TANGERANG: Blusukan ke Pasar Lama Tangerang

Jika beberapa akhir pekan yang lalu, lebih banyak berkeliling ke area Jakarta saja. Kini saya mencoba agak jauh sedikit ke Kota Tangerang. Kali ini saya mengikuti tur Jakarta Good Guide sore hari bersama Ibek. Tujuan utama tur ini adalah Pasar Lama Tangerang yang menjadi saksi sejarah perkembangan kota penyangga ibu kota. Setelah menunggu peserta lainnya, kami memulai perjalanan dari titik Stasiun Tangerang.

Kisah Awal Mula Tangerang

Stasiun Tangerang diresmikan pada 2 Januari 1889 dengan melayani rute Tangerang – Duri dengan panjang jalur sepanjang 19 km. Lintasan kereta api ini merupakan bagian dari jaringan kereta api di lintas barat Batavia sampai ke Anyer yang dibangun oleh Staatssporwegen (SS). Kala itu ada tiga perusahan yang mengoperasikan kereta api di Batavia, selain SS ada Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang membangun lintasan kereta api bagian tengah, yakni Batavia-Buitenzorg (Bogor) yang diresmikan tahun 1873, dan Batavia Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) yang membangun lintasan timur Batavia yaitu Batavia-Bekasi-Karawang pada tahun 1899.

Menurut Ibek, lintasan kereta yang asli sebenarnya tidak berakhir di stasiun ini. Justru ada percabangan hingga ke Sungai Cisadane, tapi kini tak bersisa. Dulu lintasan tersebut digunakan untuk angkutan material, khususnya kayu dari Sungai Cisadane untuk pembangunan Gelora Bung Karno pada tahun 1960–1962. Selain sebagai angkutan penumpang, kereta api jalur ini juga mengangkut hasil-hasil pertanian dan hasil kerajinan rumah tangga. Kerajinan yang paling dihasilkan adalah anyaman topi dari bambu yang terkenal dengan nama topi Tangerang. Oya, kereta api yang melintas di sini terdiri dari 2 rangkaian, di mana rangkaian pertama untuk kelas 2 (orang Tionghoa dan pribumi kelas atas) dan kelas 3 untuk pribumi kelas bawah.

Bangunan asli stasiun ini dulunya didominasi dengan kayu. Namun seiring berjalannya waktu, kini diubah menjadi tembok dari semen dan batu bata. Sejak tahun 1992, bangunan Stasiun Tangerang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Kini stasiun ini hanya melayani rute KA Commuter Line dan termasuk stasiun tersibuk dengan jumlah penumpang 38.000-an penumpang setiap harinya.

Ibek kemudian menceritakan asal mula nama “Tangerang”. Dulu awalnya daerah ini disebut dengan istilah daerah “Benteng” atau “Bentengan”. Kenapa benteng? Sebab dulunya sekitar abad ke-15, Sultan Banten mengangkat 3 Aria atau Maulana dari Kerjaaan Sumedang Larang untuk mengawasi dan melakukan perlawanan kepada VOC demi menjaga perekonomian Kesultanan Banten. Mereka kemudian membangun benteng pertahanan. Konon lokasi bekas benteng ini berada di bawah permukaan air Sungai Cisadane yang semakin lama semakin melebar.

Nama “Tangerang” sebenarnya adalah sebutan untuk sebuah bangunan tugu berbahan dasar bambu yang didirikan oleh Pangerang Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten pada tahun 1654. Letaknya kira-kira 500 meter di tepi barat bantaran Sungai Cisadane tepatnya di Gardu Gede yang kini dikenal dengan nama Kampung Gerendeng. Fungsi tugu ini adalah sebagai pembatas antara wilayah kekuasaan Kesultanan Banten di sebelah barat Sungai Cisadane dengan wilayah yang dikuasi VOC di sebelah timur. Bangunan tugu kemudian disebut “Tetengger” atau “Tanggeran” yang dalam bahasa Sunda berarti penanda.

Saat wilayah ini mulai dikuasai VOC pada 17 April 1684 melalui perjanjian antara VOC dengan Kesultanan Banten yang diwakili oleh Sultan Haji atau Sultan Abunnashri Abdulkahar putra Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan Banten, wilayah ini kemudian dijaga oleh tentara Belanda yang berasal dari berbagai daerah, salah satunya dari Makassar yang tidak mengenal huruf mati. Mereka menyebut “Tangeran” dengan “Tangerang”. Kesalahan ejaan dan dialek ini kemudian yang menjadikan nama Tangerang seperti sekarang ini. Oya, saat dikuasai oleh VOC sebagian tanah di Tangerang dijual kepada orang-orang kaya di Batavia. Nama wilayah Tangerang menjadi nama resmi pertama kali pada masa pendudukan Jepang, tepatnya pada pada 27 Desember 1943 oleh Kentyo M. Atik Soeardi.

Setelah mendengar kisah awal mula Tangerang, kami melanjutkan jalan kaki menuju ke area Pasar Lama. Kita juga sempat melintas di depan toko tertua yang tak jauh dari Stasiun Tangerang. Nama toko ini adalah Toko Benteng, toko ini menjual berbagai perabotan rumah. Entah kapan toko ini dibangun, namun pemiliknya adalah keturunan Cina Benteng, sebutan untuk etnis Tionghoa yang berada di kawasan Tangerang, khususnya yang berada di pesisir Sungai Cisadane.

Kawasan Pasar Lama Tangerang

Tak jauh dari kawasan Pasar Lama, berdiri tugu yang dikenal dengan Tugu Jam Argo Pantes. Tugu ini dibangun perusahaan tekstil Argo Pantes pada 1970-an. Dulu karyawan Argo Pantes yang berseragam putih dan hijau sering menunggu bus jemputan di depan tugu yang dicat warna hijau ini sesuai jam kerja mereka. Sekitar tahun 1980 adalah masa kejayaan Argo Pantes, banyak karyawan yang membelanjakan gajinya dengan menonton film di bioskop Centrum atau berbelanja kebutuhan di Pasar Lama. Tugu jam juga ditetapkan sebagai titik 0 Kota Tangerang.

Baiklah, sekarang ini menuju ke kawasan Pasar Lama. Pasar Lama yang berlokasi di Jalan Kisamaun ini dikenal dengan pusat kuliner Tangerang. Namun tempat ini dulunya adalah merupakan pusat perdagangan tertua di Kota Tangerang dan pusat berbaurnya masyarakat Tionghoa, Betawi, Eropa, dan Sunda. Sejarah Pasar Lama dan Kota Tangerang tak terlepas dari Cina Benteng. Dulunya Laksamana Cheng Ho, seorang penjelajah dari Tiongkok mengutus anak buahnya Tjen Tjie Lung atau Halung untuk menuju ke Jayakarta (sekarang Jakarta). Namun, kapal mereka mengalami rusak parah sehingga rombongan tersebut terdampar di Teluk Naga, di pantai utara Tangerang pada tahun 1407.

Berdasarkan catatan pada kitab Sunda Tina Layang Parahyang, Teluk Naga kala itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran yang dipimpin Sanghyang Anggalarang. Dia kemudian meminta 9 gadis di antara rombongan Tjen Tjie Lung untuk dinikahi para prajurit kerajaan dengan kompensasi sebidang tanah dari wilayah kekuasaannya. Dari masing-masing gadis kemudian didapatkan sembilan bidang tanah tersebutlah yang kini terkenal dengan nama Petak Sembilan di Tangerang. Rombongan Tjen Tjie Lung kemudian dapat menetap di sebidang tanah yang diberikan oleh Kerajaan Pajajaran. Selain gadis-gadis ini, beberapa laki-laki dari rombongan ini juga menikahi penduduk asli setempat. Hasil dari pernikahan itu disebut dengan peranakan Tionghoa dan cikal bakal Cina Benteng. Orang Cina Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap dibandingkan warga keturunan Tionghoa lainnya di Indonesia.

Pada masa pendudukan VOC pada abad ke-16, dibangunlah benteng yang disebut Benteng Makassar yang menjadi pembatas wilayah kesultanan Banten dengan VOC. VOC kemudian mengizinkan warga sekitar Benteng untuk membuka lahan pertanian di sekitar perairan Sungai Cisadane. Mereka kemudian mendiami lahan di sekitar Benteng dan itu yang kemudian menjadikan orang Tionghoa mendapatkan sebutan Cina Benteng. Sebutan ini melekat peranakan Tionghoa di Tangerang hingga sekarang. Benteng ini sudah tidak ada bekasnya dan daerah sekitar benteng menjadi sebuah pusat perdagangan dengan sebutan Pasar Lama. Dulu kawasan pasar ini tidak seperti sekarang, justru merupakan pemukiman di mana masyarakatnya melakukan aktivitas perdagangan di rumah mereka.

Pasar Lama kemudian kemudian ditata sebagai kawasan kuliner sejak akhir tahun 2012 dengan nama Kawasan Kuliner Pasar Lama. Awalnya kuliner pasar lama didominasi oleh makanan khas peranakan dan akulturasi. Bahkan ada yang sudah bertahun-tahun berjualan dan diteruskan oleh keturunannya. Pasar Lama akan semakin ramai dengan pengunjung dan pedagang makanan saat malam hari. Ada banyak jenis makanan yang bisa kita temui di sini, bahkan bisa membuat kita bingung memilih mana yang ingin kita cicipi. Bagi yang pertama kali ke sini, kalian bisa cek Jejalah Kuliner Pasar Lama Tangerang sebagai referensi jika ingin menjajal makanan di Pasar Lama Tangerang.

Baca: Jelajah Kuliner Pasar Lama Tangerang

Kembali ke sejarah peranakan Tionghoa, di kawasan Pasar Lama juga terdapat Museum Benteng Heritage. Bangunan ini terletak di Jalan Cilame ini merupakan hasil restorasi sebuah bangunan berasitektur tradisional Tionghoa yang menurut perkiraan dibangun pada pertengahan abad ke-17 dan merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Tangerang. Di dalam museum ini bisa menemukan banyak peninggalan masyarakat Tionghoa dan berbagai artefak yang menandai eksistensi mereka sejak kedatangan Tjen Tjie Lung di Teluk Naga. Sayangnya karena sudah sore, kami tidak bisa masuk karena sudah tutup. Menurut info, untuk masuk kita dikenakan tiket masuk sebesar Rp30.000 dan kita akan dipandu oleh pemandu museum (jadwalnya setiap satu jam sekali). Selain itu kita tidak diperbolehkan mengambil gambar selama di dalam museum. Baiklah, museum ini menjadi daftar tunggu berikutnya jika saya menjelajah ke Kota Tangerang.

Berikutnya kita akan mengunjungi klenteng tertua di Tangerang yang juga menandai sejarah peranakan Tionghoa di Tangerang. Kisah blusukan saya akan berlanjut ke bagian berikutnya ya. Ada banyak hal menarik yang saya temui selama mengunjungi Pasar Lama. Sampai bertemu lagi ya!

7 thoughts

    1. Wah terima kasih sudah mampir membaca. Saya juga baru tahu tentang pasar lama. Hehe. Ternyata banyak cerita menarik di sana, terutama sejarah Tangerang. Semoga bisa sempat berkunjung ke pasar lama ya.

      Like

    1. Wah terima kasih sudah membaca blog saya. Bicara tentang nama-nama daerah di Jakarta dan sekitarnya, kebanyakan dikarenakan salah pengejaan/pengucapan yang akhirnya bertahun-tahun jadi nama daerah.

      Like

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s