JAKARTA: Sepenggal Kisah Kwitang, Part 1

Setelah beberapa bulan “mengurung diri” dan membatasi bepergian ke luar rumah, akhirnya di akhir bulan Maret ini saya kembali menjelajah sudut-sudut Kota Jakarta bersama Jakarta Good Guide. Memang ada yang berbeda dengan walking tour kali ini, tentunya harus mengikuti protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus corona. Selain itu, jumlah pesertanya juga dibatasi. Bahkan saya sudah agak khawatir jika saya tidak mendapatkan slot untuk tur yang saya pilih, yaitu Rute Kwitang. Beruntungnya, dua hari sebelum acara tur saya mendapatkan surel balasan dari Jakarta Good Guide. Jadi saya tinggal datang ke titik lokasi berkumpul.

Hari Sabtu pagi, kami berkumpul di gerai makanan cepat saji yang berada tak jauh dari Tugu Tani. Pemandu tur di hari itu adalah Mas Indra. Sekitar jam 10 pagi, kami berkumpul dan saling mengenalkan diri kami masing-masing. Destinasi pertama yang kami tuju adalah Tugu Tani. Siapapun yang pernah melintas di daerah ini pasti familiar dengan patung sosok petani dan seorang perempuan. Tapi ternyata nama tugu ini bukan Tugu Tani, melainkan Patung Pahlawan. Jadi sosok petani pada patung ini merepresentasikan pemuda yang hendak pergi berperang dan patung perempuannya adalah sang ibu yang memberi bekal makanan. Nah, mungkin karena patung ini menggunakan caping menjadikan namanya lebih dikenal dengan Tugu Tani.

Menurut penjelasan Mas Indra, pembuatan patung ini berawal dari tahun 1959. Ketika itu Presiden Soekarno berkunjung ke Uni Soviet (sekarang Federasi Rusia) untuk bertemu dengan Perdana Menteri Nikita Kruschev. Saat berada di Uni Soviet, Presiden Soekarno tertarik dengan berbagai patung sosialis-realisme yang ada di beberapa sudut kota. Presiden Soekarno lalu dikenalkan dengan pematung kenamaan Uni Soviet bernama Matvey Genrikhovich Manizer. Beliau kemudian mengundang Matvey dan putranya, Ossip Manizer (ada juga yang menyebutnya Otto Manizer) ke Indonesia untuk membuat patung yang diinspirasikan dari kehidupan di Indonesia. Matvey dan putranya lalu berkeliling Indonesia untuk mencari ide dan akhirnya mendapatkan inspirasi dari kisah perjuangan seorang pemuda yang hendak maju perang dan sang ibu membekalinya dengan makanan.

Sekembalinya ke Uni Soviet, Matvey dibantu anaknya kemudian patung yang diinspirasi cerita tadi, yaitu menggambarkan pemuda bertelanjang dada dengan topi caping yang siap berperang dengan membawa senapan dan sang ibu yang memberinya bekal untuk berjuang. Patung perunggu ini kemudian selesai pada tahun 1963. Kemudian dikirimkan ke Indonesia dengan kapal laut, sebagai hadiah dari pemerintah Uni Soviet untuk pemerintah Republik Indonesia. Pada saat diresmikan, Presiden Soekarno menempelkan prasasti di bawah patung itu, yang berbunyi Hanya bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar”. Patung Pahlawan ini juga menyimbolkan semangat merebut Papua Barat dari Belanda. Oya, patung ini sempat menjadi kontroversi karena dianggap simbol komunis. Namun oleh pemerintah dibantah karena patung ini menyimbolkan sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Selanjutnya kami menyeberang jalan menuju satu bangunan gereja yang tertutup pagar tinggi. Di balik pagar tinggi ini terdapat Gereja Anglikan Jakarta atau yang disebut juga dengan Gereja Inggris All Saints. Sayangnya karena alasan keamaan selama pandemi, kita tidak bisa masuk ke dalam. Jadi cukup dari luar halaman gereja. Gereja ini dibangun sejak tahun 1829. Namun sejarah berdirinya gereja ini diawali dari tahun 1822, di mana dulu awalnya hanyalah kapel sederhana yang terbuat dari bambu dan merupakan gereja bagi komunitas Inggris yang ada di Batavia. Adanya bangunan gereja Anglikan ini bermula ketika misionaris Inggris bernama Walter Henry Medhurst yang dikirim oleh London Missionary Society ke Batavia. Pada masa Medhurst ini dibangunlah bangunan gereja dan rumah pendeta dari batu pada 1829. Salah satu yang unik dari gereja ini adalah beberapa nisan orang Inggris yang meninggal di Batavia ditempel di dinding-dinding sekitar gereja. Saat ini gereja Kristen Anglikan di Jakarta ada dua, yaitu yang berada di Jalan Arief Rahman Hakim, Menteng, dan di Pondok Indah. Kristen Anglikan di Indonesia sendiri sejak tahun 1910 masuk ke dalam otoritas Diosis Anglikan Singapura.

Kami lalu berjalan menuju ke arah jembatan Kali Ciliwung yang tak jauh dari Toko Gunung Agung. Di sini kami sempat berteduh di dekat jembatan. Sambil berteduh, Mas Indra kemudian bercerita tentang asal-usul nama daerah Kwitang. Ada dua versi yang menjelaskan tentang asal-usul nama Kwitang. Versi yang pertama, dulu ada tuan tanah bernama Kwik Tang Kiam yang menguasai hampir seluruh wilayah Kwitang. Hingga muncul nama Kampung si Kwik Tang, yang kemudian lama kelamaan menjadi Kampung Kwitang. Sepeninggal Kwik Tang, anaknya kemudian menjual tanah miliknya ke saudagar-saudagar Arab sehingga di Kwitang banyak terdapat komunitas keturunan Arab. Sedangkan versi kedua, dulu ada tabib yang juga pendekar beladiri kuntao bernama Kwe Tang Kiam. Dari situlah muncul nama Kampung Kwe Tang yang kemudian menjadi Kwitang. Bahkan sekarang masih ada perguruan silat Betawi yang berkembang di Kwitang, namanya Perguruan Silat Mustika Kwitang. Ilmu beladiri ini merupakan perpaduan antara pencak silat Betawi dengan kuntao. Namun dua cerita ini masih simpang siur, bahkan menjadi mitos. Lalu yang benar yang mana? Kalau kata Mas Indra, ada yang mengatakan jika nama Kwitang berasal dari komunitas Hokkian yang mayoritas mendiami wilayah itu. Mereka ini berasal dari wilayah Cina Selatan. Nama Kwitang justru berasal dari Gnuidang atau dibaca dengan Kwitang, sebuah nama provinsi di Guangdong. Oya selain itu Kwitang juga dikenal sebagai pemukiman etnis Tionghoa, Arab, dan Betawi.

Di lokasi yang sama juga pernah terjadi peristiwa yang cukup menggemparkan pada tahun 1813, yaitu Legenda Nyai Dasima. Dulu diceritakan ada seorang nyai bernama Dasima yang menjadi istri simpanan dari Edward William, seorang warga negara Inggris dan juga orang kepercayaan Letnan Gubernur Sir Thomas Raffles. Mereka dulu tinggal di sebuah rumah yang menghadap tanah lapang Gambir dan membelakangi Kali Pejambon. Kini bekas rumah Nyai Dasima menjadi Gedung Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan milik Kementerian Perhubungan RI. Nyai Dasima dan Tuan William juga memiliki anak perempuan bernama Nancy.

Suatu ketika, tukang delman langganan Dasima bernama Samiun jatuh cinta padanya. Padahal Samiun sudah memiliki istri bernama Hayati. Tapi akhirnya Dasima mau dijadikan istri muda Samiun setelah diguna-guna dan ditakut-nakuti bahwa Dasima telah melakukan dosa besar karena telah kawin tanpa nikah atau kumpul kebo. Usaha Samiun ini kemudian dibantu oleh seorang wanita tua bernama Mak Buyung. Namun tragisnya Dasima kemudian dibunuh oleh Bang Puase, jagoan dari Kampung Kwitang atas suruhan Hayati, istri pertama Samiun. Peristiwa pembunuhannya terjadi kira-kira di depan Markas Marinir di Kwitang, sebelah toko buku Gunung Agung. Usai dibunuh, jasad Dasima dihanyutkan ke sungai dan kemudian tersangkut tepat di belakang rumah Edward William.

Kembali ke masa sekarang. Tepat di seberang kami atau sebelah Markas Marinir dan Hotel Aryaduta ada sebuah gapura merah yang bertuliskan “selamat datang di kawasan pedagang kopi keliling”. Usut punya usut, di sini adalah Kampung Starling, yaitu pemukiman dari pedagang kopi keliling terbesar di Jakarta. Starling sendiri merupakan singkatan dari “starbucks” keliling. Ada ratusan pedagang kopi keliling yang bermukim di kawasan pedagang kopi keliling ini. Sayangnya kami tidak sempat mengunjunginya karena lokasinya yang berada di seberang. Semoga lain waktu bisa bertandang ke kampung ini. Mas Indra kemudian menceritakan tentang sejarah Marinir, yang markasnya tepat berada di sebelah kampung pedagang keliling.

Korps Marinir sendiri terbentuk pada 15 November 1945 di Pangkalan IV ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) yang berada di Tegal, Jawa Tengah. Marinir adalah pasukan pendarat atau pasukan yang menyerang dari laut ke darat. Pada 9 Oktober 1948, seluruh satuan kelautan dilebur menjadi Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL). Pada masa menjadi KKO-AL, ada banyak situasi yang terjadi di Indonesia, seperti Trikora, Dwikora dan G.30.S/PKI. Tahun 1975 nama KKO-AL (yang telah digunakan sejak tahun 1950) dikembalikan lagi menjadi Korps Marinir. Korps Marinir ini identik dengan baret ungu dan bisa dibilang sebagai korps militer yang memiliki citra yang positif di mata masyarakat, baik pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Jika TNI-AL memiliki semboyan “Jalesveva Jayamahe” atau di laut kita jaya, maka Korps Marinir memiliki semboyan “Jalesu Bhumyamca Jayamahe” atau di air dan darat kita jaya, sama seperti tugas utama mereka. Oya, ada yang unik di markas Korps Marinir. Di halaman rumput yang berada di bagian depan gedung markas, terdapat beberapa rusa dari Istana Bogor. Saking banyaknya rusa di Istana Bogor, membuat sebagian rusa yang didatangkan dari Nepal itu dihibahkan ke beberapa lokasi, seperti di Monumen Nasional dan termasuk di markas Korps Marinir ini. Uniknya, meski rusa-rusa ini dibiarkan hidup bebas di halaman depan, mereka tidak pernah keluar dari lapangan rumput.

Di depan markas Korps Marinir, ada nama jalan yang diberikan sebagai penghormatan bagi dua orang prajurit Korps Marinir. Kita mengenalnya sebagai Jalan Kramat Kwitang, namun ada satu bagian jalan yang diberi nama Jalan Prajurit KKO Usman Harun. Siapakah mereka? Mereka adalah dua dari tiga orang yang ditugasi oleh Presiden Soekarno untuk melancarkan serangan komando ke Singapura dalam operasi Dwikora atau konfrontasi dengan Malaysia. Peristiwa ini bermula saat Malaysia ingin membentuk federasi yang merupakan negara gabungan Singapura, Sabah, Sarawak, dan Kesultanan Brunei. Hal ini kemudian ditentang keras oleh Presiden Soekarno karena dianggap mengganggu keamanan dalam negeri. Maka dibentuklah sukarelawan untuk dikirim ke Singapura untuk menyabotasi aset vital negara itu. Kenapa Singapura, karena negara ini memiliki banyak etnis sehingga mudah diprovokasi. Akhirnya terpilihlah Sersan KKO Usman Janatin, Kopral KKO Harun Thohir, dan Gani bin Arup. Mereka pada 8 Maret 1965 membawa 12,5 kilogram bahan peledak dengan menggunakan perahu karet masuk ke Singapura. Tepat pada 10 Maret 1965 mereka meledakkan bangunan MacDonald House (gedung Hongkong and Shanghai Bank) yang terletak di Orchard Road dan menimbulkan korban tewas sebanyak 3 orang, serta 33 korban luka dan menyebabkan kekacauan di masyarakat Singapura. Usman dan Harun bisa melarikan diri hingga ke pelabuhan, sedangkan Gani bin Arup mencari jalan lain. Namun sayang, keduanya tertangkap dan diadili dengan vonis hukuman mati.

Usman dan Harun saat ditangkap di Singapura (kanan), upacara pemakaman di TMP Kalibata (kiri). courtesy koranmiliter.com

Pemerintah Indonesia kala itu berusaha meminta keringanan hukuman, namun tidak berhasil. Bahkan permintaan terakhir keduanya sebelum dihukum gantung pun tidak dipenuhi Pemerintah Singapura. Permintaan terakhir mereka adalah bertemu dengan keluarga mereka. Pada 17 Oktober 1968 keduanya dieksekusi di Penjara Changi. Jenazah keduanya dibawa di Indonesia dan langsung dimakamkan di TMP Kalibata, dan keduanya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto. Selain diabadikan menjadi nama jalan di Jakarta, nama Harun Thohir dijadikan nama bandara di Pulau Bawean (tempat kelahiran Harun Thohir), keduanya juga dijadikan nama kapal perang KRI Usman-Harun (359) dan sempat menimbulkan ketegangan antara Indonesia dan Singapura pada 2014 saat pemerintah memberikan nama tersebut untuk kapal perang. Singapura protes karena keduanya adalah yang pelaku pengeboman di Orchard Road.

Padahal secara politis, insiden yang terjadi pada tahun 1965 itu secara tidak langsung justru menguntungkan bagi Singapura. Sebab adanya propaganda konfrontasi Malaysia oleh Presiden Soekarno menyebabkan Singapura merdeka dari Federasi Malaysia. Bahkan pada tahun 1976, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew pernah datang ke makam Usman-Harun dan menaburkan bunga di TMP Kalibata. Namun karena Indonesia tetap mempertahankan nama keduanya sebagai kapal perang, pemerintah Singapura melayang KRI Usman-Harun untuk masuk perairan dan bersandar di Singapura.

Meski sudah setengah perjalanan, ternyata banyak kisah yang masih banyak untuk diceritakan. Sementara kita berhenti di sini dulu, selanjutnya kita akan bercerita tentang Toko Gunung Agung, Pasar Buku Kwitang dan dua tempat kuliner legendaris yang sayang untuk dilewatkan. Sampai bertemu di cerita berikutnya ya!

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s