Minggu pagi, banyak orang mulai memadati Gaya Street. Rupanya ada Gaya Sunday Market, yang menjadi agenda rutin tiap minggunya. Dari ujung ke ujung, berdiri tenda-tenda semi permanen yang menjual aneka barang, mulai dari makanan, tanaman hias, pakaian, hingga aksesoris. Bisa dibilang, semua ada di pasar dadakan ini. Saya sendiri menyempatkan membeli susu jagung yang terbuat dari jus jagung manis, hiasan magnet, kalung manik-manik khas Suku Rungus, dan juga kaos untuk teman kerja saya. Pasar ini sudah buka sejak jam 6 pagi dan tutup hingga jam 1 siang. Semakin siang tentu akan semakin ramai dan terik.
Puas mengelilingi Gaya Sunday Market, saya kemudian menuju ke Kedai Kopi Yuit Cheong. Kedai ini terkenal dengan masakan Satay Jawi. Namun sayang, mereka baru membuka pesanan sate setelah jam 12 siang. Jadilah saya memesan roti panggang dengan selai kaya, teh tarik, dan beef noodle soup (yang lebih mirip dengan soto). Oya, kedai ini usianya sudah sangat tua sekali. Didirikan dari 1896 dan kini diteruskan oleh generasi ke lima. Jika kalian ke sini, akan ada banyak wisatawan Korea Selatan yang sekadar nongkrong dan juga menikmati kopi.
Hari Minggu ini saya berencana untuk berkeliling kota saja. Sebenarnya ingin menggunakan transportasi umum, namun saya melihat rutenya cukup ribet dan penomoran kendaraannya pun tak begitu jelas. Penyelamat saya adalah aplikasi Grab. Tapi di sini hanya ada GrabCar ya, jadi jangan berharap akan ada GrabBike. Saya memesan Grab untuk mengantarkan saya menuju ke salah satu tujuan wisata edukasi di Sabah, yaitu Muzium Sabah atau Sabah Museum. Lokasinya pun tak jauh dari pusat kota, namun tetap saja menuju ke museum ini cukup membutuhkan waktu. Harga tiket masuknya pun sangat murah (apalagi saya dianggap sebagai warga lokal, jadinya cukup membayar RM2 saja). Kalau dilihat, museum ini cenderung “lawas”, baik itu bangunannya maupun koleksinya. Museum ini merupakan museum negara bagian yang berisikan koleksi sejarah negeri Sabah, sejak masa purbakala, pendudukan sekutu (Inggris dan Australia), bersatunya dengan negara Malaysia, serta kekayaan flora dan fauna Sabah.
Kebetulan saat itu sedang ada pameran Tuan Yang Terutama dari negeri Sabah (atau bisa disebut dengan gubernur Sabah). Ada beberapa koleksi foto beliau selama menjabat sebagai Yang di-Pertua Negeri Sabah, serta di sisi lain terdapat pameran tentang perkembangan musik di Sabah. Jika dibandingkan dengan museum yang ada di negeri sendiri, memang tak jauh berbeda. Tapi memang menurut saya kurang perawatan, jadi kurang menarik untuk dinikmati. Saya tidak terlalu merekomendasikan museum ini. Namun jika kalian ingin mengetahui sejarah Sabah, tempat ini cukup memberikan informasi tentang hal itu. Selain museum utama, masih ada beberapa bangunan lainnya. Salah satunya Science & Technology Center yang berisikan koleksi kereta api yang menjadi jaringan kereta api North Borneo, sejarah penyiaran di Sabah, serta industri perminyakan di Sabah. Bagi saya, area yang cukup seru adalah area koleksi kereta api. Kita bisa menaiki kereta yang dulu pernah digunakan. Selain itu, tak jauh dari bangunan utama terdapat Heritage Village, di sini kita bisa mencoba melewati jembatan gantung.
Saya tidak melanjutkan ke area rumah-rumah adat dan memutuskan untuk menuju ke Sabah Art Gallery atau Balai Seni Lukis Sabah. Satu hal yang menarik dari gedung ini adalah bentuk bangunannya yang unik. Sabah Art Gallery menurut saya adalah versi kecil dari Galeri Nasional yang ada di Jakarta. Isi koleksinya hampir sebagian besar adalah lukisan, mulai dari lukisan yang sederhana dengan menggunakan pensil hingga lukisan dengan cat minyak. Jadi jika bukan penggemar seni lukis, kalian tak perlu mengunjunginya.
Perjalanan saya lanjutkan menuju ke Masjid Negeri Sabah atau Sabah State Mosque di daerah Sembulan. Masjid ini diresmikan pada 1977 dengan dominasi warna abu-abu. Salah satu menaranya mencapai 66 meter dan kubah utama yang berwarna emas dikelilingi 16 kubah kecil. Masjid ini bisa menampung hingga 5,000 jemaah. Keunikan masjid ini adalah kawanan burung dara di halaman masjid yang berkeliaran dengan bebas. Kalian bisa memberikan makanan kepada burung-burung ini. Tak jauh dari masjid ini terdapat Sikh Temple Guruduwara, atau kuil tempat umat agama Sikh melakukan ibadahnya. Kuil ini dibangun pada 1924 dan merupakan salah satu bangunan peninggalan dari komunitas Sikh pada perang dunia kedua. Bangunannya sekarang pun masih menggunakan struktur yang asli dan hanya mengalami beberapa kali renovasi .
Waktu saya masih cukup banyak untuk berkeliling. Saya putuskan untuk menuju ke Masjid Bandaraya Kota Kinabalu, masjid yang paling ikonik di KK dan terbesar di Sabah. Masjid ini terinspirasi dari desain Masjid Nabawi di Medinah. Dibangun pada 1997 dan mampu menampung hingga 12.000 jemaah. Lokasinya di daerah Teluk Likas. Untuk masuk ke dalam masjid, kita diminta untuk membayar tiket. Bahkan disediakan pula baju gamis dan kerudung, bagi wisatawan yang ingin masuk ke dalam masjid. Itu pula yang menjawab rasa penasaran saya ketika ada banyak wisatawan Korea Selatan yang menggunakan kerudung dan baju gamis. Ternyata mereka menyewa baju-baju ini. Nah, jika tidak masuk ke dalam masjid, kita diperbolehkan mengambil foto masjid dari luar halaman masjid. Bahkan kita tidak diperbolehkan sama sekali mengambil foto di area dalam. Saya tak berlama-lama karena memang sangat terik sekali. Saya kemudian menyeberang ke menuju ke area Teluk Likas. Di sini terdapat jogging track yang mengelilingi pinggir teluk. Di kejauhan tampak gedung berbentuk silinder, namanya Tun Mustapha Tower atau dulunya dikenal dengan Sabah Foundation Building. Gedung ini merupakan salah satu bangunan yang menggunakan teknologi “bangunan tergantung”. Bahkan di sini terdapat restoran yang dapat berputar dan satu-satunya di pulau Borneo.
Saya kemudian memesan GrabCar untuk mengantarkan saya ke Pu Tuo Si Temple di daerah Tuaran. Kuil yang juga sering disebut dengan Puh Toh Tze Temple ini dibangun pada 1980 dan menjadi kuil utama bagi masyarakat China beragama Budha di KK. Satu hal yang menjadi ciri khas kuil ini adalah Patung Guanyin (atau sering disebut juga Guan Yin) yang berada di area pintu masuk. Mungkin sebagian dari kita akan langsung dapat menerka dewi ini, ya nama lainnya adalah Kwan Im atau Dewi Welas Asih. Untuk masuk ke dalam, kita tidak perlu membayar biaya masuk. Namun, alangkah baiknya untuk tetap menjaga kekhusukan para biksu dan umat yang sedang bersembahyang di kuil ini. Saat saya datang, tampaknya sedang ada ibadah di bangunan utama. Saya kemudian berjalan menuju ke area belakang yang terdapat taman dan patung Dewi Kwam Im, patung Sleeping Budha, serta The Wishing Tree yang dihiasi dengan lampion warna merah terang. Sayangnya tidak ada yang berjaga di sekitar pohon ini, padahal saya ingin menuliskan harapan saya di pohon ini. Di area samping kuil ini terdapat kolumbarium atau rumah abu (tempat untuk menyimpan abu jenazah).
Setelah puas berkeliling, saya memutuskan untuk kembali ke hostel dengan menggunakan GrabCar. Serunya, saya mendapatkan kendaraan double cabin atau pickup truck. Kalau teman saya yang pernah tinggal di Sabah, kendaraan jenis ini banyak ditemukan di kawasan Sabah. Sebab lebih cocok untuk medan yang berbukit-bukit dan ternyata memang benar, saya banyak menemuinya di kawasan luar KK dan banyak dipergunakan untuk mengangkut hasil pertanian.
Sesampainya di hostel, saya tidak langsung masuk. Justru berjalan menuju ke Gaya Street untuk mengejar salah satu makanan yang sejak kemarin ingin saya cicipi, yaitu Bak Kut Teh. Beruntung kios yang ingin saya tuju, yaitu Yu Kee Bak Kut Teh sudah buka dan masih sepi. Saya langsung disambut oleh seorang pelayannya. Namun sepertinya si cici ini tampak bingung ingin menawarkan menu. Mungkin karena saya berperawakan Melayu dan memakai baju kerah koko. Saya pun menjelaskan jika saya berasal dari Indonesia dan saya “can eat pork“. Haha. Menu di Yu Kee Bak Kut Teh ini memang hampir semuanya berbahasa Mandarin. Beruntung sang cici dengan sabar menjelaskan menu-menunya ke pada saya. Pilihan pun jatuh pada set menu yang terdiri dari semangkok Bak Kut Teh, nasi putih, sup, sepoci Chinese tea (yang katanya bisa melarutkan lemak), dan potongan tahu, plus saya menambahkan sayur sawi hijau dengan siraman saus tiram. Untuk tambahannya ada potongan cabai merah, bawang putih cincang, dan saus kecap asin. Uniknya, setiap mangkuk, sendok, sumpit dan cangkir disiapkan dengan cara dipanaskan di semangkok air panas (mungkin biar steril). Oya, kalau kalian hendak mencicipi makanan ini di kala sore hari dan malam hari, bersiaplah untuk mengantri.
Berhubung belum terlalu sore, saya memutuskan untuk menuju ke Pantai Tanjung Aru, yang katanya terkenal dengan panorama matahari terbenamnya. Saya langsung memesan GrabCar dan sekali lagi saya mendapatkan kendaraan double cabin. Lokasi pantainya sendiri tak jauh dari bandara dan berjarak sekitar 10 menit dari pusat kota. Saat sampai di sana, suasana pantai sudah sangat ramai dengan wisatawan. Kawasan pantai ini sangat luas dan cocok bagi kalian yang ingin jogging di bibir pantai. Nama pantai ini diambil dari nama pohon aru atau casuarinas yang tumbuh di sekeliling pasir pantai. Sebenarnya jika tidak sedang mendung, saya bisa melihat secara jelas matahari yang sedang terbenam di Laut China Selatan. Bahkan dari kejauhan kita bisa melihat beberapa pulau yang berada di kawasan Tunku Abdul Rahman Marine Park. Saya masih beruntung melihat suasana senja di pantai ini, hingga kemudian rintik hujan pun turun dan semakin lama semakin deras. Saya segera memesan GrabCar untuk kembali ke hostel. Malam itu saya memutuskan untuk segera tidur, karena keesokan harinya harus menyetir sendiri ke Kundasang.