Hari ini adalah hari yang saya tunggu-tunggu. Untuk pertama kalinya saya akan menyetir (secara harfiah) dan langsung di negara tetangga. Sebenarnya saya agak ragu untuk menyewa mobil, apalagi saya minim pengalaman mengendarari mobil. Saya semacam “bonek” sekali, bahkan ada teman saya yang terkejut saat saya memutuskan untuk menyetir mobil karena saya tidak pernah melakukannya di Jakarta. Tapi mungkin ini adalah salah satu cara untuk mendorong saya agar semakin berani menyetir. Selain itu jika dihitung-hitung, menyewa mobil lebih murah ketimbang menggunakan supir. Untuk menyewa 12 jam, saya cukup membayar RM100.00 dan ditambah dengan uang bensin sebanyak RM50.00 (ini di luar uang deposit). Sedangkan jika menggunakan supir, jatuhnya bisa sekitar RM400.00 untuk 12 jam. Tapi itu semua ada plus dan minusnya. Kalau beramai-ramai memang akan lebih baik menyewa mobil.
Namun ketika saya kembali ke hostel, teman sekamar saya ternyata ada yang ke Kundasang pada hari itu juga dan dia ikut dengan tur atau open trip yang biayanya sekitar RM40.00. Namun dia hanya bisa mengunjungi dua lokasi saja, yaitu Kinabalu National Park dan Desa Dairy Farm.
Mobil yang saya sewa ini mobil matic dengan kapasitas sekitar 4-5 orang. Cukup kecil untuk ukuran saya. Jenis mobilnya Perodua Axia Auto, salah satu jenis mobil keluaran Malaysia. Beruntung matic, jadi cukup injak pedal gas dan rem. Selain itu saya tidak perlu menggunakan SIM internasional, cukup menggunakan SIM A keluaran Indonesia (yang ternyata bisa digunakan di kawasan ASEAN). Setelah mobil di antar ke lokasi dekat hostel saya, mulailah petualangan nekat saya.

Awalnya sih memang mudah mengendarai mobil ini. Selain itu situasi jalanan memang tidak terlalu ramai. Namun ada yang perlu diingat, pengendara mobil di KK cukup teratur dan tidak “sekacau” di Jakarta. Semisal ketika sedang melewati bundaran, mereka akan memberikan kesempatan mobil yang sudah berjalan dulu dari sisi lain. Untuk hal ini sedikit kaget karena sempat “ngasal” maju dan kena klakson dari pengendara lain. Sejak itu saya menyetir dengan lebih santai, toh saya tidak buru-buru. Selain itu, mereka juga mengutamakan kendaraan yang sudah melaju duluan dan bahkan sedikit sekali terdengar suara klakson. Jika Jakarta setertib ini, mungkin saya berani menyetir di Jakarta.
Bicara tentang suasana jalanan di luar KK, suasananya lumayan sepi. Bahkan mungkin lebih mirip ketika dulu saya ke Batam dan Samarinda. Semakin ke arah Kundasang, jalanan semakin menanjak mirip jalan yang menuju ke kawasan Puncak. Banyak juga tanjakan dan tikungan yang cukup tajam. Walau sedikit lengang, alangkah baiknya jika tidak buru-buru. Nikmati saja pemandangan yang ada di kanan-kiri jalan. Bahkan saya sempat melihat puncak Gunung Kinabalu yang tersohor itu. Ada beberapa view point di pinggir jalan, namun saya memutuskan untuk tetap melajukan kendaraan saya, sambil berpikir nanti saja ketika pulang.
Tujuan pertama saya adalah ke Desa Cattle Dairy Farm. Lokasinya berada di balik Gunung Kinabalu, jadi kita akan melewati Kinabalu National Park terlebih dulu. Jarak menuju ke Desa Cattle Dairy Farm ini sekitar 2 jam dari KK. Medan untuk menuju ke sini cukup menanjak, bahkan saya hampir tidak yakin jika mobil saya bisa melaluinya. Tapi syukurlah, mobil kecil ini bisa dengan sekuat tenaga mengantarkan saya hingga ke lokasi. Nah, lalu muncullah permasalahan. Bagaimana saya akanĀ parkir? Karena saya justru belum bisa parkir dengan benar. Saya pun memutar otak mencari lokasi parkir yang agak jauh dari parkiran utama. Akhirnya saya parkir di dekat padang rumput. Di situ bahkan ada pasangan yang sedang melakukan sesi foto pre-wedding.
Desa Cattle Dairy Farm ini dikenal sebagai New Zealand-nya Sabah. Lokasinya yang berada di balik Gunung Kinabalu membuat peternakan ini memiliki pemandangan yang sangat indah dan berhawa sejuk. Padang rumput dengan perbukitan yang menjadi latar belakangnya. Tak ketinggalan gerombolanĀ sapi perah yang sedang merumput. Bahkan jika cuaca cerah, kita tidak seperti sedang di Sabah. Meski namanya Desa Cattle Dairy Farm, ini bukan nama kampung ya. Di sini kita melihat langsung peternakan sapi perah yang mampu menghasilkan susu hingga 900.000 liter per tahun. Peternakan seluas 199 hektar ini menawarkan atraksi memberi makan sapi, memberi minum susu ke anak sapi, atau melihat langsung proses pemerahan susu. Nah selain itu, di sini kita juga bisa membeli aneka produk hasil olahan susu. Mulai dari susu segar, yogurt, es krim, hingga aneka sosis dan pizza.
Berhubung ketika sampai ke sini cuacanya tidak terlalu cerah, perbukitan di belakang peternakan ini tak tampak jelas karena tertutup kabut. Akhirnya setelah mengisi perut, saya langsung tancap gas menuju ke Poring Hot Springs, yang juga masuk ke dalamĀ kawasan Kinabalu National Park. Jaraknya sekitar 1,5 jam dari Desa Cattle Dairy Farm. Saat menuju ke sana, saya sempat tersesat karena Google Maps saya memberikan petunjuk yang salah. Ternyata jaringan internet ponsel saya bermasalah. Akhirnya saya kembali ke jalan utama dan Google Maps saya kembali bekerja dengan normal.
Lokasinya terbilang cukup jauh dan rasa-rasanya sudah paling ujung sekali. Udara memang sudah tak sedingin di kawasan Desa Cattle Dairy Farm. Tak lama jalan mulai menanjak dan kemudian tak jauh dari turunan, saya menemukan lokasi Poring Hot Spring. Tempat ini dikenal dengan sumber air panasnya yang mengandung belerang. Ada banyak kolam-kolam kecil di sini. Jika tertarik, bisa mencoba berendam. Konon air yang mengandung belerang ini bisa menyembuhkan penyakit kulit. Selain kolam-kolam air panas, di sini juga terdapat Butterfly Farm dan juga Canopy Walk. Jika masih ada tenaga, kita bisa berjalan kaki menuju air terjun Kipungit dan air terjun Langganan. Untuk menuju ke dua air terjun dibutuhkan waktu sekitar 1 jam perjalanan. Saya lebih memilih untuk mencoba jembatan kanopi, yang tingginya antara 30-40 meter. Untuk menaikinya, kita diminta untuk membayar tiket masuk sebesar RM5.00 per orang (ini untuk orang asing ya, tapi kemarin saya dihitung sebagai orang lokal).
Kita masih harus berjalan menanjak. Sesampai di gerbang jembatan, kita diminta untuk mengantri. Sebab ada batas jumlah orang yang boleh melintas di jembatan kanopi. Saat itu sempat terhalang rombongan turis Jepang, beruntung pemandunya mempersilahkan saya untuk masuk terlebih dulu. Tapi ya siap-siap aja menunggu antrian depan yang sesekali berswafoto. Rasanya sangat seru, apalagi saya memang sedikit takut ketinggian. Jangan membayangkan jembatannya luas, malah sangat sempit dan gampang bergoyang. Tadinya saya pikir jaraknya jauh, ternyata dalam waktu kurang dari 30 menit sudah sampai ke gerbang keluar. Walau begitu tetap menjadi pengalaman yang menarik. Siapa tahu, saya bisa mencoba jembatan sejenis di tempat yang lain.
Saya tak berlama-lama di sini, bahkan tidak menyempatkan masuk ke Butterfly Farm. Udara sudah terasa panas. Keinginan saya untuk ke Sabah Tea pun saya urungkan (terlebih jaraknya lebih jauh daripada ke Poring). Akhirnya saya memutuskan untuk menuju ke Kinabalu National Park. Oya, saya jadi teringat jika di Poring kita bisa melihat bunga Rafflesia. Tapi sepertinya harus masuk ke dalam kawasan hutannya.
Udara kembali sejuk ketika saya sampai di area parkir Kinabalu National Park. Ada kejadian lucu ketika saya memasuki taman nasional ini. Mobil saya parkir di bawah dan saat membeli tiket, ternyata saya bisa mengendarai mobil hingga ke atas. Jadilah saya turun dan masuk kembali dengan mobil. Lucunya, saya mencoba membeli tiket dengan logat Melayu dan tiba-tiba sang penjaga menanyakan asal saya. Akhirnya saya mengaku jika berasal dari Indonesia. Jadilah saya membayar tiket untuk turis mancanegara. Haha.
Jalanan menuju ke “atas” memang seperti tanpa ujung. Karena tidak ada satupun papan penunjuk. Sebenarnya di atas itu ada apa? Saya bahkan memutar balik dua kali dan ketika melihat ada kendaraan turun, saya jadi makin penasaran. Di atas itu ada apa ya? Meski sempat grogi karena jalurnya sempit dan pastinya kanan-kiri adalah jurang, saya pun berhasil mencapai lokasi parkiran atas. Seremnya, saya sempat salah injak pedal gas, tapi saya beruntung karena bisa langsung menginjak pedal rem. Padahal di depannya itu jurang. Jadi, ada apa sih di ujung jalan ini? Di sini adalah gerbang utama bagi pengunjung yang hendak mendaki Gunung Kinabalu, gunung tertinggi di Asia Tenggara. Nama gerbangnya adalah Pondok Timpohon dan untuk mendaki, kita diharuskan mendaftarkan diri jauh-jauh hari dan kalian bisa mendapatkan nomor pendakian dan juga lanyard yang hanya diberikan untuk pendaki saja. Kalau tidak salah, untuk mendaki kita akan dikenakan biaya hingga RM300.00 (sudah termasuk biaya perizinan, pemandu, asuransi, dan akomodasi, dan biaya ini biasanya akan menyesuaikan dengan jumlah pendakinya). Di dekat pintu masuk, terdapat papan yang menunjukkan rekor waktu Mount Kinabalu International Climbathon menuju keĀ puncak Range Crocker Borneo (dengan ketinggian 4.095 mdpl). Pada tahun 2016, rekor tercepat dipegang oleh Safrey Sumping dari Malaysia dengan waktu 2 jam 21 menit 33 detik untuk kategori pria, dan Sandi Mechi dari Filipina dengan waktu 2 jam 56 menit 48 detik untuk kategori wanita.
Berhubung saya tidak ada niatan untuk mendaki (apalagi cuacanya mendung), saya sempatkan untuk naik ke gardu pandang yang berada di atas Pondok Timpohon. Sedihnya, keunikan puncak Gunung Kinabalu tidak bisa saya lihat karena tertutup kabut. Mungkin pertanda jika suatu saat, saya harus kembali lagi.Ā Meski begitu, saya sempat melihat beberapa tupai yang dengan santainya berlarian di area gardu pandang. Bicara tentang puncak Gunung Kinabalu, pagi saat berada di perjalanan, saya masih berkesempatan melihat puncak Range Crocker Borneo yang ikonik itu. Oya, saking uniknya puncak gunung ini juga menjadi lambang dari negara bagian Sabah. Setelah puas melihat pemandangan dan juga menikmati udara yang sejuk, saya melanjutkan untuk kembali ke Kota Kinabalu.

Perjalanan kembali ke Kota Kinabalu cukup lancar. Tapi ketika mulai memasuki wilayah kota, jalanan mulai macet. Walau begitu, para pengendara mobil di kota ini sangat tertib. Setelah sukses memarkirkan mobil di dekat hostel, saya kemudian berjalan kaki menuju ke Todak Waterfront untuk menikmati sunset terakhir sebelum esok kembali ke Jakarta. Langit pun mulai gelap, perut pun mulai keroncongan. Malam itu saya ingin mencicipi McD yang ada di Suria Mall Sabah, sekalian ingin tahu bedanya dengan menu yang ada di Indonesia. Beruntung saat itu sedang ada menu khusus D24 (atau lebih mudahnya menu durian). Saya langsung memesan D24 Durian McFlurry, Banana Pie (ini belum ada di Indonesia), dan Nasi McD with Curry Sauce, serta Teh Ais Lemon. Kalau McFlurry Duriannya sangat terasa sekali, seandainya menu ini dibuat di Indonesia, pasti akan sangat banyak penggemarnya. Kalau Nasi Mcd, lebih mirip nasi berbumbu dan diberi saus kari serta salad sayur. Secara keseluruhan masih bisa diterima lidah saya.
Keesokan harinya setelah saya merapikan barang, saya menyempatkan untuk sarapan pagi di Kedai Kopi Kim Hing Lee di daerah Sinsuran Market. Kedai ini terkenal dengan bakmi babinya atau Sang Nyuk Mian/Sheng Rou Mian. Mereka sudah menjualnya lebih dari 30 tahun dan merupakan penjual pertama di kota ini. Untuk memesannya memang agak susah, karena menunya dalam bahasa Mandarin. Cukup tunjuk saja yang ingin dipesan (pakai bahasa Inggris juga tidak masalah). Saya pesan bakmi dengan saus kecap dan juga sup yang berisi irisan daging, darah, dan semacam jerohan babi. Oya, di dalam kedai tertulis jika mereka menyajikannya dengan “Diamond Water“, hmm, mungkin semacam air khusus ya. Sayangnya, saya tidak sempat menanyakannya karena terlanjur heboh dengan porsinya yang cukup banyak.
Perut kenyang, saatnya berkeliling kota sebelum menuju ke bandara. Tujuan pertama adalah menuju ke kantor pos. Mungkin tak banyak lagi yang mengirimkan kartu pos ke teman atau orang lain, tapi buat saya ini hal yang wajib dilakukan jika mengunjungi suatu negara (lalu saya teringat dengan koleksi kartu pos saya yang hilang entah ke mana). Saya kemudian mengambil antrian untuk membeli prangko. Untuk satu kartu pos saya cukup membeli prangko seharga RM1.20. Saya mengirimkannya untuk keponakan saya dan untuk diri saya sendiri (maaf, sedikit narsis).
Oya, saya mau sedikit bercerita tentang hostel tempat saya menginap, Borneo Backpackers. Hostel ini berada tepat di pusat kota dan jaraknya pun dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Gedungnya merupakan bangunan bersejarah dari Perang Dunia 2 dan berada di kawasan Australia Place. Kenapa dinamakan demikian, karena dulu lokasi ini adalah kawasan berkemah tentara Australia saat mereka datang pertama kalinya pada akhir Perang Dunia 2. Bangunan ini dulu juga menjadi kantor percetakan Chung Nam Printing hingga akhir 1980an dan kemudian berubah fungsi menjadi hostel. Di bawah hostel ini terdapat Sharikat Biru Biru Cafe, yang dulunya merupakan bekas Borneo 1945 Museum Cafe. Penamaan kafe ini justru diambil dari warna bangunannya yang berwarna biru (saking bingungnya mau dinamakan apa kali ya). Kafe ini menurut saya sangat instagramable sekali. Tapi entah kenapa, saya malah tidak sekalipun menjejakkan kaki ke dalam. Padahal tepat berada di bawah hostel. Mungkin karena sudah bosan melalui kafe ini setiap hari, dan malah ketika saya melintas antara belum buka atau malah sedang tutup.
Di dekat Austalia Place, terdapat Signal Hill Observatory Platform. Beberapa hari sebelumnya, saya sempat mengunjungi tempat ini tapi sayangnya belum buka (atau sayanya yang terlalu kepagian). Saya kembali mencoba untuk ke sini lagi melalui jalur yang berbeda (tak jauh dari hostel). Untuk masuk ke dalam, kita tidak akan dikenakan biaya. Tapi kalian tidak boleh membawa makanan dan minuman dari luar, karena di sini terdapat sebuah resto. Di menara observasi ini, kita bisa melihat secara jelas Kota Kinabalu dari dua dek observasi. Bahkan jika cuaca sedang cerah, kita bisa melihat secara jelas pulau-pulau yang berada di Taman Nasional Tunku Abdul Rahman dan Laut China Selatan.
Sebelum akhirnya meninggalkan Kota Kinabalu, saya menyempatkan untuk mengunjungi gedung Sabah Tourism Board. Gedung ini merupakan satu dari tiga gedung tertua di Kota Kinabalu (salah satunya adalah Atkinson Clock Tower). Dibangun pada 1918, dulu merupakan bekas Jesselton Post Office. Pada Perang Dunia 2 bangunan ini rusak terkena bom dan kemudian direstorasi pada 1987. Setelah fungsinya berubah menjadi kantor Dewan Pariwisata Sabah. Di sini juga terdapat prasasti “0 Kilometre” Sabah yang dibangun pada 16 Maret 2011. Prasasti ini diletakkan di halaman depan gedung sebagai penanda titik awal yang menghubungkan semua lokasi di Sabah, di mana dulu gedung ini menjadi kantor pos yang mengirimkan surat ke seluruh wilayah di Sabah.
Berhubung masih ada waktu, saya mampir sebentar ke Kedai Kopi Fook Yuen untuk menikmati Kaya Toast (sebenarnya memesan dua, satu yang dipanggang dan satunya tidak dipanggang), serta Teh Tarik. Kedai ini cukup ramai, karena konsepnya mirip dengan pujasera. Jadi kalian bisa memesan aneka makanan dan minuman di sini. Lokasinya masih di Gaya Street dan tak jauh dari gedung Sabah Tourism Board.
Perut sudah terisi, saatnya pulang ke hostel untuk mengambil tas dan menuju ke Padang Merdeka untuk naik bus bandara. Sesampai di bandara, saya ingin membeli oleh-oleh untuk diri saya. Setelah berkeliling, akhirnya membeli tumbler edisi khusus Sabah di Starbucks. Ya, paling tidak ada kenang-kenangan jika saya pernah ke Sabah. Saat memasuki pesawat, perjalanan saya ke Kota Kinabalu, Sabah pun usai. Perjalanan kali ini memang sangat menarik. Mungkin kelak, saya bisa berkesempatan untuk kembali ke sini. Sampai jumpa Kota Kinabalu!