

Melanjutkan perjalanan keliling Pasar Lama. Kali ini kita akan kembali masuk ke dalam pemukiman yang ada di Pasar Lama. Masih di kawasan Pasar Lama. Di sini kita akan menemukan bangunan khas bergaya Tionghoa. Namanya Roemboer – Tangga Ronggeng. Roemboer sendiri singkatan dari Roemah Boeroeng.
Bangunan Bergaya Khas Tionghoa
Kata Ibek, dulunya bangunan yang berada di Jalan Cilangkap No.44 ini milik modiste kebaya encim. Namun kemudian dijadikan sarang burung walet seperti beberapa rumah lain di Pasar Lama. Dari sinilah kemudian nama Roemah Boeroeng didapat. Nah kalau tangga ronggeng, seperti penjelasan tadi. Lokasi rumah ini tak jauh dari tangga ronggeng. Pemilik Roemboer ini adalah Udaya Halim atau Lim Tjin Pheng, yang juga pemilik Museum Benteng Heritage di Pasar Lama Tangerang.




Udaya, yang lahir hingga dewasa di Pasar Lama ini mengatakan bahwa bangunan ini di bagian utamanya bergaya Tionghoa abad ke-18 dan bagian sampingnya bergaya kolonial yang ditambahkan pada akhir abad ke-19. Pemilik semula rumah ini adalah keluarga Pee. Istrinya dikenal dengan panggilan “Encim Pon”, adalah seorang modiste terkenal di Tangerang yang khusus membuat bordir kerancang kebaya. Pada tahun 1973, rumah ini dijual kepada orang Jakarta pengusaha burung walet untuk dijadikan sarang burung walet. Beberapa bagian rumah dan atap dicor beton untuk mencegah pencurian sarang walet. Udaya kemudian membeli rumah ini dan kemudian merestorasinya dari tahun 2013 hingga akhir 2014. Bangunan ini tadinya akan dijadikan Museum Kuliner, namun karena kurangnya biaya membuat rumah ini hanya digunakan untuk kegiatan budaya dan menerima tamu-tamu khusus. Sayangnya karena pernah dijadikan rumah burung, membuat barang-barang milik pemilik sebelumnya yang tertinggal.







Persis di depan Roemah Boeroeng ada rumah penulis buku silat terkenal Oey Kim Tiang atau yang dikenal dengan OKT. Beliau lahir di Tangerang pada tahun 1903 di Tangerang dan meninggal pada tahun 1995. OKT dikenal telah menerjemahkan lebih dari 100 buah buku silat, dari bahasa Hokkien menjadi Melayoe Pasar atau Melayoe Rendah. Ia dianggap sebagai salah satu orang yang berperan menyebarkan dan mempopulerkan kesusasteraan Melayu Tionghoa, karena penguasan bahasa “Melayu Tionghoa” atau disebut juga sebagai Melayu Betawi.



Ayahnya adalah seorang mandor kebun kelapa. OKT menamatkan pendidikan dasarnya di Tangerang, lalu melanjutkan ke sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), di mana ia belajar bahasa Mandarin dan sejarah Tiongkok tetapi hanya mampu melanjutkan sekolahnya sampai ke tingkat SMP. Ia pernah bekerja di Koran KengPo pada 1923 sebagai penerjemah cerita silat Tiongkok. Beberapa karya yang pernah diterjemahkan antara lain Kawanan Merah-Item, Perdjodohan Busur Kemala, Rahasia Gelang Pusaka, dan Kisah Membunuh Naga.
Baca: Blusukan ke Pasar Lama Tangerang
Kecap Benteng Yang Melegenda
Tujuan terakhir kita di Pasar Lama adalah Pabrik Kecap Benteng cap SH. Nah sebelum kita membahas lebih lanjut tentang sejarah kecap benteng ini, kita coba telusur lebih jauh tentang sejarah kecap itu sendiri. Secara etimologi kata ‘kecap’ berasal dari bahasa Tionghoa “koechiap” atau “ke-tsiap” yang merupakan bumbu penyedap untuk masakan. Awalnya kecap atau kecap asin dibawa oleh orang-orang Tionghoa ketika mereka mendarat di Teluk Naga. Mereka kemudian memperkenalkan kecap ini, namun banyak yang tidak menyukai rasa kecap asin. Lalu terjadilah akulturasi di mana kecap asin ini ditambahkan dengan gula aren agar bisa menyesuaikan dengan lidah masyarakat setempat. Setelah itu terciptalah kecap manis seperti yang kita kenal sekarang ini. Kota Tangerang sendiri adalah tempat lahirnya kecap-kecap terkenal, seperti Kecap Benteng Teng Giok Seng (Kecap Cap Istana), Bango, hingga Kecap Benteng Cap SH.


Bagi masyarakat Tangerang, kecap Benteng cap SH sudah cukup populer sejak tahun 1920. Rasa manisnya yang tidak berlebihan, teksturnya tidak terlalu kental dan encer. Kecap Benteng cap SH atau Siong Hin ini dibuat oleh Lo Tjit Siong, kemudian dipopulerkan oleh masyarakat Cina Benteng yang tinggal di Kota Tangerang. Sekarang ini kecap Benteng SH sudah berada di generasi keempatnya yang dipegang oleh Latief Sukaryadi. Proses produksinya pun tidak dilakukan secara massal, hanya terbatas dalam jumlah tertentu saja. Bahkan resepnya adalah rahasia warisan turun temurun. Kecap ini memiliki dua varian, ada kecap manis dan kecap asin. Kini kemasannya tak hanya menggunakan botol dari kaca dengan ukuran besar, namun ada juga botol plastik dengan ukuran sedang hingga kemasan sachet. Selain itu hampir sebagian besar pedagang makanan di Tangerang menggunakan kecap ini sebagai bumbu masakannya. Saya sendiri penasaran dengan cara mereka memproduksinya. Lain kali saya mau datang lagi untuk melihatnya langsung.
Cerita Dari Tepi Cisadane
Perjalanan keliling Pasar Lama akhirnya harus berakhir di Pabrik Kecap Benteng cap SH. Setelah berpamitan, saya lanjutkan perjalanan menuju ke Pusat Kuliner Pasar Lama untuk berwisata kuliner. Tak hanya malam hari, tapi saya juga akan berkeliling di pagi harinya.




Kali ini saya berjalan menyusuri Sungai Cisadane yang membelah Kota Tangerang. Saya mulai dari Flying Deck Cisadane di Jalan Kalipasir. Flying Deck ini merupakan jalan setapak dengan pagar besi berwarna biru dan berlantai kayu. Flying Deck juga memudahkan masyarakat yang ingin melihat upacara Peh Cun atau lomba perahu naga yang diadakan setahun sekali. Fasilitas ini dibangun oleh Pemerintah Kota Tangerang pada tahun 2016 dengan panjang mencapai 142 meter dengan lebar 3 meter.



Agak jauh sedikit, mendekati jembatan Cisadane. Kita bisa menemukan Dermaga Apung Kali Pasir. Dermaga apung ini merupakan floating module yang membentang sepanjang 70 meter di Sungai Cisadane. Menghubungkan antara Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Tangerang. Jembatan yang dibangun oleh Pemkot Tangerang ini tidak selamanya melintang. bila arus sungai deras, maka jembatan akan diangkat atau bila dirasa masih aman akan dikesampingkan ke bibir sungai. Saat saya datang, jembatannya memang tidak melintang. Hanya ada beberapa pemancing ikan yang memanfaatkan dermaga apung ini.








Lalu tepat di belakang Plaza Robinson atau di Jalan Benteng Jaya terdapat taman sepanjang Sungai Cisadane yang diberi nama Cisadane Walk. Kawasan ini disulap oleh Pemerintah Kota Tangerang menjadi salah satu ikon kota. Uniknya, di sini kita bisa melihat beberapa bangunan mirip benteng, termasuk juga replika meriam. Kedua bangunan ini mengingatkan pada sejarah Kota Tangerang, khususnya di pinggiran Sungai Cisadane. Dulu di sini terdapat bangunan benteng yang dijaga oleh orang-orang Makassar. Bekasnya memang sudah tidak ada, konon terkena abrasi air sungai dan kini berada di bawah sungai. Kawasan ini terbilang cukup menarik, karena kita bisa menikmati sore sambil duduk-duduk di sini atau sekedar berolahraga pagi.




Nah, tak jauh dari Cisadane Walk kita bisa dengan mudah menemukan Jembatan Kaca Berendeng. Jembatan yang diresmikan pada awal bulan Februari 2018 oleh Walikota Tangerang H. Arief R. Wismansyah ini dikenal sebagai jembatan kaca. Karena di sisi kanan dan kiri jembatan terdapat lantai kaca yang seakan membuat kita melayang di atas sungai. Jembatan kaca ini mampu dinaiki oleh sekitar 60 orang dengan beban maksimal masing-masing 80 kilogram. Tinggi jembatan sekitar 5 meter dari sungai. Nama jembatan ini diambil dari dua wilayah yang dihubungkan oleh jembatan ini, yaitu wilayah Benteng Makassar di Kecamatan Tangerang dan wilayah Gerendeng di Kecamatan Karawaci.
Baca: Kisah Peranakan Cina Benteng
Jembatan ini sekaligus menjadi pemberhentian terakhir saya. Meski sudah banyak tempat yang berhasil saya kunjungi selama dua hari, tapi ternyata banyak juga yang belum sempat saya datangi. Sebagai kota penyokong ibukota, Tangerang menyimpan banyak cerita sejarah yang sama tuanya dengan ibukota. Bahkan lebih tua dengan yang ada di Jakarta. Saatnya kembali ke Jakarta, terima kasih Tangerang. Sampai jumpa lagi!