, saya beruntung karena atasan saya memberikan approval. Bisa dibilang cukup lama, 6 hari dengan dipotong dua hari di akhir pekan. Lucunya lagi, saya baru ngeh kalau hari Sabtu bertepatan dengan Hari Raya Nyepi. Tapi lumayan juga sih, karena baru sekali ini mengikuti ritual nyepi di Bali dan pastinya berbeda dengan saat kita merayakannya di ibukota. Nilai plusnya, saya bisa menonton parade ogoh-ogoh secara langsung dan tentunya akan lebih ramai.

Berikutnya saya harus segera mencari akomodasi selama di Ubud. Mengingat akan ada nyepi, saya harus mencari penginapan yang masih memberikan layanan makan selama berlangsungnya nyepi. (Awalnya sih mau pakai airbnb, tapi menurut rekomendasi teman saya yang orang Ubud – lebih baik mencari hotel, karena masih menyediakan makan. Kalau pakai airbnb, kemungkinan harus belanja dulu. Tapi ini balik ke orangnya masing-masing. Karena saya tidak mau repot, jadinya memilih menginap di hotel). Saya mencari referensi akomodasi melalui tripadvisor, karena ulasannya kebanyakan bule dan pastinya lebih terpercaya. Setelah mencari-cari yang sesuai dengan anggaran saja, akhirnya pilihan jatuh pada AniniRaka Resort & Spa yang berada di jalan Raya Campuhan.

Setelah mendapatkan tempat menginap, selanjutnya menyusun itinerary yang lebih logis (dengan mempertimbangkan kondisi ibu saya) dan juga mencari transportasi selama di Ubud. Untuk aiport transfer, saya memilih menggunakan taksi daring. Untuk tips mendapatkan taksi daring di Ngurah Rai bisa dibaca di postingan saya sebelumnya. Sedangkan untuk transportasi di Ubud dan sekitarnya, saya menyewa mobil dan juga skutermatik.

Hari 1

Pada hari-H. Kami naik UBERCar menuju ke Halim Perdanakusuma. Jalanan cukup lancar dan jadwal penerbangan pun tepat waktu. Cuaca sedikit mendung ketika memasuki pulau Bali. Sampai di Ngurah Rai, saya mengambil bagasi dan mencoba mencari UBERCar. Akhirnya dapat dan saya diminta driver-nya untuk jalan ke parkiran. Berhubungan saya sedikit “buta” dengan bandara Ngurah Rai, saya malah berjalan menuju ke kawasan yang banyak taksinya. Setelah beberapa kali menelepon dan sedikit salah paham, akhirnya saya menuju ke terminal keberangkatan. Kata driver-nya, di sini (Bandara Ngurah Rai) sudah dibagi-bagi antara taksi konvensional dan taksi daring. Khusus taksi daring, naiknya dari terminal keberangkatan. Mungkin karena sekalian menurunkan penumpang dan menunggu calon penumpang berikutnya.

Perjalanan ke Ubud ditempuh sekitar 1,5 jam. (Kalau mau lebih ngirit lagi, kalian bisa menggunakan Kura-Kura Shuttle Bus, cocok untuk yang jalan-jalan sendiri). Sesampainya di hotel, saya mendapatkan twin room di lantai atas. Kamarnya sesuai dengan ekspetasi. Walau tidak terlalu fancy (untuk ukuran jalan-jalan ke Bali), tapi tempatnya bersih. Ada dua kolam renang, di area tengah dan belakang. Pemandangan dari kamar saya juga lumayan kece.

Siangnya, saya bersama ibu ke pusat keramaian Ubud untuk melihat-lihat dan mencari makan. Tiba-tiba hujan turun ketika kami sampai di Warung Babi Guling Gung Cung (dan sudah tutup pula). Kami akhirnya menuju ke Gelato Secrets ambil berteduh. Katanya sih tempat ini yang wajib dikunjungi kalau ke Ubud. Cukup seru lah. Nyicipin beberapa scoop gelato sambil meluruskan kaki. Pulangnya kami sempat mampir ke Dharma Coffee yang berada di dekat Bintang Supermarket. Mungkin karena belum terbiasa makan yang “sehat-sehat” jadinya gak terlalu selera. Akhirnya mampir ke supermarket untuk beli beberapa camilan. Malamnya saya bertemu dengan teman saya sekaligus mencari makan malam. Kami menuju ke Littletalks Ubud yang tepat berada di seberang Museum Blanco. Tempatnya lumayan nyempil, tapi buat yang ingin mencari lokasi yang sepi dan tidak terlalu ramai, tempat ini cukup recommended. Teman saya bilang kalau tempat ini cocok untuk menikmati sarapan, karena pemandangannya lumayan bagus dan lokasinya tepat di tebing dekat sungai yang berada di bawah Pura Gunung Lebah.

Hari 2

Pagi sebelum sarapan kami menyempatkan jalan-jalan ke Campuhan Ridge Walk. Lokasinya memang agak susah dicari, karena akses menuju ke lokasi ini berada di belakang Pura Gunung Lebah. Cara mudahnya, cari saja jembatan yang dekat dengan Museum Blanco. Agak menanjak, kalian bisa menemukan Hotel Warwick Ibah. Nah, dari situ kalian bisa berjalan turun melewati jalan setapak menuju ke bukit Campuhan.

Saat itu, kami sudah cukup siang. Ada beberapa pengunjung yang sudah turun dan menyapa kami. Sesampainya di atas, pemandangannya seperti yang bisa kita lihat di media sosial. Tapi yang pasti sejuk dan pemandangan hijau di mana-mana. Saya malah sempat melihat burung-burung yang bertengger dan beterbangan dari satu pohon ke pohon lainnya. Saya dan ibu tidak sampai menyelesaikan hingga ke ujung, lagi pula belum sarapan jadinya takut gak kuat pulangnya. Hehe.

Setelah sarapan, saya dan ibu saya kembali ke pusat Ubud. Sayangnya, shuttle gratis dari hotel tidak beroperasi karena jalanan sudah ada yang ditutup untuk parade ogoh-ogoh nanti malam.Akhirnya kami berjalan kaki ke pusat Ubud. Tujuan pertama adalah ke Museum Puri Lukisan. Tiket masuknya sih terbilang lumayan lah, tapi itu sudah termasuk free minum dan makanan ringan. Di halaman depan museum kebetulan ada beberapa ogoh-ogoh yang siap diarak nanti sore.

ubud014

Lagi-lagi hujan turun sewaktu kami sedang beristirahat di cafe yang berada di area museum. Setelah reda, kami melanjutkan ke Puri Saren Agung Ubud atau Ubud Palace, tempat Raja Ubud tinggal. Saat itu sudah banyak dihiasi dengan pernak-pernik khas Bali.

ubud017

Usai foto-foto, saya dihubungi teman saya yang berada di Plataran Ubud. Berhubung lokasinya cukup jauh, saya mencoba mencari UBERCar. Agak takut-takut sih, tapi akhirnya dapat juga. Di Plataran Ubud, saya dan ibu saya sempat makan sore (terima kasih Chef Edo untuk traktirannya) dan berkeliling ke dalam area hotel (ya lumayanlah dapat spot foto-foto keren, walau tidak menginap di sini, hehe). Sewaktu mau kembali ke hotel, muncul satu permasalahan. Tidak ada ojek daring yang mau mengantarkan kami. Teman saya lalu meminjamkan motornya untuk mengantarkan ibu saya (once again, thanks banget ya Edo!). Setelah mengantarkan ibu kembali ke hotel dan saya langsung menuju ke Plataran untuk mengembalikan motor. Dari Plataran, saya berjalan melalui Jalan Hanoman menuju ke Pura Agung Ubud.

Saya sempat memotret beberapa ogoh-ogoh yang nantinya akan diarak. Sesampainya di dekat Pasar Ubud, sisi kanan dan kiri jalanan sudah ramai dipenuhi orang (kebanyakan turis asing). Posisi saya cukup pas untuk menikmati parade. Oya, ogoh-ogoh sendiri merupakan salah satu bagian upacara pengerupukan (upacara yang dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala atau segala hal yang bersifat buruk yang dilakukan senja hari).

Ketika sore tiba, arak-arakan pun dimulai. Masing-masing banjar mengarak ogoh-ogoh menuju ke Lapangan Ubud. Beberapa ada yang bertugas untuk menaikkan kabel listrik yang menghalangi jalannya ogoh-ogoh. Tak cuma pria dewasa saja turut serta dalam parade ini, ada juga anak-anak yang mengarak ogoh-ogoh mini dan ada salah satu banjar yang ogoh-ogoh-nya diarak oleh perempuan.

Ketika langit mulai gelap, saya mengikuti salah satu banjar menuju ke Lapangan Ubud. Di sini, masing-masing ogoh-ogoh akan diadu. Saya sempat menunggu beberapa saat, tapi berhubung sudah capek saya memutuskan untuk kembali ke hotel. Jalanan menuju hotel juga sudah sangat gelap, pertanda kalau nyepi sudah tiba.

Hari 3

Pagi harinya, jaringan internet mati. Sudah pasti hanya akan di kamar saja. Beruntung hotel saya tetap menyediakan sarapan (gratis), makan siang dan makan malam. Dari pagi hingga siang, saya hanya bermain laptop. Siangnya saya dan ibu berenang dengan bebas di area belakang hotel. Ada juga beberapa turis asing yang menghabiskan waktu dengan berenang dan berjemur.

ubud037

Malamnya, suasana menjadi sangat gelap. Kami juga diminta untuk tidak menyalakan lampu yang ada di balkon. Tapi ada untungnya, saya dan ibu saya bisa menikmati langit malam dengan jelas. Kami juga menyempatkan duduk-duduk di balkon melihat sawah yang ada di samping hotel. Serunya, kami melihat banyak kunang-kunang yang berterbangan. Padahal kemarin, tidak tampak satupun kunang-kungan. Mungkin karena ada banyak cahaya lampu yang membuat kerlap-kerlipnya tidak terlalu tampak. Satu lagi pengalaman terbaik saat ikut merayakan nyepi di Bali

Bersambung ke Part 2

4 thoughts

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s