SINGAPURA: Surga Hijau di Tengah Kota

Hari terakhir di Singapura. Saya masih punya waktu hingga jam 11 siang untuk check-out dari hotel. Tujuan pertama adalah Fort Canning Hill yang berada tepat di seberang hotel. Cukup menyeberang, saya sudah sampai di tangga menuju ke atas bukit. Oya, saya naik dari Hill Street. Posisinya sebelah gedung MICA. Bukit ini memiliki ketinggian 48 meter dan luasnya 18 hektar. Fort Canning Hill termasuk saksi bisu sejarah negara Singapura. Dulu bukit ini dikenal angker karena dianggap sebagai istana leluhur dan tempat di mana raja-raja Singapura kuno dibaringkan untuk beristirahat. Bukit ini dulu dikenal sebagai Bukit Larangan (Forbidden Hill) dalam bahasa Melayu dan menjadi tempat kerajaan Melayu pernah memerintah di abad pertengahan. Bahkan ada beberapa artefak yang ditemukan di bukit ini pada saat penggalian arkeologis. Pada abad ke-14 didirikan sebuah pemukiman di atas bukit dengan nama Ban Zu yang diambil dari bahasa Melayu “pancur”. Nama ini diberikan oleh pelancong dari dinasti Yuan yang bernama Wang Dayuan.

Kembali ke perjalanan saya mendaki bukit. Ternyata terasa agak ngos-ngosan untuk menaiki tangga ke atas bukit. Sesampainya di atas, saya langsung menemukan Raffles Garden yang berisi Raffles House, dan Maritime Corner. Dulu Sir Stamford Raffles membangun tempat tinggalnya di sini dan kemudian digunakan oleh warga pendatang dan gubernur lainnya. Itu pula yang menjadikan bukit ini berubah nama menjadi Government Hill dan kemudian berubah menjadi Fort Canning pada 1861 ketika ketika sebuah benteng dibangun di lokasi tersebut pada zaman Perang Dunia II. Di Raffles Terrace kita bisa melihat berbagai tanaman khas Singapura dan tak jauh di situ ada Maritime Corner yang menceritakan evolusi Singapura dari pos penyimpanan barang perdagangan sampai pusat maritim internasional. Di sini terdapat mercusuar dan sejarah mercusuar yang ada di Singapura. Selain itu juga terdapat fasilitas komunikasi, dan alat yang pertama adalah flagstaff yang berfungsi sebagai informasi kedatangan, identitas, lokasi dan status kapal-kapal yang masuk di pelabuhan Singapura sejak 1819.

Saya kemudian melanjutkan perjalanan untuk berkeliling Fort Canning Hill. Di sini kita bisa sambil jogging atau sekadar jalan-jalan mencari udara segar. Kebanyakan saya berpapasan dengan warga Singapura yang sedang berolahraga di sini. Saya kemudian melewati Jubilee Park, sebuah taman bermain outdoor dan Pancur Larangan, sebuah replika permandian putri-putri dari kerajaan kuno Singapura dari abad ke-14 dengan gaya Jawa. Nama ini diambil dari mata air terlarang, yang diadaptasi dari bahasa Melayu, khususnya dari Sumatra. Oya, kalau kalian terlalu capek mendaki tidak usah khawatir. Sebab ada banyak eskalator yang membantu kalian naik ke atas bukit. Oya, Pemerintah Singapura juga memberikan beberapa trek berjalan kaki sebagai pilihan untuk para wisatawan yang mengunjungi Fort Canning Park, seperti Fort Trail, Spice Garden Trail, Colonial Trail, dan Ancient History Trail. Jadi kalian bisa mendapatkan banyak informasi seputar sejarah Singapura melalui trek-trek ini. Info selengkapnya bisa mengunjungi ke website resminya di www.nparks.gov.sg ya.

Nah tak jauh dari lokasi Pancur Larangan ada Hotel Fort Canning, sebuah hotel yang dibuka pada 2010 dan merupakan bekas bangunan British Far East Command Headquarters yang dibangun pada 1926 di era Perang Dunia II. Di belakang hotel terdapat The Battle Box atau Underground Far East Command Centre, sebuah bunker yang digunakan pada saat Perang Dunia II dan merupakan bunker bawah tanah terbesar di Singapura yang dibangun sekitar 1930. Tempat ini digunakan oleh Lieutenant General Arthur Ernest Percival (Commander of British Forces) untuk membuat strategi perang. Di sini kita bisa mengikuti tur Battlebox. Sayangnya waktu saya tidak cukup, jadi pastikan kalian punya banyak waktu jika ingin ikut tur ini. Untuk mengikuti tur ini kalian bisa membeli tiket langsung dengan harga SGD20 (dewasa) dan SGD10 (anak-anak) di Battlebox Visitor Centre yang berada di belakang Hotel Fort Canning. Tur ini diberi judul “A Story of Strategy & Surrender” dan berlangsung selama 1 jam 15 menit. Kalian bisa lihat jadwal tur di website resminya di www.battlebox.com.sg.

Menuju ke arah dalam, kita bisa menemukan Sally Port, sebuah pintu kecil yang mengarah keluar dari bunker. Pintu ini yang memungkinkan siapa saja di dalamnya untuk melarikan diri dari serangan musuh yang tanpa terlihat. Setidaknya ada tiga pintu seperti ini, namun saat ini hanya tersisa satu pintu saja. Di atasnya terdapat sisa bangunan Fort Wall dan Fort Gate yang dibangun pada 1859. Dulu dibangun untuk melindungi Singapura dari serangan musuh dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari kerusuhan lokal bagi para penduduk Eropa yang tinggal di Singapura. Saat ini hanya tersisa pintu gerbang yang didesain oleh G. C. Collyer dan dua buah meriam. Nah di atas bukit, terdapat Fort Canning Service Reservoir, penampungan air yang dibangun pada 1927 untuk mengairi pemukiman di bawahnya.

Saya kemudian kembali turun ke bawah dan menemukan bangunan besar mirip istana presiden. Nama gedung ini Fort Canning Centre yang dibangun pada 1926 sebagai barak tentara Inggris. Di depan bangunan ini terdapat padang rumput luas dengan nama Fort Canning Green yang bisa digunakan untuk acara musik. Dulu tempat ini merupakan tempat pemakaman Kristen untuk sekitar 600 orang atau The Old Christian Cemetery. Sebenarnya tak jauh dari bangunan ini ada Gothic Gate, gerbang masuk ke area Fort Canning Green. Namun saya saking capeknya tidak memerhatikan gerbang ini, justru fokus ke nisan-nisan yang dipajang di pagar yang mengelilingi Fort Canning Green. Gerbang ini dibangun pada 1846 dan sejak saat itu menjadi landmark Fort Canning Hill.

Selain gerbang ini, ada satu lokasi yang paling diburu oleh pengunjung, yaitu Fort Canning Tree Tunnel. Lokasi ini hanyalah terowongan yang memudahkan pengunjung dari Penang Road untuk masuk ke taman. Namun karena bentuknya yang unik menjadikan tempat ini sebagai lokasi para pengejar konten media sosial untuk berfoto. Sebenarnya masih ada banyak lokasi yang bisa dikunjungi di Fort Canning Park, seperti Farquhar Garden (yang berisikan tanaman rempah-rempah yang dipigura), Keramat Iskandar Shah, Sang Nila Utama Garden, Artisan’s Garden, Spice Garden, dan Armenian Street Park (saya sempat melintasinya saat kembali ke hotel).  Namun karena terkejar oleh waktu, saya segera menuju ke National Museum of Singapore.

Rasanya tidak afdol kalau belum berkunjung ke museum yang dimiliki oleh sebuah kota, apalagi negara. Di hari terakhir ini saya memutuskan untuk mengeksplorasi National Museum of Singapore yang lokasinya tidak jauh dari Fort Canning Hill. National Museum of Singapore adalah museum tertua di negara ini, dan salah satu ikon arsitektur Singapura. Awalnya pada 1849 merupakan bagian dari Singapore Institution dan diberi nama Raffles Library and Museum. Pada 1887, museum ini pindah lokasinya yang sekarang. Namanya sempat diganti menjadi Singapore History Museum pada rentang tahun 1993 hingga 2006. Bangunan ini sendiri merupakan struktur yang menggabungkan unsur bangunan lama dan baru, dengan sentuhan neo-klasik.

Pameran tetapnya adalah Singapore History Gallery yang berisikan koleksi sejarah Singapura kuno, masa-masa kolonial, penjajahan Jepang, hingga pembangunan modern Singapura sekarang. Lokasinya ada di lantai 1. Sedangkan pameran tetap kedua adalah Life in Singapore: Gallery The Past 100 Years yang berada di lantai 2. Bisa dibilang sejarah Singapura mirip dengan sejarah negara Indonesia. Apalagi di zaman kerajaan-kerajaan. Koleksinya bisa dibilang sangat menarik, interaktif, dan pastinya lebih terawat. Kebetulan ada satu pameran yang cukup menarik di sini, yaitu An Old New World. Berisikan koleksi sejarah sejak masa East Indies hingga terbentuknya Singapura, sekitar tahun 1600an hingga 1819. Selain pameran ini, ada instalasi seni Story of the Forest by teamLab yang memungkinkan pengunjung untuk mendapatkan pengalaman melihat-lihat koleksi museum melalui presentasi digital. Kalau kalian museum junkie, National Museum of Singapore adalah pilihan yang sangat tepat. Rasanya ingin kembali ke sini lagi, karena masih belum puas menikmati koleksi-koleksinya.

Saya langsung buru-buru kembali ke hotel untuk check-out. Untungnya masih bisa tepat waktu. Saya kemudian menuju ke Marina Square melalui terowongan dari stasiun MRT City Hall. Tujuan saya adalah membeli R&B Tea. Saat saya datang tidak ada antrian, jadi saya bisa langsung memesan. Perut langsung lapar, saya pun membeli Wonton Mee. Penjualnya agak jutek, tapi sudahlah yang penting bisa segera makan. Setelah perut kenyang, saatnya menuju ke Changi. Tapi saya tidak lupa membeli tumbler Starbucks di salah satu gerai yang ada ada di dalam terowongan MRT. Nah ketika hendak masuk, saya tidak bisa tap menggunakan kartu Jenius saya. Sepertinya terblokir. Saya pun bertanya ke petugasnya, cara membeli tiket untuk menuju ke Changi. Setelah beres membeli tiket, saya masuk dan menunggu kereta menuju ke stasiun Tanah Merah. Hari ini adalah hari Minggu, saya banyak melihat beberapa tenaga kerja Indonesia yang sedang berjalan-jalan. Sesampainya di Tanah Merah, saya menunggu kereta menuju Changi.

Sesampainya di Changi, saya segera check-in di konter JetStar lalu menitipkan tas di Baggage Storage yang ada di lantai 1 Jewel Changi. Lokasinya tidak jauh dari lokasi early check-in. Meski malamnya saya akan mengambil tas saya, biayanya tetap dianggap satu hari. Sayangnya saya lupa bilang kalau saya memiliki tiket atraksi di Jewel Changi. Sebab bisa digunakan sebagai potongan harga. Beres menitipkan koper, saya langsung menuju ke lantai 5 tempat Canopy Park Attractions berada.

Jewel Changi Airport sebenarnya baru dibuka tahun kemarin. Didesain oleh arsitek kelas dunia, Moshe Safdie. Jewel memiliki lebih dari 280 toko dan restoran, serta memiliki air terjun indoor tertinggi di dunia bernama Rain Vortex dengan ketinggian air terjun 40 meter. Di sini juga terdapat lebih dari 2.000 pepohonan yang terdiri dari 120 spesies yang berasal dari berbagai negara seperti Australia, Cina, Malaysia, Spanyol, Thailand dan Amerika Serikat. Untuk menuju ke Jewel, cara termudahnya ya dari Terminal 1. Nanti tinggal masuk ke area Jewel dan ini gratis. Atraksi yang berbayar ada di lantai 5, yaitu Canopy Park Attractions. Ada apa saja atraksinya? Di sini 10 atraksi, 9 ada di lantai 5, sedangkan 1 ada di lantai 10. Pertama adalah Canopy Bridge, jembatan gantung ini setinggi 23 meter dan punya dasar yang tembus pandang. Buat yang takut ketinggian mungkin akan sedikit gemetaran, tapi dari sini kita bisa melihat Rain Vortex secara dekat. Buat yang sendirian kayak saya, tenang aja. Ada petugasnya yang dengan senang hari akan membantu memotret kita.

Lanjut menuju ke Manulife Sky Nets–Bouncing, di sini ada jam masuknya ya. Setiap sesi berjalan selama 1 jam. Sayangnya sewaktu saya sampai, waktunya tinggal 15 menit. Sebelum naik, kita harus menyimpan barang bawaan kita (kecuali ponsel) ke loker. Kalau kalian tidak membawa sepatu, kalian bisa meminjam sepatu di sini. Namanya juga bouncing, kalian bisa berjalan sambil melompat. Tapi pastikan barang bawaan kamu tidak terjatuh ya. Area atraksi ini sekitar 250 meter panjangnya. Kalian bisa naik dan turun dengan bebas selama masih dalam sesi kalian. Selain atraksi ini, ada Manulife Sky Nets–Walking. Bedanya di sini tidak bisa melompat-lompat dan talinya cenderung keras. Jadi berhati-hati jalannya. Hal yang membedakan adalah lokasinya tepat di atas lantai 5, jadi di bawahnya langsung lantai 1. Lagi-lagi, kalau takut ketinggian bisa agak deg-degan. Tapi tenang saja, aman kok. Petugasnya juga sangat ramah, malah langsung menawarkan untuk memotret saya di titik-titik yang pas untuk berfoto. Sebagai imbal baliknya saya diminta Nona Jessica Ranger (nama petugasnya) untuk mengisi formulir kepuasan pelanggan.

Kalau kalian haus, tenang saja. Ada tap water untuk minum atau tunggu saja robot Jewel Changi yang berkeliling sambil membagikan air minum dan permen secara gratis. Oke kita lanjut lagi ya, berikutnya saya menuju ke Topiary Walk. Kita bisa keluar masuk, asalnya kalian meminta cap saat di pintu keluar. Area ini semacam taman dengan berbagai tanaman dan bunga yang disusun menjadi aneka hewan. Kalian bisa berfoto dengan latar hewan-hewan ini. Bahkan ada Mandarin Duck yang hidup di dalam area ini. Nah kalau ingin melihat Rain Vortex lebih dekat dan lebih tinggi, kalian naik saja ke Discovery Slides. Awalnya saya pikir hanya untuk anak-anak saya, tapi ternyata orang dewasa boleh masuk dan juga mencoba aneka perosotan di sini. Kesempatan ini tentunya tidak saya lewatkan. Sesekali main perosotan di negara orang.

Kalau area selanjutnya, lebih banyak disukai anak-anak. Namanya Foggy Bowls, semacam padang rumput buatan dengan cekungan-cekungan. Pada waktu tertentu akan muncul kabut dari balik rumput buatan. Jadi seakan seperti bermain di antara awan. Ada juga Mirror Maze, semacam labirin cermin dengan aneka lampu. Sebelum masuk, kita akan diberikan semacam busa panjang yang bisa digunakan untuk memeriksa apakah cermin di depan ada atau tidak. Mungkin untuk menghindari orang yang cidera karena menabrak kaca.

Di seberangnya ada Hegde Maze, labirin yang diklaim sebagai labirin indoor terbesar. Saya pikir seperti labirin-labirin biasanya, tapi ternyata berbagai aktivitas di dalamnya dan kita bisa naik ke atas menara untuk melihat labirin dari atas. Di dekat pintu keluar terdapat Petal Garden, yang didominasi dengan aneka bunga.

Satu atraksi lainnya ada di lantai 4, yaitu Changi Experience Studio. Saat masuk, kita akan diberikan sebuah lembaran kertas tebal yang digunakan sebagai media interaktif. Pertama kita akan diminta menunjukkan lembaran ke sebuah cahaya dan kemudian muncul kupu-kupu dengan nama tertentu. Dia akan menjadi pemandu kita selama di dalam. Isi dari Changi Experience Studio lebih banyak didominasi dengan presentasi interaktif tentang sejarah Changi Airport. Kita juga bisa bermain balap pesawat atau permainan interaktif lainnya dengan lembaran kita tadi. Oya, setiap memasuki area atraksi kita akan diperiksa suhu badannya dan juga diminta untuk membersihkan tangan dengan hand sanitizer.

Puas bermain, kini saatnya mencari oleh-oleh. Saya langsung menuju ke lantai B2 yang merupakan lokasi restoran dan aneka toko makanan (termasuk lantai B1 juga ya). Oya, Rain Vortex ini juga mengalir sampai ke lantai B2. Kalian bisa berfoto dengan latar air yang mengalir dari balik kaca. Berhubung lapar, saya langsung menuju ke Song Fa Bakut The untuk makan malam. Kenapa ke sini lagi, karena saya merasa kurang enak badan setelah bermain di Changi Experience Studio jadi ingin makan yang hangat-hangat. Urusan perut beres, lanjut menuju ke IRVINS Salted Egg untuk membeli oleh-oleh. Berhubung sudah dekat waktunya untuk boarding, saya segera mengambil tas dan menuju ke Terminal 1. Namun sebelum itu, saya harus membereskan isi tas saya supaya bisa masuk ke dalam kabin. Terpaksa ada satu buku dari Red Dot Design Museum yang harus saya relakan. Sewaktu memasuki imigrasi, saya diarahkan untuk melewati Automated Immigration Gate. Ini layanan imigrasi yang memudahkan penumpang untuk masuk tanpa harus mengantri, tapi sayangnya kita tidak mendapatkan cap imigrasi di paspor kita. Akhirnya berakhir sudah perjalanan saya di Singapura selama 4 hari. Meski harus waspada karena pandemi COVID-19, tapi pengalaman selama di Singapura sangat menyenangkan. Saya ingin kembali lagi ke kota ini. Sampai jumpa lagi Singapura!

Catatan:

Sepulang dari Singapura, kita diwajibkan untuk mengisi Kartu Kewaspadaan Kesehatan dari Kementerian Kesehatan RI. Kalian juga akan diminta untuk memeriksa keadaan tubuh selama 14 hari ke depan. Jika mengalami gejala COVID-19, kita diwajibkan untuk segera memeriksa ke pusat layanan kesehatan terdekat dengan membawa kartu tersebut. Semoga pandemi ini segera berakhir dan kita kembali jalan-jalan lagi.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s