TANGERANG: Kisah Peranakan Cina Benteng

Halo, bertemu lagi di cerita blusukan saya ke Pasar Lama Tangerang. Jika sebelumnya kita sudah banyak membahas tentang sejarah Cina Benteng, kali ini kita akan makin masuk menjelajah ke kawasan Pasar Lama untuk melihat lebih dekat dengan keseharian warga peranakan di sini. Tujuan pertama adalah Klenteng Boen Tek Bio. Kelenteng Boen Tek Bio adalah klenteng tertua diantara tiga kelenteng paling tua yang ada di Tangerang. Adanya bangunan ini tak terlepas dari orang-orang Tionghoa yang dikenal dengan sebutan “Cina Benteng”.

Sejarah Peninggalan Cina Benteng

Kelenteng yang berlokasi di sudut Jalan Bhakti dan Jalan Cilame di kawasan Pasar Lama, Tangerang ini dibangun pada tahun 1684. Bangunan ini dulunya merupakan pusat dari pemukiman orang Tionghoa yang berbentuk petak sembilan. Kelenteng Boen Tek Bio dibangun dan didedikasikan untuk menghormati Dewi Kwan Im. Boen Tek Bio sendiri berasal dari bahasa Hokkian. “Boen” berarti intelektual, “tek” berarti kebajikan, dan “bio” berarti tempat ibadah. Atau kurang lebih berarti tempat bagi umat manusia untuk menjadi insan yang penuh kebajikan dan intelektual.

Mulanya kelenteng ini berbentuk sebuah rumah bambu, hingga kemudian dilakukan renovasi besar-besaran pada 1844. Bangunan sisi kiri-kanan dibuat tahun 1875, sedangkan bangunan di bagian belakang dibangun tahun 1904. Saat renovasi tahun 1844, keempat kimsin dewa-dewi yang disembah di kelenteng ini, yakni Dewi Kwan Im Hud Couw, Kongco Kha Lam Ya, Kongco Hok Tek Ceng Sin, dan Kongco Kwan Seng Tee Kun dipindahkan ke Kelenteng Boen San Bio di daerah Pasar Baru. Setelah renovasi selesai, keempat kimsin dikembalikan ke Kelenteng Boen Tek Bio melalui prosesi arak-arakan. Prosesi arak-arakan pertama dilakukan padatahun 1856 dan kemudian menjadi tradisi rutin yang dikenal dengan istilah Gotong Toapekong. Kegiatan ini dilakukan setiap 12 tahun sekali setiap tahun Naga. Terakhir diadakan pada tahun 2012, akan diadakan lagi pada 2024. Kelenteng ini juga rutin mengadakan berbagai perayaan, salah satunya perayaan Peh Cun, yaitu lomba perahu naga yang diadakan di Sungai Cisadane yang diselenggarakan setahun sekali.

Di depan kelenteng ini terdapat sepasang patung singa, yang biasa disebut ciok say. Patung ini disumbangkan pada tahun 1827 dan didatangkan langsung dari Tiongkok. Masing-masing patung melambangkan unsur yin dan yang. Unsur yin digambarkan dengan singa betina dengan mulut tertutup dan anak singa di bawah kakinya, sedangkan unsur yang digambarkan dengan patung singa jantan dengan mulut terbuka dan sebuah bola di kakinya. Selain itu terdapat lonceng perunggu dengan nama Wende Miao dalam bahasa mandarin, yang dibuat di Tiongkok pada tahun 1835. Selain patung dan lonceng, kelenteng ini juga menyimpan banyak artefak, misalnya hiasan pada hiolo atau tempat menancapkan hio bakar di altar utama kelenteng yang dibuat pada tahun 1805.

Tepat di belakang Kelenteng Boen Tek Bio terdapat tempat ibadah umat Buddha yang bernama Wihara Padumuttara. Untuk masuk ke dalam Wihara Padumuttara kita harus melalui gerbang melingkar yang disebut Pintu Kesusilaan yang berada di samping (dekat dengan lokasi Pasar Lama). Pintu ini tampak unik, karena memadukan berbagai ornamen khas India, Tionghoa dan Indonesia, seperti stupa. Dulunya Kelenteng Boen Tek Bio pada masa Orde Baru mengubah namanya menjadi Wihara Padumuttara karena kala itu berbagai hal yang berkaitan dengan unsur Tionghoa dilarang. Meski berbeda, kelenteng dan wihara ini menjadi satu lokasi yang sama. Sehingga bangunan utama dikenal dengan tempat peribadatan umat Buddha. Hingga saat ini, meski sudah tak jadi satu (karena fungsinya untuk masing-masing agama), wihara ini tetap ada dan digunakan sebagai tempat ibadah.

Baca: Blusukan ke Pasar Lama Tangerang

Kalau jalan-jalan di kawasan Pecinan, kita bisa melihat pemukiman khas peranakan. Hal ini juga yang saya temui di pemukiman yang ada di Pasar Lama. Bentuk rumahnya yang masih mempertahankan gaya khas peranakan. Meski tak semuanya, tapi kita dapat dengan mudah menemukan rumah-rumah ini di kawasan dekat Kelenteng Boen Tek Bio. Bentuk atap rumah juga bisa menandakan strata sosial dari masyarakat Tionghoa. Jika bentuknya lancip seperti ekor burung walet (Yanwei Xing), yang melengkung ke atas dan ujungnya terbelah dua seperti ekor walet maka penghuninya adalah orang yang memiliki jabatan tinggi, sedangkan jika penghuninya adalah rakyat biasa, bahkan orang kaya sekalipun hanya diperbolehkan menggunakan atap bergaya atap pelana.

Tak jauh dari Kelenteng Boen Tek Bio, terdapat usaha lapis legit rumahan yang sudah terkenal sejak tahun 1980-an. Pemiliknya adalah Cik Ika, dia adalah generasi kedua penerus usaha lapis legit ini. Untuk mencari lokasi tokonya memang tak mudah, karena tidak ada plang nama. Cik Ika sendiri memang tidak menamai secara khusus kue lapis legitnya. Namun untuk memudahkan, Cik Ika menamainya Lapis Legit “Berkat”. Setiap menjelang Imlek, pesanan lapis legitnya melonjak. Bisa sampai 150-200 lapis legit. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp700.000,- sampai Rp1 juta untuk yang memakai mentega merek Wisman. Lapis legit dinilai punya nilai filosofis, bentuknya yang berlapis membuat kue ini dianggap sebagai simbol kemakmuran yang harapannya terjadi secara berlapis-lapis. Menyantap lapis legit ketika hari raya Imlek sama seperti berdoa dan berharap agar mendapat banyak keuntungan dan pengalaman manis. Sayangnya saat itu sedang tidak ada kegiatan di rumah ini, padahal saya ingin mencicipi rasanya seperti apa.

Kisah Sang Musafir

Meski Pasar Lama identik dengan peranakan Tionghoa, tapi di sini kita bisa menemukan tempat ibadah umat Muslim, salah satunya Masjid Jami Kalipasir. Masjid ini merupakan masjid tertua di Kota Tangerang. Dibangun pada tahun 1412 dalam bentuk gubuk kecil di tengah hutan, oleh Ki Tenggerjati dari Kerajaan Galuh Kawali di Jawa Barat. Ki Tenggerjati lalu menetap di gubuk kecilnya tersebut selama empat tahun lamanya hingga jemaahnya pun semakin banyak.

Pada tahun 1416 tempat ibadahnya semakin diperbesar. Selain karena banyaknya jemaah, juga karena lokasinya berada di tepi Sungai Cisadane (dulunya Sungai Cipamunggas), yang merupakan jalur transportasi utama pengangkutan hasil bumi dari Selatan ke Utara. Hingga pada tahun 1445 ada seorang ulama dari Persia bernama Said Hasan Ali Al-Husaini, atau dikenal dengan nama Syekh Abdul Jalil, yang singgah di masjid tersebut dan membuat masjid semakin diperbesar.

Di masjid ini terdapat empat pilar berwarna hitam yang berdiri tepat di bagian tengah yang masih dipertahankan hingga sekarang. Bahkan salah satunya merupakan pemberian dari Sunan Kalijaga, salah satu tokoh agama Islam yang juga Wali Songo. Selain itu bentuk kubahnya sangat khas dengan ukiran menyerupai bunga teratai dan menaranya mirip pagoda Tiongkok. Satu hal yang cukup unik adalah bentuk shaf sholat yang miring dibandingkan arah bangunan. Bentuk shaf miring dikarenakan toleransi bangunan masjid dengan bangunan di sekitarnya, sehingga shaf disesuaikan dengan arah kiblat tanpa mengubah bentuk bangunan.

Meski ada perbedaan soal kapan masjid itu dibangun, masjid tersebut kemudian ditetapkan sebagai masjid pada 1576 oleh KH. Tobari Ashajili, seorang ulama di Kota Tangerang sekaligus pemilik pesantren di Periuk, Kota Tangerang. Lalu pada tahun 1700 dibuatlah catatan resmi oleh keturunan ningrat bernama Raden Anwar Yasir bahwa Majid Jami Kalipasir didirikan Tumenggung Pamit Wijaya dari Kahuripan. Sejak itu, secara turun-temurun kepengurusan Masjid Jami Kalipasir dipegang oleh keturunan Pamit Wijaya. Dulu masjid ini biasa digunakan untuk sholat Jumat, namun karena semakin banyak jemaahnya kini lokasi sholat Jumat dipindahkan ke Masjid Agung Al – Ittihad yang tak jauh dari kawasan Pasar Lama.

Cerita Sungai Cisadane

Tak jauh dari Masjid Jami Kalipasir, kita bisa langsung melihat sungai yang membelah Kota Tangerang, yaitu Sungai Cisadane. Sungai ini sarat cerita sejarah dengan keberadaan masyarakat Tionghoa di Tangerang. Di sungai ini juga menjadi tempat digelarnya perayaan Peh Cun atau tradisi lomba perahu naga setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Kong Hu Cu. Perayaan Peh Cun di Sungai Cisadane, Tangerang, merupakan salah satu yang tertua di Indonesia. Arti Peh Cun sendiri terdiri dari dua kata yaitu “Peh” dan “Cun”. “Peh” artinya dayung atau mendayung. “Cun” artinya adalah perahu.

Menyusuri Sungai Cisadane, kita akan menemukan Toa Pekong Air atau Prasasti Tangga Jamban di pinggir sungai. Dulunya tempat ini dibangun pada tahun 1800-an untuk menautkan tali perahu saat warga dari luar benteng hendak beribadah ke Kelenteng Boen Tek Bio. Awalnya ada dua tangga di sini, yaitu Tangga Ronggeng dan Tangga Jamban. Penamaan “ronggeng” dikarena dulu banyak perempuan yang mandi telanjang di Cisadane, sehingga kemudian disebut Tangga Ronggeng. Namun ada pula yang mengatakan bahwa dulu ada rumah judi di tepi Kali Cisadane yang kerap mendatangkan ronggeng pada awal abad ke-20 dan mereka kerap mandi di tepi sungai, ini kemudian yang menjadikan nama tangga ronggeng. Sedangkan tangga satunya sering digunakan untuk buang air, sehingga dinamakan Tangga Jamban. Pembuatan dermaga ini diabadikan dalam sebuah prasasti, yang dikenal dengan Prasasti Tangga Jamban, yang ditulis dengan aksara Mandarin dan tertulis tahun pembuatannya yaitu tahun 1873.

Tangga ini hancur total pada tahun 2009. Baru pada 8 Agustus 2010 didirikan lagi atas inisiatif masyarakat dan Perkumpulan Boen Tek Bio. Di sini kemudian dibangun Toa Pekong Kali dengan altar tempat persembayangan untuk menaruh buah-buahan dan lilin. Prasasti yang berisikan nama ke-81 penyumbang Tangga Djamban kemudian dipindahkan ke Museum Benteng Heritage. Isi prasastinya berbunyi:

“Ini adalah lisjt dari sekoempoelan itoe orang-orang boediman berdjoemlah 81 orang jang soedah boleh melakoekan soeatoe perboewatan moelia oentoek mendoekoeng itoe oesaha dari sarikat Boen Tek Bio mengoempoelkan oeang sebesar 18.156 Toen (ringgit Belanda) oentoek melakoekan pemboeatan 30 (tiga poeloeh) boeah djalan dan joega bikin peraoe dan laennja. Batoe parengatan ini ditoeliskan pada taon kesebelas sewaktoe pemerentahan Kaisar Thong Tjie.”

Baca: Jelajah Kuliner Pasar Lama Tangerang

Dermaga berwarna merah ini masih digunakan sebagai tempat menambatkan perahu hingga sekarang. Kita juga bisa menyewa perahu untuk sekadar menyurusi Kali Cisadane atau menyeberang ke Tanah Gocap dan Tanah Cepek. Lokasi ini merupakan sisa peninggalan Cina Benteng di masa lalu. Keduanya merupakan sebuah tempat yang berisikan kuburan-kuburan berukuran besar. Tanah Gocap  berada di sepanjang Jalan Perguruan Buddhi dan memiliki luas 17 hektar. Tanah Gocap disebut sudah ada sejak jaman Belanda, salah satu batu nisan di sini telah ada sejak tahun 1901. Di Tanah Gocap ini tersimpan perahu naga atau peh cun, yang biasa diperlombakan dalam perayaan festival Peh Cun.

Sedangkan Tanah Cepek berada di Jalan Imam Bonjol No.41 dengan areal tanah seluas 30 hektar. Kedua lokasi ini kelola oleh perkumpulan Boen Tek Bio dan masing-masing dijaga oleh penjaga makam. Biasanya sebelum dimakamkan di salah satu lokasi pemakaman, jenasah harus harus diinapkan dulu di rumah duka Boen Tek Bio yang berada di Tanah Gocap, barulah pihak keluarga dapat memilih tempat untuk dikuburkan. Penamaan gopek dan cepek ini erat kaitan dengan bahasa Tionghoa peranakan, di mana gocap artinya lima puluh dan cepek artinya seratus. Konon pada jaman dulu, harga tanah di tempat sebesar Rp50 atau gocap, sedangkan tanah yang satunya seharga Rp100 atau cepek.

Meski sudah sore, tapi perjalanan berkeliling Pasar Lama masih panjang. Kita akan kembali lagi ke dalam kawasan pemukiman Pasar Lama. Tapi selain itu saya juga akan sedikit bercerita tentang beberapa tempat yang ada sekitar Sungai Cisadane. Nah penasaran? Sampai bertemu di cerita saya berikutnya ya!

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s