JAKARTA: Pusat Keramaian Blok M

Blok M ternyata menyimpan banyak cerita tentang kehidupan warga Jakarta tempo dulu. Bahkan Blok M termasuk menjadi pusat keramaian bagi orang-orang Jakarta, dari dulu hingga sekarang. Walau kawasannya tidak begitu besar, tapi banyak lokasi yang memiliki cerita menarik. Pada bagian pertama, dari Jalan Sisingamangaraja hingga Jalan Trunojoyo ada banyak bangunan yang memiliki andil dalam sejarah Kota Jakarta, bahkan Indonesia. Nah, sekarang kita lanjut menuju ke kawasan yang menjadi pusat keramaian. Yuk kita mulai!

Jejak Tempo Dulu

Meski kini tak lagi menjadi tempat untuk mencetak uang, gedung Perum Peruri yang ada di Kebayoran Baru ini hanya menjadi kantor administrasi dan pemasaran saja. Oya, Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia atau Perum Peruri adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugasi untuk mencetak uang rupiah (baik uang kertas maupun uang logam). Selain uang kertas dan uang logam, Perum Peruri juga mencetak paspor, pita cukai, meterai, dan sertifikat tanah. Perusahaan ini didirikan pada tanggal 15 September 1971, dan merupakan gabungan dari dua Perusahaan Negara (PN) yaitu PN. Pertjetakan Kebajoran atau PN. PERKEBA, dan PN. Artha Yasa yang berada di Jalan Dharmawangsa, yang sekarang jadi Hotel Dharmawangsa. Perkeba adalah perusahaan pencetak uang kertas, sedangkan Artayasa adalah perusahaan pencetak uang logam.

Dulu sebelum rupiah dicetak Perum Peruri, tugas pencetakan mata uang dilakukan oleh Perum Percetakan Negara Republik Indonesia atau Perum PNRI yang berada di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Pada tahun 1983, Perum Peruri membangun gedung pencetakan uang di Karawang, Jawa Barat seluas 202 hektar. Sejak itu pencetakan uang (dan juga dokumen rahasia lainnya) hanya dilakukan di Karawang. Selain di Karawang, Perum Peruri juga ada di Medan (Divisi Barat) dan Surabaya (Divisi Timur). Kedua divisi ini berfungsi sebagai percetakan dokumen rahasia untuk Indonesia wilayah Barat dan Timur.

Meski ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melakukan pencetakan rupiah, Perum Peruri juga mencetak mata uang, prangko dan dokumen rahasia negara lain. Beberapa diantaranya, Malaysia, Bangladesh, Sri Lanka, Nepal, Thailand, Filipina, Guinea, Somalia, Pakistan dan Argentina. Perum Peruri dianggap memiliki standar yang sesuai dengan kebutuhan mata uang dunia, sehingga banyak negara yang menaruh kepercayaan untuk mencetak mata uang maupun dokumen rahasia negaranya. Bahkan baru-baru ini pada tahun 2019, Perum Peruri berhasil memenangi tender untuk mencetak mata uang Peru. Untuk bahan baku uang kertas dan uang logam, Perum Peruri mengambilnya dari dalam negeri ataupun luar negeri. Salah satunya adalah PT Kertas Padalarang di Bandung Barat, yang diakusisi pada 2009 setelah berhenti beroperasi sejak akhir tahun 2008.

Di sekitar Blok M ini juga kita bisa dengan mudah menemukan rumah-rumah dengan gaya arsitektur yang unik. Kebanyakan orang menyebutnya dengan Jengki (baca: yengki), namun sebenarnya ini disebut dengan gaya Yankee. Nama jengki atau yankee ini sebenarnya diambil dari istilah yang berkembang di Amerika Serikat untuk menyebut orang Amerika itu sendiri. Kalau dari usul namanya berasal dari kata Jan atau Yan, yang merupakan nama umum orang Belanda. Dulu orang Belanda adalah orang yang pertama kali tinggal di New York, atau sering disebut Amerika bagian utara. Lalu orang-orang di bagian selatan memberikan julukan ke orang Amerika Utara sebagai Jan atau Yan, dan Kee adalah nama pelengkap jadi Yankee. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa istilah ini berasal dari sebutan untuk tentara Amerika Serikat yang mendukung pemerintah Vietnam Selatan pada tahun 1960-an. Mereka membawa serta budaya serta penampilan baru, sehingga pada waktu itu banyak produk model baru yang disebut dengan embel-embel jengki.

Kembali ke rumah gaya jengki di Blok M. Gaya jengki adalah sebuah gaya arsitektur modernis pascaperang yang berkembang di Indonesia setelah kemerdekaan, atau bisa dibilang ini adalah ekspresi semangat kebebasan orang Indonesia. Gaya ini pertama kali disebut muncul dengan perkembangan kota satelit baru, Kebayoran Baru, pada 1955. Salah satunya adalah rumah-rumah yang dibangun untuk karyawan perusahaan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) di Kebayoran Baru. Ketika itu, rumah-rumah kelas menengah di sana didesain dengan gaya jengki berbentuk kotak atau persegi panjang. Gaya ini terbilang laku di Indonesia antara akhir tahun 1950an hingga awal 1960an. Gaya jengki menggambarkan pengaruh baru Amerika Serikat pada aristektur Indonesia setelah ratusan tahun dijajah kolonial Belanda. Gaya ini dapat dianggap sebagai interpretasi tropis dari gaya rumah-rumah suburbia modernis Amerika pascaperang. Gaya arsitektur jengki juga disebut merupakan keinginan dari Presiden Soekarno.

Rumah model jengki di Perumahan karyawan BPM atau Bataafsche Petroleum Maatschappij. source: BBC.com
Rumah model jengki yang muncul dalam film “Tiga Dara” pada 1956. source: BBC.com

Bentuk rumah jengki dapat dilihat dari bagian dindingnya. Pada bagian dindingnya dibuat miring yang membentuk geometri segi lima terhadap tampak bangunan. Dinding miring ini tidak berkaitan langsung terhadap kekuatan, tapi lebih kepada estetika. Bagian atapnya berbentuk pelana dan perisai. Biasanya, kemiringan atap yang terbentuk tidak kurang dari 35 derajat. Atap ala jengki juga dilengkapi lubang angin yang berfungsi sebagai sistem ventilasi. Beranda rumah bergaya jengki biasanya tampak cukup luas. Selain itu juga memiliki serambi beratap di pintu masuk rumah dan atapnya ditopang oleh sejumlah tiang. Bangunan gaya jengki kebanyakan dibangun oleh perusahaan konstruksi atau mahasiswa arsitektur Institut Teknologi Bandung (kala itu departemen arsitektur di ITB dibuka pada 1951, masa di mana arsitek berkebangsaan Belanda meninggalkan Indonesia yang sudah merdeka). Sebagian besar pencetusnya adalah lulusan STM yang pernah menjadi aannemer atau ahli bangunan di perusahaan Belanda.

Di antara hunian di kawasan ini, terdapat satu rumah yang menjadi saksi peristiwa G 30S pada tahun 1965. Rumah ini adalah kediaman salah satu Pahlawan Revolusi, Mayor Jenderal (Anumerta) D.I. Panjaitan. Lokasinya di Jalan Hasanuddin No. 53, tak jauh dari Terminal Bus Blok M. Disebutkan juga bahwa rumah D.I. Panjaitan ini adalah rumah kediaman Jenderal TNI AD yang menjadi target penculikan peristiwa G 30S yang berada di luar kawasan Menteng. Rumah berlantai dua ini dibangun sekitar tahun 1956 pada saat pengembangan kota satelit Kebayoran Baru. Pada tahun 1980-an, sutradara Arifin C. Noer menggunakan rumah ini sebagai salah satu lokasi syuting film “Pengkhianatan G30S/PKI” untuk adegan penculikan tokoh D.I. Panjaitan. Saat ini, rumah ini masih didiami oleh keluarga D.I. Panjaitan.

Pusat Tongkrongan Anak Muda

Kini sampailah kita di pusat keramaian Blok M. Di tahun 1980-an, kawasan Blok M identik dengan tempat gaul anak muda Jakarta. Sebelum Blok M, kawasan Cikini sempat menjadi pusat nongkrong anak muda di tahun 1950-an sampai 1960-an. Blok M tak lagi hanya permukiman, tapi juga pertokoan dan bisnis. Bahkan konsep rumah toko (ruko) muncul kali pertama di Blok M pada 1970-an. Blok M lalu berkembang menjadi kawasan hiburan, dengan berbagai tempat makan, pusat perbelanjaan, dan tempat hiburan. Sehingga tak mengherankan jika kawasan ini selalu ramai tiap hari, baik siang atau malam.

Gelanggang Remaja Bulungan atau GOR Bulungan tempo dulu. source: BBC.com

Budaya pop Indonesia tahun 1980-an dan 1990-an beberapa kali memuat kawasan Blok M sebagai tempat gaul. Seperti novel Lupus dan Olga karya Hilman Hariwijaya. Selain itu film laris di era 1980-an, Catatan Si Boy juga turut mengangkat citra Blok M sebagai tempat nongkrong anak muda, karena lokasi syutingnya berada di Melawai. Blok M juga dekat SMA Negeri 70 dan SMA Negeri 6 (dua sekolah yang eksis kala itu), serta GOR Bulungan, sehingga membuat Blok M makin ramai dengan anak muda.

Terminal Blok M pada 1971. source: indozone.id
Terminal Blok M di 1995 dari Jalan Sultan Hasanudin. source: facebok.com

Kawasan Blok M mulai dikenal usai penyelenggaraan Asian Games pertama di Indonesia pada tahun 1962. Blok M menjadi perpanjangan jalan kawasan Senayan dan dilalui oleh mereka yang ingin menyaksikan langsung pesta olahraga terbesar di Asia tersebut. Kawasan Blok M kemudian dikembangkan menjadi salah satu kawasan bisnis Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin. Untuk mendukung kawasan ini, didirikanlah Terminal Bus Blok M dan Pasar Blok M pada pertengahan Juni 1968. Terminal bus ini dibangun di dalam kawasan seluas lebih dari 2,2 hektar. Terminal bus yang menghabiskan biaya Rp 7,5 juta itu dibangun untuk mengurangi beban arus lalu lintas bus yang sebelumnya terpusat di Blok A. Pada masa Gubernur Wiyogo Atmodarminto di tahun 1992, terminal bus dikoneksikan dengan pusat perbelanjaan di bawahnya. Terminal bus kemudian dibuat enam jalur, sesuai rute (kini salah satunya menjadi busway). Armada bus yang reguler beroperasi di terminal bus ini antara lain, Steady Safe, Mayasari Bhakti dan PPD, serta minibus seperti Metromini dan Kopaja.

Pasar Blok M di awal 1970. source: kapanlagi.com

Sedangkan Pasar Blok M sendiri menghabiskan biaya pembangunan Rp 80 juta. Pada tahun 1974, kawasan ini dipersiapkan untuk menyambut peserta konferensi Pacific Asia Travel Association (PATA). Pemerintah DKI Jakarta, melalui PD Pasar Jaya, menyiapkan lima tempat belanja, yaitu Blok M, Proyek Senen, Pasar Cikini, Pasar Glodok, dan Pasar Baru. Bahkan disiapkan juga tempat penukaran uang (money changer) dan pemandu yang bisa berbahasa Inggris untuk memperlancar transaksi jual beli di Pasar Blok M. Pasar Blok M juga sempat menjadi lokasi syuting film Ali Topan Anak Jalanan di tahun 1977. Membuat Blok M menjadi dikenal orang sebagai tempat nongkrong. Namun kini Pasar Blok M sudah berubah dirobohkan dan menjadi bagian dari Blok M Square.

Pasaraya Blok M sekitar 1990-an. source: hitekno.com
Plaza Aldiron, sekarang Blok M Square. source: bataviatijger.wordpress.com

Di kawasan ini banyak terdapat pusat perbelanjaan, mulai dari Sarinah Jaya pada 27 Maret 1974 (yang menjadi cikal bakal Pasaraya Blok M), kemudian Aldiron Plaza yang dibuka pada Juli 1978, Melawai Plaza (dibuka tahun 1983), Blok M Mall, dan Blok M Plaza.

Untuk Aldiron Plaza sendiri sudah dirobohkan total pada tahun 2006 dan dibangun kembali menjadi Blok M Square berlantai 9 yang diresmikan pada tahun 2008. Aldiron Plaza ini adalah pusat perbelanjaan pertama di Indonesia dan diresmikan oleh Gubernur Tjokropranolo. Tempat ini menjadi tempat berkumpul anak muda antara tahun 1970-an akhir hingga 1990-an. Aldiron Plaza menjadi rujukan bagi pemburu barang mewah, karena di sini terdapat banyak toko-toko menjual barang-barang mahal seperti arloji, sportwear Nike dan perabotan mewah. Selain juga ada persewaan video Betamax di lantai 4 dan 5. Pusat perbelanjaan ini juga memiliki lift kapsul, salah satu yang pertama dengan Ratu Plaza.

Memasuki tahun 1980-an, Aldiron Plaza semakin diramaikan dengan club roller-skate Happy Day dan Lipstick Disco Skate. Salah satu radio di Jakarta yakni Prambros, bahkan menjadi salah satu yang membangkitkan semangat anak muda di kawasan Aldiron Plaza. Salah satunya lagu-lagu hits dan juga kegiatan komunitas breakdance. Beberapa lagu yang cukup terkenal antara lain “Lintas Melawai” karangan Hari Moekti dan “Jalan-Jalan Sore” karangan Guruh Soekarnoputera yang dilantunkan Denny Malik. Namun sayangnya, kejayaan pusat perbelanjaan ini kian menurun dan banyak fasilitas gedung yang tidak terawat. Akhirnya dirobohkan bersamaan dengan Bowling Centre dan PD Pasar Jaya Blok M, yang kemudian berubah menjadi Blok M Square.

Di dekat Blok M Square, kita bisa menemukan sebuah prasasti jejak kaki dari Gubernur Ali Sadikin. Tak banyak yang tahu tentang prasasti ini, karena letaknya yang tersembunyi dari kendaraan yang parkir. Jejak sepasang tapak kaki ini dibuat pada tahun 1977, yang menandai awal perbaikan lingkungan atau revitalisasi kawasan Blok M. Kenapa harus diperbaiki? Karena kawasan ini sudah semrawut dengan parkir kendaraan yang tidak teratur. Sehingga perlu dibuat sistem perparkiran yang baru untuk mendukung pusat perdagangan Blok M.

Taman Parkir Blok M di 1970-an. source: pinterest.com
Area Blok M di era 1980-an. source: jakartakita.com

Tadi sempat disinggung tetang pusat perbelanjaan yang berada di bawah Terminal Bus Blok M. Nama mall ini adalah Blok M Mall. Dibangun pada masa kepemimpinan Gubernur Wiyogo Atmodarminto berbarengan dengan proyek terminal bus. Proyek ini dibangun dengan biaya sekitar Rp70 miliar. Mall ini kemudian dibuka pada 3 Oktober1992 dengan luas lahan 3,5 hektar. Blok M Mall menyediakan ratusan kios dengan konsep one stop shopping. Kebanyakan para pedagang berjualan di dalam lorong sepanjang 500 meter yang menjadi penghubung terminal. Barang-barang dijual seperti baju, kaus, celana panjang, ikat pinggang, sepatu, hingga makanan tradisional maupun cepat saji. Di sini juga disediakan pusat kuliner yang berada di pelataran dekat jalur tangga terminal.

Pusat perbelanjaan ini terkoneksi dengan tangga ke terminal bus, di mana setiap tangga akan langsung terhubung dengan jalur bus tertentu. Pada tahun 2005 Bus Transjakarta mulai beroperasi di Terminal Bus Blok M. Terminal bus ini menjadi tujuan awal dan akhir dari rute Bus Transjakarta koridor I (Blok M-Kota), membuat Blok M Mall menjadi semakin ramai. Namun sayang, kejayaannya sebagai tempat nongkrong anak muda di tahun 1990-an dan 2000-an semakin sirna. Kini banyak kios yang gulung tikar, bahkan restoran serta department store juga ikut tutup.

Masih di kawasan yang sama, kita bisa masuk ke kawasan Little Tokyo. Awal mula nama kawasan ini muncul pada tahun 1990-an. Daerah sekitar Aldiron Plaza banyak ditinggali oleh para ekspatriat Jepang yang sedang berdinas atau bekerja di Jakarta. Mereka menghabiskan malam di kawasan ini untuk mencari hiburan, hingga akhirnya lokasi ini mendapatkan julukan “Little Tokyo”. Di sini kita bisa menjumpai berbagai restoran, supermarket, salon, karaoke, dan tempat pijat khas Jepang. Salah satu restoran yang sudah berdiri sejak tahun 1990-an adalah Izaka Taichan. Setiap tahunnya di Little Tokyo diadakan Festival Ennichisai yang menampilkan kebudayaan-kebudayaan Jepang.

Transformasi Menjadi Kekinian

Tak jauh dari kawasan yang pusat keramaian Blok M, terdapat satu taman yang merupakan salah satu taman terluas di Jakarta Selatan. Taman Martha Tiahahu, memiliki luas 20.960 meter persegi. Taman yang terletak disekitar Terminal Bus Blok M ini ternyata sudah ada sejak tahun 1948, atau menjadi bagian pengembangan dari kota taman Kebayoran Baru. Namun kini kondisinya terbengkalai, padahal taman ini bisa menjadi ruang publik yang menarik jika dikembangkan dengan benar. Kabar terakhir, taman ini sudah diambil alih oleh PD Pasar Jaya dan akan dijadikan taman buku. Semoga taman ini segera dibenahi agar tampak lebih menarik.

Akhirnya kita sampai di tujuan terakhir. Di sini terdapat dua lokasi yang akhir-akhir ini menjadi semakin ramai. Salah satunya adalah Blok M Plaza. Tempat ini menjadi salah satu pusat nongkrong anak muda di tahun 1990-an. Pusat perbelanjaan ini dibangun pada tanggal 15 September 1988 dengan pemancangan tiang pertama oleh Gubernur Wiyogo Atmodarminto. Blok M Plaza yang diresmikan oleh Ibu Tien Soeharto pada 30 Mei 1991 ini berdiri di lahan bekas New Garden Hall Theatre dengan luas 52.800 meter persegi. Sedikit informasi tentang New Garden Hall Theatre, bioskop ini dibangun pada Januari 1971 dan dibuka setahun kemudian dengan kapasitas 1.000 tempat duduk. Bangunannya dulu menempati lahan seluas 11.000 meter persegi. Penambahan “New” pada nama bioskop ini untuk membedakan dengan Garden Hall Theatre yang sudah lebih dulu ada di Cikini.

Bioskop New Garden Hall di 1970-an. source: pinterest.com
New Garden Hall Theater pada1984 sebelum dirobohkan untuk pembangunan Blok M Plaza. source: kaskus.co.id

Blok M Plaza mengambil “spotlight” dari Plaza Aldiron yang pamornya makin turun. Selain itu Blok M Plaza merupakan salah satu dari dua mall di Jakarta yang punya spiral corridor, di mana akses dari lantai LG sampai lantai 6 tidak memerlukan eskalator dan lift. Meski sempat sepi pengunjung pada awal 2000-an, mall ini kembali ramai pada tahun 2019 kembali ramai karena akses masuk Blok M Plaza bisa dilalui dari stasiun MRT Jakarta.

Di sisi lainnya, kita bisa menemukan M Bloc Space, sebuah ruang publik yang dibangun di bekas perumahan karyawan Perum Peruri di kawasan Blok M. Lahan seluas 7.000 meter persegi yang yang terletak persis di seberang Kejaksaan Agung RI ini sudah terbengkalai sejak 2005. Sebanyak 16 rumah bekas karyawan berdesain asli era 1950-an direnovasi sejak Mei 2019 untuk dimanfaatkan sebagai ruang niaga, baik untuk kuliner lokal, dan sisanya untuk produk selain makanan. Selain itu, ada pula bekas gudang percetakan seluas 900 meter persegi yang direnovasi menjadi dua ruangan. Pertama restoran seluas 450 meter persegi dan yang kedua menjadi ruang pertunjukan dengan luas yang sama. Ruang pertunjukan ini mampu menampung sekitar 350 orang berdiri. Bahkan akan ada pertunjukan yang akan digelar setiap hari. Proyek kerjasama antara Perum Peruri dan PT Ruang Milenial ini kemudian dibuka dan diresmikan pada 26 September 2019. Dua destinasi ini menjadi titik terakhir dari rute Blok M. Meski tak begitu jauh, ternyata banyak sekali ceritanya. Dari beberapa tempat ini, belum semuanya saya jelajahi ke dalam. Lain waktu akan saya coba kunjungi kembali. Baiklah, terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa lagi ya!