

Melanjutkan walking tour ke Kwitang bersama Jakarta Good Guide. Perjalanan hari ini kami lanjutkan ke depan Toko Gunung Agung yang berada di Kwitang. Mas Indra kemudian menceritakan tentang sejarah toko buku yang cukup terkenal di Jakarta ini. Toko Gunung Agung pertama kali didirikan pada tahun 1953 oleh Tjio Wie Tay atau yang kemudian dikenal dengan Haji Masagung. Awal mula Toko Gunung Agung dimulai dengan Tay San Kongsie pada 1945, saat itu mereka menjual rokok dan bir. Setelah kemerdekaan RI, kongsi ini kemudian melirik peluang mengimpor buku-buku dan alat-alat tulis. Lama-lama usaha bisnis rokok dan bir ditinggalkan perusahaan ini karena penjualan buku dan alat tulis cukup laris. Kemudian di tahun 1951 mereka membeli rumah sitaan kejaksaan yang berada di Kwitang dan mulai mendirikan Firma Toko Gunung Agung pada 1953. Di sinilah cikal bakal berdirinya Toko Buku Gunung Agung yang pertama.
Oya, nama Gunung Agung sendiri diambil dari nama Tjio Wie Tay yang artinya Gunung Besar. Di tahun yang sama, mereka menggelar pameran buku yang memajang lebih dari 100.000 buku dengan bermodalkan Rp500.000,-. Kesuksesan pameran buku ini kemudian dicanangkan sebagai hari lahir Toko Gunung Agung, yaitu 8 Maret 1953. Setahun kemudian mereka memprakarsai pameran buku yang lebih besar, yaitu Pekan Buku Indonesia 1954. Pameran ini juga menjadi cikal bakal adanya pameran buku yang setiap tahun diadakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Pameran buku juga menjadi lekat dengan kegiatan usaha Toko Gunung Agung, bahkan pernah diadakan juga secara roadshow ke beberapa kota, hingga ke Irian Barat, dan pernah dipercaya pemerintah untuk membuat pameran buku Indonesia di Malaysia dan Singapura.




Bisnis Toko Gunung Agung menjadi semakin pesat berkat dukungan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Bahkan Presiden Soekarno meminta Masagung untuk tetap menjalankan bisnis penerbitan buku karena bisa mencerdaskan bangsa. Pada tahun 1966, Gunung Agung dipercayai untuk menerbitkan terjemahan otobiografi Presiden Soekarno “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis Cindy Adams pada 1965. Sejak itu Gunung Agung dikenal sebagai penerbit yang banyak menerbitkan buku-buku biografi tokoh nasional. Sekitar tahun 1980-an, Masagung menjadi mualaf dan pada tahun 1986, Haji Masagung memutuskan untuk menjual dan menyerahkan saham Gunung Agung kepada ketiga putranya. Sejak itu Haji Masagung mundur dari dunia bisnis dan memperdalam spiritualitas. Bisnis Gunung Agung kemudian meluas ke perdagangan valuta asing, pertambangan, properti serta ritel. Bahkan pada tahun 1991, Toko Gunung Agung mencatatkan diri di Bursa Efek Jakarta. Sayangnya bisnis Toko Gunung Agung tak seekspansif ketika masih dipegang Masagung, sehingga menyebabkan banyak masalah. Tapi Toko Gunung Agung akan selalu diingat sebagai toko yang menjual buku-buku impor dan alat tulis yang lengkap di zamannya.
Oya, tepat di depan Toko Gunung Agung terdapat Taman Gunung Agung. Taman ini diresmikan pada 8 September 1966 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Taman ini terbilang cukup panjang, dari Simpang Senen hingga ke ujung jalan depan Markas Korps Marinir. Taman ini menjadi taman pertama di Jakarta yang merupakan hasil sumbangan dari perusahaan, atau yang dikenal dengan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CSR. Sebab itulah taman ini dikenal sebagai taman CSR pertama di Jakarta. Salah satu ciri khas taman ini adalah papan tulisan “Taman Gunung Agung” yang mencirikan logo Toko Gunung Agung. Tapi entah kenapa kini tak lagi ada papan nama taman di sini, mungkin kontrak pengelolaan dengan pemerintah DKI Jakarta sudah berakhir atau memang sedang diperbaiki.



Masih di kawasan Jalan Kramat Kwitang, di sini terdapat bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kwitang. Bangunan ini adalah tempat ibadah peninggalan zaman Belanda di Jakarta. Sejarahnya dimulai tahun 1873, ketika Christelijke Gereformeerde Kerk di Belanda mengutus Zendeling E. Haah untuk memberitakan Injil di kalangan orang-orang Belanda di Batavia. Lalu terbentuklah Christelijke Gereformeerde Kerk van Batavia. Baru pada tanggal 8 Juli 1877 diresmikan adanya jemaat di Kwitang, yang terdiri dari suku-suku di Hindia-Belanda yang sudah menetap di daerah ini.
Zendeling E. Haan kemudian membeli rumah bambu, yang kemudian dijadikan rumah pendeta atau pastori. Tiga orang jemaatnya, yaitu Ny. R. Rijks, Nn. Hofland dan Ny. Blankert membantu membangun kelas sekolah dan rumah ibadah sederhana dari kayu di halaman pastori. Kebaktian pertama dilaksanakan pada 5 November 1876 dan dihadiri sekitar 50 orang. Pada 17 Juli 1877 diresmikanlah jemaat di Kwitang sebagai Gereja Gereformeerde Kwitang yang berbahasa Belanda. Anggotanya terdiri dari orang-orang Eropa, Jawa, Ambon dan orang Tionghoa yang menetap di Batavia. Gereja ini melayani kebaktian dengan bahasa Belanda dan Melayu. Baru pada tahun 1878 Zendeling E. Haan memberi kesempatan kepada 3 orang pribumi, yaitu Jacobus, Benjamin, dan Ismael untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Guru Injil agar selanjutnya mereka dapat membantu melayani jemaat yang berbahasa Melayu. Lalu pada tahun 1886 D. Huysing menggantikan Zendeling E. Haan, dan pada masa Huysing inilah bangunan gereja dibuat permanen dengan gaya arsitektur bercorak Indische Empire Style. Bangunan gereja ini direnovasi dengan jasa arsitek F.L. Wiemans pada 1921 dan selesai pada 1924 dengan tetap mempertahankan ruang utama. Perubahan dilakukan pada fasad bangunan gereja, yang semula bergaya Indische Empire Style, kemudian dirombak dengan gaya Art Nouveau dan Art Deco.






Pada 11 Agustus 1929 jemaat gereja Gereformeerde berbahasa Melayu dipimpin oleh pendeta pribumi, dan pada November 1930 Pendeta Isak Siagian ditahbiskan sebagai pendeta pertama di Gereja Gereformeerde Melayu Kwitang yang berbahasa Melayu, yang kemudian dikenal dengan Gereja Melayu Kwitang. Pada tahun 1945 Gereja Melayu Kwitang bergabung dengan Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTkH) atau Gereja Tiong Hoa di Jawa Tengah dan pada tahun 1956 dalam Sidang Sinode VI di Purwokerto diputuskan bahwa Gereja Gereformeerde Indonesia (CGI) diganti menjadi Gereja Kristen Indonesia (GKI), yang kemudian mengubah nama Gereja Melayu Kwitang menjadi GKI Kwitang. Salah satu yang unik dalam gereja ini adalah tata cara kebaktiannya yang diiringi oleh alat musik tradisional Indonesia. Sayang kami tidak bisa masuk ke dalam karena masih proses direnovasi dan juga karena pandemi.


Kami lalu berhenti tak jauh di sebelah GKI Kwitang, di sini terdapat Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia atau BPK Gunung Mulia. Meski tampak ada kaitannya dengan Toko Gunung Agung, namun sebenarnya berbeda. Sejarahnya sendiri lebih lama ketimbang Toko Gunung Agung. Dulu setelah kemerdekaan RI, rasa nasionalisme tumbuh di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan untuk literatur agama Kristen, seperti Injil pun masih banyak yang berbahasa Belanda, Melayu atau bahasa lokal. Hingga pada Oktober 1946 dibentuklah Badan Penerbit Darurat dari Gereja dan Pekabaran Injil (Noodleectuurcommissie van Kerk’en Zending) untuk menyediakan buku-buku Kristen berbahasa Indonesia. Gerakan inilah yang menjadi cikal bakal dari berdirinya BPK Gunung Mulia tahun 1950. Pada tahun 1950 ini Badan Penerbit Darurat menjadi organ resmi Dewan Gereja Indonesia (DGI) atau sekarang Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dengan nama Badan Penerbit Kristen atau BPK. Ketua DGI yang pertama adalah Todung Sutan Gunung Mulia, yang juga Menteri Kebudayaan Indonesia tahun 1945-1946. Berkat jasa beliau, namanya kemudian diabadikan menjadi nama BPK Gunung Mulia pada 1971. Sejak itu BPK Gunung Mulia tidak lagi menjadi bagian dari DGI melainkan menjadi lembaga yang mandiri.



Berikutnya, intermezzo dari Mas Indra. Di sebelah bangunan sekolah PSKD atau Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta di Kwitang ada jasa travel yang melayani jurusan Jakarta-Bandung. yang cukup terkenal di masanya. Nama travel ini adalah Travel 4848. Perusahaan ini merupakan salah satu pelopor angkutan antar kota. Berdiri pada tahun 1959 oleh Irawan Sarpingi di Kota Bandung. Rute Jakarta-Bandung dan sebaliknya, banyak dimanfaatkan oleh masyarakat umum dan juga anggota ABRI kala itu (sekarang TNI). Irawan memulainya dengan mengoperasikan beberapa unit sedan Holden dan Chevrolet Suburban. Selain melayani jasa angkutan antar kota, 4848 kemudian merambah ke bisnis taksi dan juga layanan pengiriman barang. 4848 kemudian kalah saing dengan beberapa perusahaan transportasi yang melayani Jakarta-Bandung. Selain karena peremajaan kendaraan yang terlambat, juga karena daya saing yang makin tinggi. Sehingga nama 4848 seakan tenggelam oleh travel lain. Saat ini 4848 masih beroperasi dengan dipimpin oleh anak Irawan, dengan layanan antar kota, namun lebih banyak ke wilayah timur Jawa Barat dan juga layanan pengiriman barang. Satu hal yang masih dijaga oleh 4848 yaitu melayani penumpang antar jemput hingga ke depan rumah.



Kembali ke Kwitang. Kwitang yang berada di Jakarta Pusat ini dikenal sebagai pusatnya buku. Bahkan jika kalian pernah menonton film “Ada Apa Dengan Cinta?” ada satu adegan di mana Rangga mengajak Cinta ke toko buku di Kwitang (pedagang bukunya diperankan oleh Gito Rollies). Pasar Buku Kwitang memang cukup tersohor namanya, di sini kita bisa mendapatkan berbagai buku, baik baru maupun bekas dengan harga yang cukup murah. Apalagi jika memasuki tahun ajaran baru, pasar ini mendadak ramai dan sesak. Trotoar jalan dipenuhi dengan pelapak buku dan pembeli. Meski sempat terjadi penggusuran maupun kebakaran, tak membuat para pelapak kapok berjualan di Kwitang. Kwitang menjadi pusat penjualan buku bekas di Jakarta sejak 1970-an. Namun kejayaan Pasar Buku Kwitang sudah telah lama memudar, apalagi dengan gempuran media daring. Sekarang di depan Jalan Kramat Kwitang hanya terlihat beberapa pedagang saja. Beberapa ada yang menempati kios, namun ada juga yang membuka dagangannya di atas trotoar. Sebagian besar telah direlokasi oleh Pemerintah DKI Jakarta pada tahun 2008. Mereka tersebar di Tanah Abang, Senen, Blok M, dan Thamrin City.



Nah, karena waktu sudah pas tengah hari. Kami segera berjalan menuju ke dua lokasi terakhir. Keduanya adalah tempat kuliner yang legendaris. Pertama kami menuju ke Es Krim Baltic yang berada di kawasan Senen. Cerita tentang es krim legendaris ini bisa dibaca di Es Krim Legendaris Jakarta. Es krim ini dulu hanya memiliki 4 varian rasa, yaitu cokelat, stroberi, moka, dan alpukat, dan kini sudah memiliki sekitar 20 varian es krim. Kami singgah sebentar untuk membeli es krim untuk kami makan sambil menuju ke Maison Weiner Cake Shop. Saya sempat membeli es krim cup rasa durian untuk menemani perjalanan.






Akhirnya kita sampai di pemberhentian terakhir, yaitu Maison Weiner Cake Shop. Ini adalah kunjungan kedua saya, setelah bertahun-tahun lamanya. Satu hal yang selalu saya ingat adalah tempat sampahnya yang unik, berbentuk patung Smurf. Toko kue ini berdiri sejak tahun 1936 dan menjadi satu-satunya toko kue pertama di Batavia sampai dengan tahun 1970-an. Gaya bangunannya juga masih dipertahankan hingga sekarang, bergaya klasik dan didominasi dengan warna putih dan merah. Interiornya pun sama-sama klasik, ada beberapa meja dan kursi yang ditutupi taplak bermotif kotak-kotak merah putih, motif khas kain untuk piknik. Aroma kue khas eropa merebak saat kita masuk ke dalam. Maison Weiner didirikan oleh Lee Liang Mey yang akrab disapa Nyonya Gem. Dulu Nyonya Gem pernah bekerja dengan keluarga Belanda dan membantu membuat kue dan roti. Hingga kemudian nyonya dari keluarga Belanda ini menyarankan untuk membuat toko kue. Karena bukan dari keluarga berada dan tidak bisa membeli peralatan, nyonya Gem pun menolak saran si Nyonya Belanda. Lalu Nyonya Belanda ini menyarankan untuk membeli peralatan secara cicilan di Pasar Gambir. Dari situlah Nyonya Gem mulai membangun bisnisnya.




Pada awal berdirinya toko kue ini, Nyonya Gem hanya membuat kue-kue kering khas eropa. Lalu kemudian lama kelamaan membuat kue-kue manis dan roti. Dulu nama toko ini bukan cake shop, melainkan Bengkel Koewe. Oya, nama Weiner sendiri adalah nama pemberian dari keluarga Belanda tempat Nyonya Gem bekerja dulu. Sedangkan Maison, adalah nama yang dulu lazim diberikan ke semua toko (apapun barang yang dijualnya). Kini produksi roti di toko ini dipegang oleh generasi ke-3, yaitu Heru Laksana. Toko kue ini juga tetap mempertahankan peralatan masak tua, seperti oven, yang dipakai sejak awal toko ini berdiri. Dari semua jenis roti yang ada, roti sourdough ala Eropa adalah yang paling diminati. Menu andalan lainnya yaitu ontbijtkoek, roti cokelat almond, roti bloeder keju, dan kue soes. Setiap hari Sabtu ada promo sebesar 30% untuk semua jenis produk kue dan rotinya, sedangkan pada hari Minggu toko ini tutup. Berhubung ini adalah pemberhentian terakhir, saya sudah cukup lapar. Segera saya mengambil dua kue di rak, dan memesan dua kue yang ada di dalam estalase. Rasanya menurut saya enak dan tidak terlalu manis. Adonannya juga gurih dari mentega, selain itu teksturnya juga lembut. Rasanya ingin kembali lagi ke sini untuk mencicipi roti sourdough-nya. Baiklah, ini adalah destinasi terakhir untuk jalan-jalan hari ini. Terima kasih Jakarta Good Guide dan Mas Indra untuk tur yang menyenangkan ini. Semoga minggu depan bisa ikut tur yang lainnya. Sampai jumpa!

