Menikmati sore di kawasan Kota Tua Jakarta memang sudah sangat biasa untuk saya yang berkali-kali mengunjugi daerah ini. Tapi perjalanan sore kali ini sedikit berbeda dengan apa yang sering saya lakukan. Beberapa minggu sebelumnya, Semasa di Kota Tua membuka pendaftaran untuk Walking Tour: Senja di Kota Tua bekerjasama dengan Jakarta Good Guide. Walking tour ini juga bertepatan dengan bulan Ramadhan, jadi sekaligus menjadi momen untuk “ngabuburit” berkeliling Kota Tua.
Awalnya saya “janjian” dengan teman saya untuk ikut tur ini, namun sayangnya teman saya tidak jadi ikut. Walau begitu, saya tidak sendirian karena ada beberapa orang yang mengikuti tur ini. Kami semua diminta untuk berkumpul di Gedung OLVEH, tempat Semasa Café berada. Kami kemudian dibagi menjadi dua kelompok tur. Kelompok pertama akan dipandu dengan bahasa Inggris, sedangkan kelompok kedua dipandu dengan bahasa Indonesia. Saya akhirnya memilih kelompok pertama karena berangkat lebih awal.
Tur dimulai dengan penjelasan tentang Gedung OLVEH. Pemandu kami, Candha, menjelaskan sejarah berdirinya gedung yang berada di seberang stasiun stasiun Jakarta Kota. Gedung OLVEH sendiri dibangun oleh biro arsitek Schoemaker pada 1921. Dulu bangunan ini dibangun untuk kantor cabang perusahaan asuransi jiwa Belanda, Onderlinge Levensverzekering van Eigen Hulp atau disingkat menjadi OLVEH.
Gedung yang direvitalisasi dan dibuka kembali pada 2016 ini dibalut dengan cat warna putih di bagian luar gedungnya. Untuk interiornya, batu bata dibiarkan begitu saja di dindingnya dan lantainya dilapisi marmer putih. Gedung ini terdiri dari 3 lantai, konon OLVEH hanya menggunakan lantai paling atas. Bangunan ini bergaya art deco dengan menggunakan ciri kubisme yang sering digunakan pada masa itu. Salah satu yang menonjol dari gedung ini adalah dua kubah besar yang ada di atasnya.
Gedung yang mulai dioperasikan pada 7 Januari 1922 ini terletak di Jalan Jembatan Batu No 50, Pinangsia, yang dulu disebut Vorrij Zuid. Gedung ini termasuk berada di kawasan Voorstad, yang berada di luar kawasan pusat Batavia bagian selatan. Kawasan ini dirancang oleh VOC untuk lokasi bisnis dan pemukiman masyarakat Tionghoa. Jika menuju ke balkon belakang gedung ini, kita bisa melihat kelenteng Setia Dharma Marga (kalau dulu bisa melihat pemukiman masyarakat Tionghoa).
Kami kemudian menyeberang ke perempatan yang berada tepat di antara Gedung OLVEH, Stasiun Jakarta Kota atau yang dulu disebut dengan BEOS atau Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij, Museum Mandiri dan Halte Bus Transjakarta Kota. Sore itu, jalanan memang sudah sangat ramai. Apalagi lokasi itu adalah akses menuju ke Pasar Pagi Asemka (tempat berbagai aksesoris murah), Pasar Pagi Mangga Dua, ITC Mangga Dua, Pasar Glodok dan tentunya kawasan wisata Kota Tua. Kami lalu menyeberang ke depan gedung Museum Mandiri.
Museum Mandiri dulu awalnya adalah Gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang pada 1929 menjadi perusahaan perbankan. Gedung ini dirancang oleh 3 orang arsitek Belanda yaitu J.J.J de Bruyn, A.P. Smits dan C. van de Linde. Mulai dibangun pada 1929 dengan gaya arsitektur art deco.
Sayangnya banyak pedagang makanan dan buah-buahan yang memenuhi trotoar depan museum ini. Mungkin banyak yang memanfaatkan momen bulan puasa untuk menjajakan berbagai makanan untuk berbuka. Satu hal yang juga menjadi pemandangan unik di sini adalah beberapa orang yang membuka jasa penukaran uang. Ini dipengaruhi tradisi di mana di saat hari raya nanti, orang tua akan memberikan amplop berisikan uang pecahan kecil dan dalam kondisi yang masih baru. Tradisi ini yang membuat banyak orang berbondong-bondong menukarkan uangnya dengan berlembar-lembar yang lebih baru (apalagi tahun ini mata uang Indonesia baru saja diganti desainnya).
Oke, berlanjut ke walking tour. Kami kemudian menuju ke depan Museum Bank Indonesia yang berada di samping Museum Mandiri. Dulunya gedung ini merupakan bekas rumah sakit Binnen Hospitaal yang yang dibangun pada masa pemerintahan VOC pada tahun 1641. Bangunan ini mempunyai 2 lantai dengan denah berbentuk L. Sisi utama dari bangunan ini justru menghadap ke utara atau yang sekarang bernama Jalan Bank, bukan ke arah timur atau di Jalan Pintu Besar Utara seperti yang sekarang. Bangunan bergaya neo-klasikal ini kemudian berubah menjadi De Javasche Bank pada tahun 1828.
Selanjutnya kami tak langsung menuju ke Taman Fatahillah, melainkan berbelok ke arah jembatan Kali Besar. Di sini kami sempat melintasi Wonderloft Hostel dan Escompto Bank atau yang dulu dikenal dengan Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij yang didirikan di Batavia pada 1857. Gedung Escompto Bank kemudian dikenal sebagai gedung Bank Dagang Negara Indonesia.
Di jembatan, kami menyempatkan diri untuk memotret matahari yang mulai terbenam. Di sini pula Candha menceritakan tentang sejarah Pintu Kecil. Dulu Pintu Kecil dikenal sebagai akses untuk masuk ke dalam benteng yang dibangun oleh VOC pada 1638. VOC membangun benteng dengan pintu masuk yang dijaga ketat oleh satuan militer karena Batavia pada abad ke-17 menghadapi ancaman dari tentara Banten yang sering menyerang kota. Pintu kecil sendiri lokasinya berada di luar benteng yang dibangun VOC. Tujuh tahun sebelumnya yaitu pada 1631, VOC membangun Pintu Besar yang kini dikenal menjadi nama jalan; Pintu Besar Utara dan Pintu Besar Selatan. Di masa Belanda, Pintu Besar Utara bernama Binnen Niewpoort dan Pintu Besar Selatan bernama Buiten Niewpoort.
Sejak abad ke-5, banyak orang Tionghoa yang datang ke Sunda Kelapa. Saat Belanda pertama kali berlabuh di Jayakarta pada November 1596, mereka sudah menemukan pemukiman Tionghoa yang terletak kini di sekitar Jalan Tongkol dan tidak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Hingga pertengahan 1740, orang Tionghoa bebas tinggal di mana saja termasuk di tengah pemukiman Belanda. Hingga peristiwa pemberontakan pada Oktober 1740, mereka dilarang tinggal dalam benteng dan ditempatkan di Glodok atau di luar Pintu Kecil. Itulah mengapa ada bangunan dengan arsitektur tradisional Cina dengan bagian atas genting yang runcing di kawasan ini. Kala itu, bangunan ini banyak dijumpai di tepi Kali Krukut. Kini Sungai Krukut di Pintu Kecil sudah berubah fungsi menjadi selokan.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Toko Merah yang ikonik. Di balik warna merahnya, gedung ini ternyata menyimpan sejarah yang cukup kelam. Toko Merah dibangun pada 1730 oleh Gustaaf Willem baron van Imhoff dan akhirnya menjadi milik warga Tionghoa, Oey Liauw Kong, sejak pertengahan abad ke-19. Bangunan ini juga menjadi kediaman beberapa Gubernur-Jenderal Batavia kala itu.
Toko Merah juga pernah dijadikan Kampus dan Asrama Académie de Marine atau akademi angkatan laut, dan kemudian digunakan untuk Heerenlogement atau hotel para pejabat. Pada masa pendudukan Jepang, Toko Merah menjadi Gedung Dinas Kesehatan Tentara Jepang.
Nama Toko Merah didasarkan pada warna tembok depan bangunan yang bercat merah hati dan tidak diplester langsung pada permukaan batu bata. Namun ada juga yang mengatakan bahwa nama itu diambil setelah peristiwa Geger Pecinan, di mana saat itu banyak mayat orang Tionghoa bertebaran di Kali Besar sehingga permukaan air menjadi warna merah.
Di seberangnya, kita bisa melihat deretan gedung tua yang menjadi pusat pemerintahan Batavia kala itu. Sayangnya kawasan Kali Besar yang berada di depan Toko Merah sedang ditutup untuk umum karena sedang ada proyek revitalisasi. Kami sempat masuk ke dalam proyek ini, namun kami dilarang untuk mengambil gambar selama di dalam proyek ini. Revitalisasi Kali Besar ini terinspirasi dari penataan Sungai Cheonggyecheon di Korea Selatan. Revitalisasi Kali Besar mencakup pembersihan air Kali Krukut yang melintasi wilayah itu dengan membangun sebuah sistem filterisasi air di kawasan Pasar Asemka.
Menurut berita yang saya baca di Kompas, proses revitalisasi Kali Besar sempat terhenti karena ditemukan kayu-kayu besar yang tertancap di dasar kali. Menurut ahli cagar budaya, kayu-kayu tersebut merupakan bagian dari sistem perairan zaman Batavia abad-18. Beberapa arkeolog pun mendorong agar pembangunan tersebut tidak merusak benda cagar budaya (termasuk dengan cara dibeton).
Nantinya jika sudah diresmikan, kita bisa menikmati taman apung di atas Kali Besar dengan air yang sudah dijernihkan. Fase awal meliputi Kali Besar-Jalan Bank-Jalan Kopi, dan fase selanjutnya meliputi ruas Kali Besar-Jalan Kopi-Jembatan Kota Intan. Rencananya kawasan ini akan dibuka menjelang ajang Asian Games pada bulan Agustus nanti.
Perjalanan kemudian berlanjut ke Jembatan Kota Intan. Kami sempat melintas di depan The Batavia Hotel (atau de Rivier Hotel) yang dulu dikenal dengan Hotel Omni Batavia. Hotel yang diresmikan pada 1995 ini bergaya arsitektur kolonial klasik dan tradisional. Kabarnya hotel sudah dibeli oleh Mercure group dan segera direnovasi. Dibalik bangunan hotel berbintang empat ini ada beberapa cerita seram, salah satunya sosok hantu noni Belanda yang sering kali muncul di kamar hotel. Entah kenapa, banyak juga kejadian tidak mengenakan dengan hotel ini hingga akhirnya ditutup.
Lanjut menuju ke Jembatan Kota Intan. Jembatan ini merupakan jembatan tertua yang dibangun pada 1628 oleh VOC. Jembatan Kota Intan ini merupakan jembatan “jungkit.” Pada abad ke17 kapal-kapal masih dapat berlayar lebih jauh ke arah hulu Sungai Ciliwung dengan cara mengangkat tengah-tengah jembatan itu ke atas.
Awalnya jembatan ini diberi nama Engelse Burg atau Jembatan Inggris. Alasannya karena di sekitar jembatan ini terdapat benteng pertahanan Inggris. Kemudian jembatan ini sempat rusak karena karena penyerangan tentara Banten dan Mataram, lalu dibangun kembali oleh pemerintah Belanda dan diberi nama Hoenderpasarburg atau Jembatan Pasar Ayam karena di seberang jembatan tersebut terdapat pasar ayam. Namanya kemudian berganti-ganti, mulai dari Het Middelpunt Burg atau Jembatan Pusat, Jembatan Wilhelmina atau Wilhelmina Brug, hingga pada masa kejayaan Ratu Juliana, jembatan ini berganti nama menjadi Jembatan Ratu Juliana atau Ophaalsbrug Juliana dan akhirnya diberi nama Jembatan Kota Intan, karena lokasinya di Bastion Kastil Batavia yang bernama Bastion Diamond atau intan. Tak jauh dari jembatan ini ada jembatan yang menjadi pembatas antara daerah Jakarta Utara dan Jakarta Barat.
Dari jembatan ini ada kawasan PKL yang mirip dengan kawasan PKL di Monas. Namanya Taman Kota Intan di Jalan Cengkeh. Sayangnya tak banyak orang yang berjualan di kawasan ini. Sebenarnya kawasan ini dibangun untuk menampung pedagang yang memenuhi kawasan Taman Fatahillah yang sudah sangat membludak. Kami melanjutkan tur menuju ke kawasan Taman Fatahillah. Oya, di jalan yang kami lintasi, dulunya adalah jalur yang digunakan untuk trem. Jika beruntung dan teliti, kita bisa menemukan Monumen Jalur Trem di dekat Taman Fatahillah. Sisa jalur ini ditutupi dengan kaca fiber, ya sayangnya tidak terawat dengan baik. Jadinya hanya beberapa orang saja yang tahu. Dulu ada 4 rute jalur trem. Paling jauh hingga Jatinegara. Pada 1964, trem resmi dilarang di Jakarta. Beberapa jalur trem kini sudah berubah menjadi jalur busway, salah satunya yang ada di jalan Gajah Mada dari Harmoni sampai Kota.
Sampailah kami di Taman Fatahillah. Sore itu, taman sudah dipadati pengunjung yang ingin menghabiskan sore hari sambil menunggu waktunya berbuka puasa. Lapangan yang sangat luas ini dikelilingi dengan beberapa bangunan bersejarah, mulai dari bekas Balai Kota Jakarta atau Museum Sejarah Jakarta atau sering dikenal dengan Museum Fatahillah, Museum Wayang, Café Batavia, bekas gedung Pengadilan Tinggi Batavia yang sekarang menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik, hingga Kantor Pos Kota. Dulu taman ini disebut dengan Stadhuisplein.
Ada banyak atraksi yang bisa kita jumpai di sini. Mungkin tak akan cukup jika diceritakan satu persatu. Kelak saya akan kembali menceritakan apa saja yang ada di lapangan bersejarah ini. Namun, akan saya ceritakan sedikit oleh-oleh dari tur kemarin ini. Museum Fatahillah atau Stadhuis van Batavia merupakan Balai Kota Batavia yang dibangun mirip dengan Istana Dam di Amsterdam, Belanda. Candha sempat menunjukkan kemiripan bentuk arsitektur bangunannya dari ponsel miliknya. Di depan bangunan neoklasik ini ada Batu Istana Dam Amsterdam yang didatangkan langsung dari Amsterdam, Belanda. Kalau sempat, berdirilah di petak batu ini. Hitung-hitung pernah menginjakan kaki di kota Amsterdam.
Oya, tepat tak jauh dari lokasi sisa rel trem, kita bisa langsung melihat meriam yang cukup tersohor di lapangan ini. Ya, meriam Si Jagur namanya. Ukurannya tak seperti meriam kebanyakan. Panjangnya sendiri mencapai tiga meter. Besarnya tiga sampai empat kali lipat dari meriam biasa. Hiasan berbentuk jari pada meriam Si Jagur memang tak biasa. Hiasan tersebut memiliki bentuk jari jempol yang dilipat pada bagian jari terlunjuk dan jari tengah. Lambang jari dilipat tersebut disebut “fico” dalam bahasa Portugis yang berarti “good luck” atau “semoga beruntung”. Berdasarkan catatan sejarah, meriam Si Jagur merupakan meriam yang dimiliki Portugis untuk mempertahankan wilayahnya di Malaka. Namun pada 1641, meriam tersebut berhasil direbut oleh Belanda dan dibawa ke Batavia.
Waktu sudah menunjukkan jam setengah 6 sore. Kami kemudian bergegas kembali ke Gedung OLVEH. Kami menyempatkan diri untuk melihat beberapa gedung yang berada di sebelah museum. Tak jauh dari gedung Bar Historia kami melihat beberapa simbol yang menunjukkan kota-kota di Belanda dan Indonesia. Ada lima simbol yang dapat kita temukan, sebelah kanan menunjukkan kota Amsterdam, kemudian berturut-turut kota Surabaya, Kota Batavia, Kota Semarang, dan Kerajaan Belanda. Memang agak sulit menemukannya dan jarang sekali orang yang memerhatikan lambang ini.
Waktunya berbuka puasa pun tiba. Perjalanan kali ini ditutup dengan berbuka puasa bersama di Semasa Café. Saat pulang, kami mendapat beberapa buah tangan seperti peta wisata Kota Tua Jakarta dan juga teh seduh. Saya sempat ngobrol dengan pemandu kami, Candha. Katanya beberapa museum di kawasan Kota Tua Jakarta sudah direvitalisasi dan display-nya jadi semakin lebih baik. Mungkin karena menjadi salah satu destinasi wisata pada saat Asian Games nanti. Jadi penasaran untuk berkunjung ke museum-museum ini. Tapi saya malah tertarik untuk mengikuti tur Kota Tua lainnya. Salah satunya adalah tur malam hari, di mana kita bisa melihat tata cahaya masing-masing gedung yang semakin cantik jika malam tiba. Mungkin sudah waktunya saya membuat jadwal jalan-jalan lagi. Cukup yang dekat dulu, keliling Kota Tua Jakarta!
One thought