

Meski saya sudah berkali-kali ke Blok M, tapi rasanya masih banyak tempat yang tidak saya tahu sejarahnya. Nah, kali ini saya kembali ikut walking tour bersama Jakarta Guide Guide ke kawasan Blok M. Daerah yang dulunya merupakan kota satelit dari Batavia. Yuk, kita telusuri bersama!
Asal Usul Kebayoran
Bicara tentang Blok M, maka kita akan bicara tentang Kota Satelit Kebayoran. Namun sebelum itu, kita cari tahu dulu asal-usul dari nama Kebayoran itu sendiri. Menurut Huans, Kebayoran itu berasal dari kata dalam bahasa Betawi “kebayuran” yang artinya tempat penimbunan kayu bayur. Kayu ini dianggap memiliki kualitas yang sangat baik untuk membangun rumah, khususnya untuk tiang dan penyangga atap, karena kuat dan tahan terhadap serangan rayap. Kayu-kayu ini dulu diangkut ke Batavia dengan cara dihanyutkan melalui Kali Krukut dan Kali Grogol. Dulu sebelum kemerdekaan, Kebajoran adalah sebuah distrik yang dikepalai oleh seorang wedana dan menjadi bagian dari afdeeling (semacam kabupaten) Meester Cornelis. Jika merunut ke belakang, pada resolusi tahun 1854, Residentie Batavia terdiri dari tujuh afdeeling yaitu Tangerang, Batavia, Weltevreden, Meester Cornelis, Tandjong, Tjibinoeng dan Buitenzorg.


Pada tahun 1938, pemerintah Belanda merencanakan untuk membangun sebuah lapangan terbang internasional di Kebayoran. Namun rencana ini gagal terwujud karena Perang Dunia II. Setelah kemerdekaan, Belanda sempat berinisiatif membuat Kota Satelit sebesar 730 hektar yang dirancang untuk dihuni 100.000 jiwa. Pembangunan kota baru di wilayah Kebayoran tidak terlepas dari permasalahan kekurangan perumahan yang terjadi di Jakarta. Pemilihan lokasi ini pun dipilih yang tak jauh dari pusat ibukota, karena akan ditujukan untuk para pekerja dari ibukota. Setelah melalui persiapan matang, pada 30 Agustus 1948 terpilihlah satu tempat atau kawasan bagi pembangunan perumahan. Lokasi yang dipilih adalah wilayah di antara Kali Krukut di timur Kali Grogol di barat yang banyak terdapat kebun buah-buahan dan persawahan. Wilayah ini kemudian dinamakan Kotabaru Kebayoran, yang kemudian lebih dikenal dengan Kebayoran Baru. Penamaan ini dipakai untuk membedakan dengan wilayah Kebayoran yang lain, yang tidak terkena pembangunan perumahan kotabaru. Kebayoran disebut sebagai kota satelit pertama di Indonesia.

Sebenarnya ada tiga lokasi yang menjadi pilihan, yaitu Kebayoran, Pasar Minggu, dan Depok. Namun Kebayoran dianggap memenuhi syarat karena tidak jauh dari pusat ibukota atau sekitar 7,5 kilometer dari Koningsplein dan berudara lebih sejuk. Konsep pemukiman yang dikembangkan di wilayah ini mengadaptasi kota taman bergaya Eropa di iklim tropis atau kota taman tropis. Konsep ini digagas oleh H. Moh. Soesilo pada tahun 1948. Beliau adalah murid dari Thomas Karsten, arsitek Hindia Belanda yang ikut merancang Bandung, Malang, Bogor, dan Semarang. Maka tak jarang kita temui banyak taman di wilayah Kebayoran Baru, seperti Taman Puring, Taman Langsat, Taman Barito (sekarang Taman Ayodya), Taman Leuser, dan Taman Martha Tiahahu (sekarang Taman Literasi Martha Christina Tiahahu).
Pembangunan dimulai dengan terbitnya peraturan (beslit) pemerintah Belanda untuk pembiayaan rekonstruksi dan pembangunan rumah baru pada 11 Maret 1948. Kemudian dilanjutkan dengan peletakan batu pertama pada 8 Maret 1949. Sekitar tahun 1951, area pembangunan sudah melampaui separuh dari areal yang terdapat di dalam masterplan dan akhirnya selesai pada tahun 1955. Perusahaan yang melakukan pembangunan adalah perusahaan Belanda bernama Centrale Stichting Wederopbouw atau CSW (Pusat Yayasan Rekonstruksi), yang berdiri pada Agustus 1948. Lokasi kantornya sendiri berada di depan kantor Kejaksaan Agung atau sekarang berada di sekitar kantor Sekretariat ASEAN. Peristiwa pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda ke tangan Indonesia di tahun 1949 menyebabkan perubahan CSW menjadi PCK atau Pembangunan Chusus Kebajoran. Untuk menghubungkan pusat kota dengan Kebayoran, dibangunlah jalan dan jembatan di atas banjir kanal barat dan rel kereta api di Kampung Doekoe (sekarang Dukuh Atas). Jembatan dengan panjang 106 meter disebut juga jembatan modern terpanjang di Indonesia. Koneksi ke Batavia akan dilayani oleh bus sesuai dengan jadwal kerja.






Di kota satelit ini, dibangun 12.500 buah rumah dalam berbagai jenis, serta pertokoan yang ditempatkan berdasarkan blok. Kira-kira mana letak blok perumahan ini? Blok A di sekitar jalan Panglima Polim, Blok B di sekitar Jalan Barito, Blok C di sekitar jalan Kyai Mojo, Blok D di sekitar Jalan Gandaria, Blok E di sekitar Taman Pakubuwono, Blok F di sekitar Jalan Sisingamangaraja, Blok G di sekitar jalan Hang Lekir, Blok H di sekitar Jalan Asia Afrika, Blok I di sekitar Jalan Senopati, Blok J di sekitat Taman Mpu Sendok, Blok K di sekitar Jalan Trunojoyo, Blok L di sekitar Jalan Wijaya, Blok M di sekitar pertemuan Jalan Panglima Polim dan Jalan Sisingamangaraja, Blok N di sekitar Jalan Melawai, Blok O di sekitar Jalan Prapanca, Blok P di sekitar Jalan Dharmawangsa, Blok Q di sekitar Jalan Kertanegara, Blok R di sekitar Jalan Erlangga, dan Blok S di sekitar Jalan Wolter Monginsidi.

Ketika Indonesia ditunjuk menjadi penyelenggara Asian Games pada tahun 1962, kota satelit ini kembali diperhitungkan. Pemerintah membangun fasilitas olahraga di Senayan. Nilai sosial dan ekonomi perumahan di kota satelit ini pun meningkat drastis dan menjadi perumahan bergengsi. Pembangunan kota satelit ini juga harus menggusur warga yang sudah menempati wilayah ini sejak lama. Mereka yang tergusur, bersamaan dengan mereka yang tergusur dari Senayan direlokasi ke wilayah Tebet. Jika sebelumnya Menteng dibangun sebagai perumahan elit khusus warga Belanda, maka Kebayoran lebih cenderung heterogen. Blok M kemudian menjadi pusat kota, di mana di sini terdapat pasar, sekolah, kantor pemerintahan, terminal, serta kantor CSW. Lambat laun, kota satelit ini dikenal dengan Kebayoran Baru, sedangkan ibukota distrik yang berada di sisi barat Kali Grogol disebut dengan Kebayoran Lama.
Bangunan di Sepanjang Sisingamangaraja
Salah satu yang paling terlihat adalah Masjid Agung Al-Azhar. Masjid ini mulai dibangun pada 19 November 1953 atas prakarsa 14 orang tokoh partai Masyumi dan selesai dibangun pada 1958. Mulanya pada 7 April 1952, atas anjuran Menteri Sosial Syamsudin didirikanlah Yayasan Pesantren Islam (YPI) yang akan menaungi masjid dan sekolah. Seorang ulama dan aktivis Islam bernama H. Abdul Malik Karim Amrullah (atau dikenal sebagai Buya Hamka) menyarankan agar sebuah masjid dibangun terlebih dulu sebelum dibangun sekolah. Maka dibangunlah masjid terlebih dulu di dalam lahan milik yayasan seluas 43.755 m2. Bangunan masjid ini memiliki kubah bawang bercat putih, mengikuti ciri arsitektur masjid di Timur Tengah dan dilengkapi sebuah menara. Pembangunannya selesai pada tahun 1958 dan saat itu menjadi yang terbesar di Jakarta, sebelum pembangunan Masjid Istiqlal selesai pada 1978. Nama masjid saat itu dikenal dengan nama ”Masjid Agung Kebayoran Baru”.






Nama Al-Azhar disematkan oleh Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, Mahmud Syaltut dalam kunjungannya ke Masjid Agung Kebayoran Baru Jakarta, memberikan kuliah umum kepada jamaah masjid, dan memberi nama ”Al-Azhar” kepada masjid ini. Penamaan ini tak terlepas dari pencapaian Buya Hamka yang juga menyandang imam besar masjid, yang dianugerahi gelar doktor kehormatan oleh Universitas Al-Azhar Mesir. Masjid Al-Azhar telah ditetapkan sebagai salah satu dari 18 situs tapak sejarah perkembangan kota Jakarta dan cagar budaya nasional pada 19 Agustus 1993. Dalam perkembangannya, masjid ini menjelma menjadi kompleks lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya taman kanak-kanak yang dibangun pada tahun 1967 dan Universitas Al-Azhar Indonesia yang dibangun pada tahun 2000.
Masih di sepanjang Jalan Sisingamangaraja, di sini terdapat satu kementerian yang sejarahnya sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia/BPN atau Badan Pertanahan Nasional. Tugas dari kementerian ini adalah mengatur kebijakan tata ruang dan keagrariaan atau pertanahan di Indonesia. Urusan penataan ruang di Indonesia sendiri sudah berjalan jauh sebelum kemerdakaan Indonesia. Dimulai sejak masuknya Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Hindia Belanda pada periode tahun 1602-1799, di mana saat itu muncul istilah “tuan tanah” dan “tanah partikelir”. Hingga kemudian pada tahun 1808-1811 saat Herman Willem Daendels menjadi Gubernur
Jenderal, yang melakukan penjualan tanah secara besar-besaran (Partikulaire Landrijen). Lalu saat Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris pada 1811-1816, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles memberlakukan pemungutan pajak bumi, yang kala itu dinamakan Landrent (sewa tanah).




Di masa kemerdekaan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia pertama kali dibentuk pada tahun 1955. Sebelumnya urusan agraria berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Pada tahun 1988 dibentuklah Badan Pertanahan Nasional, yang kemudian tugas Kepala BPN dirangkap oleh Menteri Negara Agraria pada tahun 1993. Pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, pada tahun 1999, Kementerian Negara Agraria dibubarkan. Baru pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo di tahun 2014, Badan Pertanahan Nasional digabung dan menjadi kementerian kembali.
Di ujung jalan, kita akan menemukan satu gedung yang cukup bersejarah bagi negara-negara di Asia Tenggara. Di sini berdiri Gedung Sekretariat ASEAN atau Association of South East Asian Nations. Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara ini didirikan oleh lima negara pendiri di Bangkok, Thailand pada 8 Agustus 1967 melalui penandatanganan Deklarasi Bangkok. Lima negara pendiri ini diwakili oleh para perwakilan masing-masing negara, yaitu Menteri Luar Negeri RI Adam Malik, Menteri Luar Negeri Filipina Narsisco Ramos, Wakil Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, Menteri Luar Negeri Singapura Sinnathamby Rajaratnam, dan Menteri Luar Negeri Thailand Thanat Khoman.
Dibentuknya ASEAN sebenarnya dipicu dari pertentangan dua negara adikuasa di dunia setelah Perang Dunia II yakni antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keduanya terlibat dalam Perang Dingin sejak tahun 1947. Sebelum ASEAN, sebenarnya sudah ada beberapa organisasi sejenis yang dibentuk di Asia Tenggara, seperti South East Asia Treaty Organization (SEATO) pada 1954, Association of Southeast Asia (ASA) pada 1961, dan Malaysia-Philipina-Indonesia (Maphilindo) pada 1963. Keanggotaan ASEAN terus bertambah, Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Laos (1997), Myanmar (1997), dan Kamboja (1999). Sedangkan Timor Leste masih belum menjadi anggota, karena diragukan kemampuan finansialnya dalam memenuhi kewajibannya sebagai anggota. Salah satu negara anggota yang paling sering bersuara menolak Timor Leste adalah Singapura. Pada tahun 1997, ASEAN membentuk ASEAN Plus Three yang terdiri dari Cina, Jepang, dan Korea Selatan.



ASEAN juga memiliki lambang organisasi yang cukup khas, yaitu padi yang terikat. Mengapa padi? Karena padi menghasilkan beras yang menjadi makanan pokok dan sumber daya paling penting di Asia Tenggara. Awalnya lambang ASEAN berupa enam ikat padi yang melambangkan enam pendirinya, namun kemudian kini jumlahnya 10 batang padi yang terikat melambangkan jumlah anggota ASEAN yang terikat persatuan dan solidaritas.
Pada KTT ASEAN Pertama di Bali tahun 1976 disepakati Agreement on the Establishment of the ASEAN Secretariat, di mana ditetapkan kedudukan Sekretariat ASEAN di Jakarta, Indonesia. Secara resmi Sekretariat ASEAN berfungsi sejak tanggal 7 Juni 1976. Pemilihan lokasi Sekretariat ASEAN di Kebayoran sebenarnya sudah dicanangkan sejak 1974. Awalnya Menlu Adam Malik hendak membangun di Kemayoran dan tanahnya sudah disiapkan. Namun rencana ini disaingi Filipina yang mengklaim menyiapkan sebidang lahan di Roxas Boulevard, Manila, dan memberikan pembiayaan penuh selama dua tahun pertama. Akhirnya pada Juli 1976, pemerintah mengeluarkan dana awal Rp2,8 milyar untuk pembangunan Sekretariat ASEAN, dengan biaya sendiri. Pembangunan pun dimulai pada April 1978.
Desain Sekretariat ASEAN dirancang oleh tim arsitek Gubah Laras yang dikepalai oleh Soejoedi Wiroatmodjo, pendiri firma arsitek paling ternama di Indonesia dan yang merancang gedung-gedung seperti Gedung DPR/MPR dan Manggala Wanabhakti. Desain yang diusung pada Gedung Sekretariat ASEAN ini membawa semangat keterbukaan dan mencerminkan sifat kerjasama antar negara-negara Asia Tenggara. Namun kemudian intepretasi arsitekturnya bergeser di tangan tim Gubah Laras dan Budi A. Sukada yang kemudian lebih ke konteks megah, lentur, dan memperhatikan lokasinya di pojok Jalan Sisingamangaraja dan Trunojoyo. Gubah Laras lalu mengklaim desain gedung, terutama formasi horisontalnya, diilhami oleh terasering sawah di beberapa negara-negara Asia Tenggara.



Pembangunan gedung berlantai 9 ini dilakukan oleh pemborong milik negara PT Pembangunan Perumahan, dengan memanfaatkan sebagian perangkat konstruksi yang pernah digunakan untuk membangun Hotel Indonesia. Gedung bergaya modernis ini dibangun, memakai cladding atau lapisan dinding keramik, dan jendela berwarna cokelat yang kacanya diimpor dari Jepang. Pemerintah Republik Indonesia menyerahkan gedung tersebut pada Sekretariat ASEAN pada 6 Mei 1981 dan tepat pada 9 Mei 1981 diresmikan oleh Presiden Soeharto. Jakarta juga bisa dikatakan sebagai ibu kota ASEAN.




Tak jauh dari kantor ASEAN, kini sedang dibangun Kawasan Berorientasi Transit atau transit oriented development disingkat TOD. TOD merupakan salah satu pendekatan pengembangan kota yang memaksimalkan penggunaan angkutan massal seperti busway, kereta api, MRT, dan LRT yang dilengkapi jaringan pejalan kaki serta ruang publik. Saat ini ada tiga kawasan yang sudah disetujui untuk dijadikan lokasi TOD, yaitu Lebak Bulus, Fatmawati, dan Blok M-ASEAN. Untuk Lebak Bulus akan dibuat dengan konsep gerbang Selatan Jakarta. Fatmawati akan menggunakan konsep ruang atas yang dinamis dan Blok M-ASEAN akan dikembalikan sebagai kawasan hijau dengan konsep Green Creative Hub. Ke depannyam selain tiga kawasan ini, juga akan dikembangkan di kawasan lainnya yakni di Dukuh Atas, Istora Senayan, dan kawasan Cipete.
Memasuki Kawasan Trunojoyo
Di sebelah gedung ASEAN yang baru (atau tepatnya di belakang Universitas Al-Azhar Jakarta) terdapat satu lokasi kuliner yang melegenda di Blok M, yaitu Roti Bakar Eddy. Berlokasi di Jalan Raden Patah, gerai roti bakar ini sudah ada sejak tahun 1971. Pendiri roti bakar legendaris itu adalah Eddy Supardi. Awalnya Pak Eddy mencoba berjualan lontong sayur dan bubur ayam di lokasi yang sama, hingga kemudian mencoba dagangan roti bakar berbekal pengalamannya ketika menjadi karyawan usaha roti bakar milik orang lain. Dulu dia berjualan dengan menggunakan gerobak dan sempet berpindah-pindah tempat. Hingga kemudian kedainya menjadi permanen di lokasi yang sekarang. Keistimewaan roti bakar ini adalah roti yang digunakan adalah roti buatan sendiri. Menu yang terkenal dari kedai ini adalah roti bakar coklat keju. Selain itu kita juga bisa memilih menu roti bakar lainnya seperti berisi keju, kornet, telur, atau pisang. Merek Roti Bakar Eddy kini terus berkembang dan memiliki beberapa cabang di Jakarta dan sekitarnya. Kini usahanya dilanjutkan oleh anak-anaknya, karena sang pendirinya telah meninggal dunia, pada 10 Oktober 2018 di Jakarta.


Sampailah kita di depan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atau Mabes Polri. Lokasi ini beberapa waktu sempat dikejutkan dengan aksi penyerangan oleh terduga teroris. Tapi ternyata gedung yang berada di Jalan Trunojoyo ini memiliki sejarah yang cukup menarik. Mabes Polri ini adalah gedung perkantoran pertama yang menggunakan konstruksi besi di Indonesia. Pembangunannya dilakukan pada masa kepemimpinan Kapolri pertama, yaitu Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Dimulai pada 17 Maret 1952 yang ditandai dengan penanaman pohon beringin oleh Soekanto. Oya, Soekanto ini yang mendirikan Korps Brigade Mobil, Polisi Air dan Udara, Polisi Wanita, Polisi Khusus Kereta Api, Pengawasan Aliran Masyarakat (cikal-bakal Badan Intelijen dan Keamanan).
Proyek ini sempat dikritik oleh Menteri Pekerjaan Umum yang saat itu dijabat oleh Ir. Laoh karena dianggap terlalu berlebihan. Namun, justru Soekanto mendapat dukungan dari Presiden Soekarno. Gedung tiga lantai ini selesai dibangun pada 1955. Peresmiannya bersamaan dengan perayaan ulang tahun Djawatan Kepolisian Nasional (DKN) atau Polri pada 1 Juli 1955. Di lokasi ini terdapat Patung Gajah Mada yang menyimpan kisah unik. Kala itu Kapolri pertama memerintahkan Komisaris Besar R. Umargatab membuat patung Gajah Mada untuk diletakkan di depan Mabes Polri. Soekanto meminta agar patung itu selesai sebelum HUT Bhayangkara tanggal 1 Juli 1959, karena dia berencana meresmikannya tepat pada hari jadi Polri.


Pematung, Catur Prasetya dibantu 30 orang pekerja berhasil menyelesaikan badan patung sebulan sebelum HUT Bhayangkara. Namun baik Kombes Umargatab maupun sang pematung tak tahu bagaimana persisnya muka Gajah Mada. Sedangkan upacara peresmian tinggal sepekan lagi. Akhirnya Umargatab meminta foto Panglima Korps Mobiele Brigade Indonesia (Mobrig, kini Brimob) Moehammad Jasin. Jasin menyangka foto itu untuk dokumentasi saja dan dia memberikannya tanpa curiga. Umargatab lalu menyerahkan foto Jasin kepada pematung dengan permintaan jangan sekali-kali membocorkannya kepada Soekanto. Maka, jadilah patung Gajah Mada setinggi 17 meter dengan tatakan patung 8 meter berdiri di halaman Mabes Polri, yang wajahnya konon mirip wajah Panglima Korps Mobrig.
Umargatab lalu meminta maaf pada Jasin karena mencuri ‘wajah’ untuk menyelesaikan patung Gajah Mada. Umargatab pun meminta Jasin merahasiakan hal ini, terutama pada Kapolri. Pada saat peresmian pada 1 Juli 1962, Jasin dan Umargatab saling curi pandang, khawatir Soekanto gusar setelah melihat hasilnya. Namun hingga akhir acara, tak ada kecurigaan dari Soekanto. Setelah upacara selesai, Soekanto malah berterima kasih kepada Umargatab dan sang pematung. Rahasia ini baru dibuka setelah Soekanto pensiun. Beliau justru tidak marah, bahkan tertawa terbahak-bahak.



Nah, di seberangnya atau tepatnya di Jalan Trunojoyo No. 3 berdiri sebuah museum tiga lantai yang memperlihatkan sejarah perjalanan Kepolisian Negara Republik Indonesia, namanya Museum Polri. Pembangunan museum ini diinisiatif oleh Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri. Tujuannya adalah untuk melestarikan nilai-nilai kesejarahan Polri kepada generasi yang akan datang. Museum ini kemudian diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 1 Juli 2009 silam bertepatan dengan HUT Polri.
Berhubung masih tutup, kami tidak masuk ke dalam. Tapi kata Huans, kurang lebih koleksi museum ini adalah beragam peralatan yang digunakan oleh polisi dari jaman ke jaman, kemudian koleksi persenjataan, hingga hall of fame tokoh-tokoh pemimpin Kepolisian Indonesia. Untuk masuk ke dalam museum ini pun tidak dipungut biaya. Nah, perjalanan kita berhenti di sini dulu ya. Di perjalanan selanjutnya kita akan melihat lebih dekat kawasan pusat dari Blok M. Tunggu di tulisan berikutnya ya!
wah, semenjak kapan kebayoran baru masuk ke provinsi jakarta?
apakah sebelumnya, sudah ada jakarta utara s/d jakarta pusat?
LikeLike
setahu saya, dulu jakarta (batavia) dibagi menjadi beberapa distrik. kalo tidak salah, kebayoran baru ini masuk ke wilayah meester cornelis. sepertinya setelah kemerdekaan, jakarta mulai dibagi wilayahnya seperti sekarang ini.
LikeLike