BALI: Ubud Story, Part 2

Pengalaman merayakan nyepi di Bali memang cukup bikin hati tenang. Seharian tidak mengakses internet dan membuka media sosial. Paling tidak, saya bisa detoks dari keseharian saya yang tidak bisa lepas dari ponsel saya. Saat malam, langit di pulau Bali tampak lebih bersih. Kalau beruntung, bisa melihat bintang jatuh. Sedangkan saya cukup beruntung karena bisa melihat kerlap-kerlip kunang-kunang yang berterbangan di atas persawahan yang ada di samping hotel. Ok, setelah Part 1 sekarang kita lanjutkan cerita perjalanan saya di Ubud!

ubud100

Hari 4

Setelah seharian mengikuti ritual nyepi, di hari berikutnya saya berniat berpetualang ke Tegallalang Rice Terrace yang tersohor. Untuk menuju ke lokasi persawahan terasiring ini cukup mudah dan tidak terlalu jauh dari pusat Ubud. Kalau membawa kendaraan, bisa diparkir di area parkir yang dikelola oleh banjar setempat. Biayanya juga murah kok. Dari area parkir ke lokasi masuk Tegallalang memang harus berjalan ke arah utara sedikit. Tapi karena tidak ada papan petunjuk yang jelas, saya dan ibu malah masuk melalui salah satu cafe. Jalannya cukup curam. Kita harus turun dulu, lalu menyeberang melalui sungai kecil untuk naik ke area sawah.

Areanya cukup luas. Untuk mendapatkan pemandangan yang semakin jelas, kita perlu naik lagi ke atas bukit. Semakin ke atas, pemandangan ala kartu pos semakin tampak jelas. Nah, baru lah di sini kita membayar biaya masuk (dalam bentuk donasi yang dimasukkan ke dalam toples kaca). Kita bisa foto-foto sambil membawa keranjang yang dipanggul atau sekadar berfoto dengan latar persawahan. Tegallalang sendiri pernah masuk ke dalam salah satu adegan film The Fall karya Tarsem Singh. Di sini kita bisa menyewa ayunan yang diikat di antara dua pohon kelapa yang menjulang cukup tinggi. Katanya sih, sensasinya mengguncang andrenalin. Sayang, saya tidak sempat mencobanya karena sudah keburu capek menuntun ibu saya. Hehe.

Perjalanan hari ini berlanjut ke Goa Gajah. Untuk masuk ke area ini, kita diwajibkan menggunakan kain (khusus yang bercelana pendek). Goa Gajah sendiri merupakan salah satu wilayah suci umat Hindu Bali. Kita tidak perlu membeli kain yang ditawarkan oleh pedagang yang berada di dekat loket. Di pintu masuk, kita akan dipinjamkan dengan kain bermotif khas Bali. Untuk menuju ke goanya, kita berjalan menuruni tangga ke bawah. Goa ini dulu adalah tempat pertapaan dan merupakan salah satu situs kebudayaan Bali yang masih berkaitan dengan penyebaran agama Hindu dan Budha. Tak jauh dari goa, ada petirtaan yang masih berfungsi dengan baik dan terus mengalirkan air yang jernih. Puas berkeliling area Goa Gajah, kami langsung tancap gas menuju ke Bali Safari & Marine Park.

Di Bali Safari & Marine Park, saya tidak perlu mengantri lagi. Cukup menuju ke antrian pembayaran online. Saya mengambil paket Safari Legend, yang sudah termasuk pertunjukan kolosal Bali Agung. Untuk berkeliling taman safari ini kita tidak perlu naik mobil seperti Taman Safari Indonesia yang ada di Bogor. Disediakan mobil khusus untuk masuk ke kawasan safarinya. Berhubung sudah siang dan perut mulai keroncongan, kami makan siang dulu di Uma Restaurant. Sistem bayarnya mirip dengan foodcourt. Mengisi kartu dengan saldo sesuai keinginan, lalu tinggal tap saat akan membayar di konter. Setelah kenyang, lanjutlah kami menuju terminal Toraja untuk mengikuti Safari Journey.

Saat itu antrian tidak terlalu ramai, jadinya saya dan ibu mendapatkan antrian depan. Safari Journey ini akan memasuki beberapa kawasan habitat binatang, mulai dari Indonesia, Asia dan Afrika. Luasnya sendiri sekitar 40 hektar (sepertinya lebih kecil dibandingkan TSI yang ada di Puncak, Bogor). Di dalam mobil, ada pemandu yang menjelaskan setiap area yang kita lalui secara dwi bahasa. Cukup seru juga sih, karena kebiasaan kalau ke taman safari pakai mobil sendiri jadinya tidak terlalu tahu tentang binatang yang kita temui. Safari Journey ini berdurasi sekitar 30 menit.

Ketika sampai kembali ke terminal Toraja, waktu sudah mendekati mulainya pertunjukan Bali Agung di Bali Theatre. Tak lama terdengar pengumuman dari pengeras suara bahwa pertunjukan akan dimulai dan meminta untuk seluruh pengunjung yang memiliki tiket segera menuju ke pintu masuk.

Pintu masuk Bali Theatre terbilang “wah” dan unik, ada arca Ganesha yang cukup besar seolah berjaga di pintu yang mirip goa raksasa. Saat masuk, kita tidak diperbolehkan untuk membawa alat perekam, kamera serta ponsel (kita bisa menitipkannya di loker yang ada di area lounge). Teater tempat pertunjukan Bali Agung ini sangat besar. Ada kolam kecil di atas panggungnya. Ketika masuk, sudah ada pemain gamelan yang memainkan alunan lagu-lagu khas Bali.

Pertunjukkan pun dimulai. Diawali dengan parade seluruh pemain (baik manusia dan binatang). Bali Agung sendiri bercerita tentang percintaan antara Raja Sri Jaya Pangus dan istrinya Kang Cing Wie, putri seorang saudagar Cina. Namun sayangnya, setelah sekian lama menikah, mereka tidak memiliki Anak. Merasa frustrasi, Sang Raja lalu mencari pencerahan dengan menjelajahi lautan. Dalam perjalanannya, Sang Raja terdampar di sebuah pulau ajaib dan bertemu dengan Dewi Danu. Sang Raja pun jatuh cinta dengan Dewi Danu dan dikaruniai seorang putra. Sementara di seberang lautan, Kang Cing Wie merasa kuatir dengan keberadaan suaminya. Ia lalu menyusul mencari Sang Raja. Ketika menemukan suaminya, Kang Cing Wie kecewa mengetahui Sang Raja telah berpindah ke lain hati akhirnya mengutus pengawalnya untuk melawan Jaya Pangus. Pertempuran tak terlelakkan dan memicu kemarahan Dewi Danu yang akhirnya mengutuk Sang Raja Jaya Pangus serta Kang Cing Wie menjadi patung.

Babak demi babak diceritakan dalam bahasa Inggris (jadi cukup paham sama alur ceritanya). Kisah Bali Agung sendiri mengangkat beberapa sejarah tentang Danau Batur dan Barong Landung. Visualisasinya luar biasa. Sangat worth it kalau menonton teater kolosal yang dimainkan oleh ratusan penari dan binatang ini. Perlu diingat, pertunjukan dimulai jam 14.30 WITA dan tidak ada pertunjukkan di hari Senin.

ubud124

Setelah berkeliling sebentar, akhirnya kami memutuskan ke Fresh Water Aquarium. Saya pikir tempatnya mirip-mirip SeaWorld. Tapi hanya beberapa akuarium yang berisikan ikan-ikan khas perairan Indonesia. Ketika masuk, ternyata akan ada pertunjukkan Piranha Feeding. Berhubung belum pernah liat, akhirnya kami menontonnya. Rada serem sih, karena dalam waktu yang singkat ikan-ikan ini bisa mengabiskan dua potong daging ayam yang dimasukkan ke dalam akuarium.

ubud125
Piranha Feeding Show

Karena waktu sudah sore, saya dan ibu memutuskan untuk kembali ke Ubud (awalnya mau ke Uluwatu untuk lihat pertunjukkan tari kecak, tapi sepertinya akan menghabiskan waktu di jalan dan menambah biaya tambahan sewa mobil). Karena masih ada waktu, saya mengajak ibu ke Ubud Monkey Forrest. Kami sampai di sana sekitar jam 5 sore dan sejam lagi Monkey Forrest akan tutup. Tapi tak apa, paling tidak sudah pernah masuk ke dalam hutan yang dihuni ratusan kera jinak ini. Perlu diperhatikan ya, jangan pakai barang yang mencolok atau gampang diambil sama keranya. Walau cukup jinak, jangan terlalu overeacted kalau tiba-tiba ada yang hinggap di bahu Anda.

Sore itu masih banyak wisatawan yang berkeliling area ini. Hutan ini mengingatkan saya dengan karyawisata saat SMP, kala itu saya mengunjungi hutan Sangeh. Karena sudah mau tutup dan perut mulai lapar, kami akhirnya kembali ke hotel. Untungnya, saya tidak dikenakan biaya tambahan untuk sewa mobilnya walau agak lewat setengah jam. Hehe.

Menjelang malam. Saya dan ibu menuju ke Warung Gurihan yang tak jauh dari hotel. Berdasarkan rekomendasi teman saya, tempat ini menawarkan pork ribs panggang yang cukup enak. Ada dua pilihan, 250 gram atau 500 gram. Kalau saya sih, sudah pasti pesan yang paling besar. Haha. Soal rasa, lumayan lah. Katanya sih lebih enak yang di Naughty Nuri’s (harganya juga beda). Hehe. Perut kenyang, pulang-pulang langsung tepar di kasur.

ubud129
Warung Gurihan

Hari 5

Hari ini saya menyewa motor untuk berkeliling Ubud. Tujuan pertama adalah Pasar Seni Sukawati. Awalnya sih mau ke Pasar Ubud, tapi beberapa orang menyarankan ke Pasar Sukawati saja karena harganya lebih ramah dengan kantong wisatawan lokal dan bisa menawar. Naik motor memang lebih menyenangkan. Cuma bedanya siap-siap terpapar sinar matahari (untungnya saya sedang berniat untuk menggelapkan badan, hehe). Soal tawar-menawar, saya bukan jagonya apalagi ibu saya. Tapi lumayan lah, rata-rata bisa ditawar hingga 50%. Tekniknya sih mirip-mirip kalau ke pasar-pasar di Jawa. Hehe. Puas beli oleh-oleh, kami menuju ke Babi Guling Payangan Bu Ari. Sebenarnya ada beberapa lokasi, tapi yang saya tuju adalah di jalan Raya Lungsiakan (Campuhan Raya naik ke atas lagi). Warungnya cukup sederhana, mirip-mirip warung gado-gado. Saat itu sudah ada beberapa orang yang mengantri untuk membeli nasi campurnya. Saya langsung pesan dua untuk dimakan di tempat, dan dua dibungkus. Beberapa blog kuliner rata-rata merekomendasikan ke Babi Guling Bu Oka, tapi harganya lumayan mahal (bahkan teman saya yang tinggal di Ubud tidak menyarankan). Babi Guling Payangan ini bisa jadi alternatif untuk mencicipi makanan lokal. Khusus NON HALAL ya!

ubud130
Babi Guling Payangan Bu Ari

Menjelang sore, saya menuju ke sebuah spa di daerah Penestanan. Mencari tempatnya cukup bikin pusing kepala. GPS yang saya pakai malah semakin membuat saya tersesat masuk ke area persawahan. Akhirnya molor 30 menit dari jadwal. Untungnya sehabis saya, terapisnya tidak ada jadwal lagi. Lokasinya cukup nyempil. Namanya Kebindah Spa. Tempatnya tenang dan bersih. Ngobrol-ngobrol sama terapisnya, rata-rata kliennya adalah bule-bule yang tinggal di Campuhan. Bedanya dengan spa lainnya, spa ini tidak pakai aromaterapi dan musik bernuansa ambient. Tapi tenang saja, masih wangi dan dapat bonus suara gemericik air yang ada di bawah spa (secara tempatnya jauh dari jalanan utama). Satu jam berlalu. Pulang ke hotel untuk menjemput ibu saya. Kita mau keliling-keliling Ubud dengan motor sampai malam. Puas berkeliling (iya, hanya keliling naik motor saja), kami pulang ke hotel untuk makan malam.

Hari 6

Hari terakhir. Supir yang akan mengantarkan kami ke bandara sudah tiba saat kami sarapan. Saya akhirnya menggunakan jasa sewa mobil untuk airport transport. Harganya sih 11-12 dengan taksi daring (walau lebih mahal). Tapi daripada saya tidak dapat kendaraan untuk ke bandara, saya memilih untuk sewa mobil. Menurut teman saya, kalau ke Ubud dari bandara memang lebih baik naik taksi daring. Kalau pulangnya, direkomendasinya cari sewa mobil. Terapis saya kemarin merekomendasikan Bali Om Tours yang ada di jalan Bisma 3 yang berada di belakang SMP Negeri 1 Ubud. Tapi berhubung saya sudah pesan mobil dari Denpasar, saya mengurungkan niat ke Bali Om.

Perjalanan cukup lancar hingga ke bandara dan bisa dibilang kami kepagian sampai di bandara (ya, daripada ketinggalan pesawat). Sebenarnya mau mampir ke daerah Seminyak dulu untuk menemui teman saya. Tapi waktunya tidak cukup. Pesawat kami baru boarding jam 12 siang, jadi kami leyeh-leyeh dulu di lounge bandara. Beruntungnya, pesawat kami tepat waktu.

Akhirnya jalan-jalan ke Ubud, Bali berakhir sudah. Masih ada banyak tempat yang ingin saya datangi. Namun karena kemarin jalan-jalan dengan ibu, jadinya ada banyak tempat yang harus saya skip. Termasuk juga bertemu dengan beberapa teman lama yang tinggal di Bali. Walau begitu, it was a great journey (with mom). Semoga tahun depan masih bisa jalan-jalan dengan beliau dan tentunya bisa me time dengan ngetrip sendiri ke beberapa tempat. Hehe.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s