

Hari ini cukup cerah untuk menjelajahi salah satu kawasan elit di Jakarta, yaitu Menteng. Kawasan yang berada di Jakarta Pusat ini sudah lama dikenal sebagai kawasannya “orang kaya”. Bahkan sejak jaman kolonialisme Belanda. Penjelahan hari ini saya kembali bergabung dengan Jakarta Good Guide. Kami berkumpul di Taman Suropati sebagai titik awal perjalanan. Sudah siap untuk memulai perjalanan? Yuk kita jalan!
Asal Usul Kota Taman
Sebelum kita mulai berkeliling, ada baiknya kita mengenal asal-usul dari Menteng itu sendiri. Ada yang mengatakan jika daerah ini diberikan Pemerintah Hindia Belanda kepada orang Bugis bernama Daeng Menteng. Semasa hidupnya, Daeng Menteng pernah berjasa kepada Hindia Belanda dan kemudian diberikan hadiah berupa tanah di kawasan Menteng ini. Ada juga cerita yang mengatakan pada abad ke-17, daerah ini merupakan hutan yang ditumbuhi buah-buahan dan masih dihuni binatang buas. Di sini juga banyak tumbuh pohon buah Menteng (Baccaurea racemosa), sehingga banyak yang menyebutnya daerah Menteng.






Menteng pun mulai dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1810 sebagai daerah pengembangan kota Batavia. Kawasan ini kemudian dirancang dan dibangun sebagai sebuah tuinstad atau kota taman pada tahun 1910. Perancangnya adalah Pieter Adriaan Jacobus Moojen, seorang arsitek Belanda yang merupakan anggota tim pengembang yang dibentuk pemerintah kota Batavia. Rancangannya memiliki kemiripan dengan model kota taman dari Ebenezer Howard, seorang arsitek asal Inggris. Pada tahun 1912, rancangannya disetujui pemerintah dan dia pun mendirikan N.V. de Bouwploeg, real estat pertama di Hindia Belanda.
Di tahun yang sama, tanah yang ada di sekitar daerah Menteng dan Gondangdia dibeli oleh pemerintah Belanda dan dijadikan perumahan pegawai pemerintah Hindia Belanda. Sebab sejak tahun 1890 kawasan ini dimiliki oleh 3.562 pemilik tanah. Bahkan sebelum 1910, lahan seluas 73 hektar ini dihuni oleh ribuan petani dan dimiliki oleh seorang janda Belanda bernama J.V.D Bergh.
Kawasan Menteng dibangun agar terintegrasi dengan kawasan lainnya. Proyek ini dinamakan Nieuw Gondangdia dengan kawasan yang batas selatannya berada di Banjir Kanal Barat (selasai tahun 1919). Rancangan Moojen dimodifikasi oleh F.J. Kubatz pada tahun 1918 dengan mengubah tata jalan dan penambahan taman-taman. Dalam desain Moojen, Menteng dijadikan sebagai bagian dari pengembangan kawasan Gondangdia ke arah utara, sedangkan Kubatz merancang desain pengembangan kawasan ke arah selatan dan menambahan kolam (Situ Lembang) di timur Taman Bisschooplein (Taman Suropati).





Pembangunannya dimulai pada 1920 oleh N.V. Gondangdia dan mencapai bentuk yang tetap pada 1930an. Kawasan ini juga sering disebut dengan Menteng Buurt atau lingkungan Menteng. Saat daerah ini dibangun, banyak warga Betawi yang digusur dan dipindahkan ke daerah Karet, Tanah Abang. Menteng pun berubah menjadi kawasan permukiman elit di Batavia. Thomas Karsten, seorang pakar tata lingkungan pada masa itu, menilai bahwa Menteng memenuhi semua kebutuhan perumahan untuk kehidupan yang layak.
Bangunan rumah di Menteng saat itu dibangun dua tingkat demi memperluas bangunan tanpa perlu menambah lahan dan menerapkan unsur-unsur rumah tradisional Eropa, serta arsitekturnya dibuat mengikuti cita rasa lokal agar sesuai dengan iklim tropis. Rumah-rumah dibangun dengan tiang-tiang yang tinggi, jendela yang besar, taman yang luas, dan sistem ventilasi yang baik, sehingga nyaman ditempati walau tanpa penyejuk ruangan. Saluran air dan jalan-jalan dibangun, begitu juga berbagai bangunan penunjang, seperti Gedung N.V. de Bouwploeg (sekarang Mesjid Cut Mutiah), Gedung Bataviasche Kunstkring (sekarang kantor imigrasi), Nassaukerk (sekarang GPIB Paulus ), sekolah (Sekolah Dasar Theresia yang dibuka pada 1927) dan bioskop. Bioskop yang ada kala itu adalah Bioskop Menteng dibangun dalam gaya Indo-Eropa pada tahun 1950 (kini sudah berubah menjadi Plaza Menteng).
Sebagai kota taman, di kawasan ini banyak dijumpai taman-taman terbuka. Taman Suropati yang terletak di antara Jalan Imam Bonjol (Nassau Boulevard) dan Jalan Diponegoro (Oranje Boulevard), Taman Lawang yang terletak di Jalan Sumenep, Situ Lembang di Jalan Lembang, Taman Cut Mutiah di Jalan Taman Cut Mutiah, serta Stadion Menteng, yang kini telah beralih fungsi menjadi Taman Menteng.




Setelah kemerdekaan Indonesia, Menteng tetap menjadi wilayah elit di Jakarta. Banyak tokoh-tokoh penting dan konglomerat ternama tinggal di wilayah tersebut, termasuk tokoh proklamator Indonesia, serta kediaman duta besar negara-negara sahabat. Menteng juga menjadi tempat tinggal Presiden Amerika Serikat ke-44, Barack Obama ketika masih kanak-kanak. Pada tahun 1975, berdasarkan Keputusan Gubernur, area Menteng dijadikan sebagai kawasan warisan budaya dengan arsitekturnya yang khas dan berbeda dengan bangunan lain di Jakarta. Dalam perkembangannya, Menteng berkembang dengan munculnya nama kampung yang kecil, seperti Menteng Atas, Menteng Dalam, dan Menteng Pulo. Selain itu, Guntur juga dikembangkan sebagai Niew-Menteng. Wilayah kampung-kampung ini
Taman Hijau di Tengah Kota
Kalau tadi dijelaskan jika Menteng adalah kota taman, maka taman yang terbesar di kawasan ini jatuh pada Taman Suropati. Pada awalnya nama taman ini diambil dari nama wali kota Batavia pertama, G.J. Bisshop (1916–1920), sehingga namanya adalah Burgemeester Bisschopplein. Taman ini terletak di antara pertemuan tiga jalan utama, yaitu Van Heutsz Boulevard (Jalan Teuku Umar), Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro), dan Nassau Boulevard (Jalan Imam Bonjol). Pada tahun 1912, taman ini merupakan sebuah lapangan bundar. Lapangan ini dirancang oleh Moojen untuk menjadi pusat titik temu jalan-jalan utama. Namun rencana Moojen ini diubah pada tahun 1918. Pemerintah Batavia kemudian menugaskan F.J. Kubatz dan F.J.L Ghijsels untuk menyempurnakan lapangan itu menjadi sebuah taman, karena lapangan bundar itu tidak efektif untuk kelancaran lalu lintas. Pada mulanya taman ini berbentuk bukit, lalu dipangkas dan sebagain tanahnya dibuang ke Jalan Besuki. Kemudian sejak tahun 1920 lapangan itu mulai ditanami pepohonan dan bunga-bunga.






Setelah Indonesia merdeka, taman ini diberi nama Taman Suropati. Nama ini diambil salah satu pahlawan nasional asal Bali yang berjasa mengusir penjajah dari tanah air, yaitu Untung Suropati. Taman Suropati sering jadikan tempat berkumpul dan rapat terbuka di tahun 1965 saat masa Orde Lama. Di area taman ini terdapat enam Monumen ASEAN, yang dibuat oleh masing-masing seniman dari enam negara pendiri ASEAN. Awalnya peletakan monumen-monumen ini akan tersebar di Jakarta, namun kemudian diletakkan pada satu tempat untuk menjamin keamanannya. Tahun 2011, monumen-monumen ini menghiasi Taman Suropati. Apa saja monumen yang ada di taman ini? Monumen “Perdamaian, Harmonis, dan Bersatu” karya Lee Kian Seng, asal Malaysia, Monumen “Semangat ASEAN” karya Wee Beng Chong, asal Singapura, Monumen “Perdamaian” karya Sunaryo, asal Indonesia, Monumen “Keharmonisan” karya Awang HJ Latirf Aspar, asal Brunei Darussalam, dan Monumen “Kelahiran Kembali” karya Luis E. Yee Jr., asal Filipina.







Taman ini juga dilengkapi dengan air mancur, puluhan pohon mahoni, jogging track, serta kandang merpati. Salah satu yang paling menarik di taman ini adalah Taman Suropati Chamber, komunitas alat musik gesek, yang rutin menggelar latihan mingguan di Taman Suropati.





Tepat di seberang Taman Suropati, berdirilah Patung Pangeran Diponegoro. Patung ini menggantikan Patung Kartini yang sebelumnya berada di tempat ini, dan sekarang diletakkan di Taman Medan Merdeka atau di dalam kawasan Monumen Nasional. Patung berbahan perunggu ini menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro dengan tombak di tangan, yang tengah menunggang seekor kuda dengan dua kaki depannya terangkat ke atas. Patung senilai Rp10 miliar ini merupakan hibah dari Ciputra dan diresmikan oleh Gubernur Sutiyoso pada 6 Desember 2005. Menurut Ciputra, pembangunan patung ini merupakan ungkapan terima kasih untuk Kota Jakarta. Karena salah satu perusahaan Ciputra, yaitu PT Pembangunan Jaya sudah berkiprah di Jakarta sejak tahun 1961.


Karya pematung Moenir Pamoentjak ini memiliki tinggi 9 meter dan terdapat prasasti yang berisikan puisi karya penyair WS Rendra. Proses pembuatan patung dari rancangan hingga selesai membutuhkan waktu hampir satu tahun. Taman tempat patung ini berdiri kemudian disebut dengan Taman Patung Diponegoro. Di tengah taman terdapat patung dan kolam air mancur, serta jalur jalan kaki. Bentuk tamanya lebih memanjang ketimbang melebar.


Bicara tentang patung berkuda, ternyata memiliki cerita unik. Jika ada patung pahlawan yang menunggangi kuda dengan keempat kaki kuda tidak terangkat sama sekali, berarti pahlawan tersebut bukan meninggal karena peperangan. Bisa karena sakit atau usia tua. Namun jika patung berkuda dengan satu kaki kuda yang terangkat, maka pahlawan ini meninggal akibat luka saat perang dan tidak meninggal di medan perang. Sedangkan jika patung pahlawan berkuda dengan dua kaki kuda yang terangkat, ini menandakan bahwa pahlawan tersebut meninggal dunia di medan perang atau saat perang sedang berlangsung. Untuk patung yang ada di Menteng ini memang cukup tak lazim, mengingat Pangeran Diponegoro meninggal saat sedang diasingkan di Benteng Rotterdam, Makassar, pada 8 Januari 1855.
Bangunan Peninggalan Belanda
Ada dua bangunan yang cukup mencolok di dekat Patung Pangerang Diponegoro ini. Gedung Bappenas dan Gereja Paulus. Kita mulai dengan Gedung Bappenas, yang konon disebut sebagai bekas Loji Setan. Usut punya usut, ternyata dulu gedung ini merupakan bekas loji Freemasonry di Batavia. Awalnya gedung ini dibangun pada tahun 1880 dan kemudian pada tahun 1925 direnovasi oleh arsitek Ir. F.J.L Ghisel dari biro arsitek dan kontraktor Algemeen Ingenieurs en Architecten Bureau (AIA). Gedung ini lalu dirancang menjadi loji oleh Ir. N.E. Burkoven Jaspers pada 1834 dengan nama Adhuc Stat (Masih Ada atau Berdiri Hingga Kini). Keberadaan loji ini tak terlepas dari campur tangan salah satu anggota vrijmentselaarij yaitu Bisschop, walikota Batavia (1916-1920), yang namanya juga menjadi taman di depan gedung ini. Konon loji ini juga menjadi titik penting dalam perencanaan wilayah Menteng kala itu.


Bangunannya sendiri terdiri dari bangunan utama di bagian tengah dan diapit dua menara di kanan dan kiri. Saat menjadi loji, ada banyak simbol Freemasonry di sini, seperti jangka dan segitiga, serta bintang David. Tulisan semboyan Adhuc Stat dulu terpampang jelas di bagian depan, namun kemudian dihilangkan dan digantikan dengan tulisan Bapennas. Kegiatan di gedung ini tidak aktif selama penjajahan Jepang dan kembali aktif setelah Indonesia merdeka. Nama loji Ster in het Oosten atau Bintang Timur kemudian berganti menjadi Purwa Daksina karena adanya sentimen anti Belanda pada masa awal kemerdekaan.


Gedung Adhuc Stat (source: minews.com) dan pola catur di dalam gedung Bappenas (source: kumparan)
Freemasonry kemudian dilarang pada tahun 1962 dan gedung ini berubah menjadi Kantor Dewan Perencanaan Nasional dan kemudian pada tahun 1966 menjadi mahkamah militer yang mengadili tokoh-tokoh Gerakan 30 September (G30S). Pada tahun 1967, gedung ini menjadi kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) hingga sekarang. Meski sisa peninggalan Freemasonry sudah tak tampak di gedung ini, namun di sebuah ruang besar di dalam gedung ini terdapat lantai yang berpola catur. Pola ini juga menjadi simbol dari Freemasonry. Kenapa disebut loji setan, ya karena kegiatan yang dilakukan oleh anggota Freemasonry yang sangat tertutup dan misterius.
Tak jauh dari Gedung Bappenas, berdiri satu bangunan gereja yang juga menjadi bagian dari perencanaan kawasan Menteng yaitu GPIB Paulus. Dulu jemaat Protestan di Batavia memiliki tiga gereja, yaitu De Portugese of Buitenkerk (GPIB Sion), De Nieuwe of Haantjeskerk (GPIB Pniel), dan De Willemskerk (GPIB Immanuel). Lalu muncul keinginan untuk membangun gedung gereja di kawasan Menteng. Dipilihlah lokasi di tengah-tengah antara Oranje Boulevard dan Nassau Boulevard karena dinilai sangat strategis. Gedung gereja didesain oleh F.J.L. Ghijsels dari AIA Bureau bekerja sama dengan Firma Sitzen en Louzada. Pembangunan dimulai dengan peletakkan batu pertama pada 3 Januari 1936 yang dihadiri oleh para pejabat Pemerintah Hindia Belanda dan tokoh-tokoh Gereja.


Ciri khas gereja ini adalah menaranya yang langsing dengan atap piramida runcing serta sempat buah jam besar di bawahnya yang sampai sekarang masih berfungsi. Bidangnya bentuk bujur sangkar yang merupakan konsep empat penjuru mata angin. Menurut ketua komisi pembangunan Ds. de Bruijn menyimbolkan “Hendaklah orang memikirkan hal-hal yang di atas, dan bukan pertama-tama hal-hal yang di bumi saja.” Denah bangunan gereja ini bentuk salib yang keempat sisinya sama panjang. Di bagian atas terdapat jendela mosaik dari kaca berwarna. Jika matahari bersinar, maka jendala mozaik ini seakan-akan menyebarkan sinar berwarna-warni seperti sapaan Tuhan. Interior bangunannya berkonsep klasik dengan warna dinding putih dan material kayu.
Pada 6 Juni 1936, Ketua Majelis Gereja atau Kerkbestuur Ds. Lindeyer melakukan pentahbisan terhadap orgel, hadiah sukarela dari Perkumpulan Deo Juvanto (kini sudah diganti dengan yang baru pada tahun 1997), lalu Ds. de Vrede (sekretaris Kerkbestuur) naik mimbar untuk mentahbiskan mimbar, dan Ds. Keers mentahbiskan lonceng tembaga yang berukir tulisan Sursum Corda (Angkatlah Hatimu) yang sudah tergantung di atas menara. Lonceng ini dibeli khusus dari Belanda dan menjadi lonceng yang terbesar di Indonesia saat itu. Gereja baru ini kemudian diberi nama Nassaukerk.



Nassaukerk berganti nama menjadi Gereja Menteng pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942. Para pendeta Belanda dan bebetapa anggota jemaat pun ditawan di kamp konsentrasi pada tahun 1943. Lalu pada tahun 1943, kebaktian berbahasa Belanda pun berganti dengan kebaktian berbahasa Melayu. Pada tanggal 31 Oktober 1948 dibentuk Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat dan Nassaukerk memperoleh namanya yang baru yaitu Gereja Paulus. Beberapa peralatan ibadah di gereja ini masih tersimpan dengan baik dan ada yang masih digunakan sampai sekarang. Seperti kaki tempat wadah baptisan yang dibuat tahun 1741 dan cawan perjamuan yang terbuat dari perak, hadiah dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Joannes Camphuijs. Sayangnya cawan ini raib dicuri pada tahun 2013.
Masih di kawasan yang sama, berdiri satu bangunan yang sangat bersejarah bagi kemerdekaan Indonesia, yaitu Museum Perumusan Naskah Proklamasi atau Munasprok. Gedung yang berada di Jalan Imam Bonjol No. 1 ini pertama kali didirikan pada tahun 1920 dengan gaya arsitektur Eropa. Dulunya dikelola oleh perusahaan asuransi PT Asuransi Jiwasraya dan selanjutnya diambil alih oleh British Consul General selama Perang Pasifik hingga kemudian diamboil alih oleh Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi tempat kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dengan Angkatan Darat. Saat menjadi kediaman Maeda, terjadilah peristiwa yang sangat berarti bagi kemerdekaan Indonesia. Di sini Soekarno-Hatta merumuskan naskah proklamasi setelah peristiwa Rengasdengklok, di mana para pemuda menculik Soekarno-Hatta untuk mempercepat proklamasi.


Setelah peristiwa Rengasdengklok, mereka dijemput untuk kembali ke Jakarta dan menetap di rumah Laksamana Maeda. Perumusan naskah proklamasi sendiri dilakukan di ruang makan pada jam 3 subuh dengan melibatkan melibatkan Soekarno-Hatta dan Ahmad Soebardjo serta disaksikan oleh Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah. Teks proklamasi kemudian diketik oleh Sayuti Melik ditemani dengan B.M. Diah yang ikut mengedit naskah aslinya. Di piano yang berada di bawah tangga, Soekarno-Hatta menandatangani naskah proklamasi dan Soekarno memutuskan untuk membaca naskah proklamasi di halaman depan rumahnya.


Setelah kekalahan Jepang, gedung ini menjadi markas Tentara Inggris dan kemudian menjadi kediaman Duta Besar Inggris dari tahun 1961 sampai dengan tahun 1981. Lalu pada tahun 1982, gedung ini sempat menjadi kantor Perpustakaan Nasional dan pada 24 November 1992 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Nugroho Notosusanto menjadikan gedung ini sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Sebagian besar furnitur yang berada di dalamnya merupakan replika, karena pada tahun 1945 seisi rumah dijarah, termasuk bukti sejarahnya. Meski demikian, tata letaknya tetap dipertahankan seperti aslinya. Satu hal yang unik adalah bungker yang berada di halaman belakang museum. Dulunya digunakan oleh Laksamana Maeda untuk menyimpan barang-barang berharga miliknya dan juga milik negara.
Antara Indonesia dan Amerika Serikat
Daerah Menteng juga menjadi tempat tinggal beberada duta besar negara sahabat, salah satunya yang paling menonjol adalah Kediaman Duta Besar Amerika Serikat. Rumah yang berdiri di dekat Taman Suropati ini dirancang oleh arsitek J.F.L. Blankenberg pada tahun 1926 dan mulai dibangun tahun 1928. Awalnya rumah ini dibangun untuk kediaman direksi firma Inggris Wellenstein Krausse and Co. Perusahaan ekspor dan perkebunan teh di Jawa Barat. Pada tahun 1935 digunakan sebagai kediaman General Manager Stanvac dan mulai tahun 1956 menjadi milik kedutaan Amerika Serikat. Meski tak bisa melihat bentuk bangunannya, namun rumah ini memiliki ciri khas Art Deco dan bagian bawah tembok bangunan dibuat dari batu kali, yang juga menjadi ciri khas rumah-rumah di Menteng.


Suasana bangunan kediaman Duta Besar Amerika Serikat (source: encyclopedia.jakarta-tourism.go.id dan gracemelia.com)
Bicara tentang Amerika Serikat, di Jalan Besuki berdiri sebuah sekolah dasar yang dulunya menjadi tempat bersekolah Barrack Obama, Presiden Amerika Serikat ke-44 antara tahun 1967-1971. Gedung Sekolah Dasar Negeri Menteng 01 yang juga dikenal sebagai SD Besuki ini masih mempertahankan bentuk aslinya sejak dibangun pada tahun 1934. Tidak hanya bangunan sekolah, tapi juga peralatan di dalam sekolah (seperti papan tulis) juga dipertahankan sejak dulu. Sekolah ini didirikan oleh Carpentier Alting Stichting Nassau School (CAS) untuk anak-anak Belanda dan bangsawan Indonesia. Setelah kemerdekaan, sekitar tahun 1946 hingga 1947, nam sekolah berubah menjadi SD Besuki. Pemerintah Indonesia kemudian mengambil alih administrasi sekolah pada tahun 1962 dan kemudian dijalankan oleh Yayasan Raden Saleh. Sejak tahun 1990-an, sudah tidak ada warga asing yang bersekolah di SD ini. Pada awal berdiri, gedung sekolah ini bercat putih, namun kini bercat hijau. Salah satu ciri khas bangunan Belanda yang masih tampak adalah menara cerobong di atap gedung sekolah.






Nah di halaman sekolah ini, berdiri Patung Barack Obama atau Patung Barry Kecil. Patung ini menggambarkan sosok Barrack Soetoro (nama kecilnya dulu) saat berusia 10 tahun yang mengenakan celana pendek dan kaus, serta memegang kupu-kupu di tangan kirinya sebagai simbol harapan dan inspirasi bagi anak-anak Indonesia. Patung ini terbuat dari perunggu dengan ketinggian 2 meter dan dirancang oleh seniman Leo Angelo serta dipahat oleh pematung Edi Chaniago. Patung ini diprakarsai oleh dua teman kecil Obama, Ron Mullers dan Dalton Tanonaka, serta yayasan Friends of Obama. Biaya pembuatan patung ini mencapai 10.000 dolar Amerika dan diresmikan pada 10 Desember 2009, bertepatan dengan penganugerahan Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia.



Mulanya patung ini ditempatkan di Taman Menteng sebelum akhirnya dipindahkan ke SD Besuki karena adanya protes dari masyarakat bahwa Barrack Obama bukan tokoh nasional. Pada tahun 2017, Obama sempat mengunjungi patung tersebut. Di dasar patung tertuliskan kata-kata kenangan dari Obama bagi anak-anak Indonesia. “The future belongs to those who believe in the power of their dreams”.
Taman di Kota Taman
Seperti yang disebutkan tadi, Menteng dibangun menjadi sebuah kota taman. Maka tak heran ada banyak taman yang bisa kita temui di kawasan ini. Salah satunya adalah Taman Menteng, namun sebelum menuju taman itu kita akan melalui sebuah taman yang ternyata lebih tua dari Taman Menteng. Taman Kodok merupakan taman pertama saat Taman Menteng masih menjadi stadion markas klub sepakbola Persija. Nama kodok sendiri diambil dari ornamen kodok yang banyak terdpat di dalam taman. Taman ini mulanya dikelola oleh warga perumahan, namun sejak tahun 2012 Taman Kodok dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Taman ini lalu direnovasi dengan desain modern dan dihiasi dengan atraksi air mancur menari. Menurut informasi, atraksi air mancur menari ini dipertontonkan tiga kali dalam sehari, kecuali hari Minggu.



Nah, barulah kita masuk ke Taman Menteng. Dulunya tempat ini digunakan sebagai tempat berolahraga orang-orang Belanda dan kemudian didirikan stadion pada tahun 1921 dengan nama Voetbalbond Indische Omstreken Sport (Viosveld). Stadion ini dirancang oleh arsitek Belanda, F.J. Kubatz dan P.A.J. Moojen. Stadion berkapasitas 10.000 penonton ini kemudian sebagai tempat bertanding dan berlatih bagi Persija mulai tahun 1961. Sebelum menempati Stadion Menteng, Persija menggunakan Stadion IKADA yang sekarang dikenal sebagai Monumen Nasional (Monas). Seiring adanya program pembangunan Monas pada tahun 1958, stadion Persija dipindahkan ke Stadion Menteng yang diserahkan secara langsung oleh Presiden Soekarno, pada tahun 1960. Pada 1975, Surat Keputusan Gubernur Jakarta Tahun 1975 menetapkan stadion ini sebagai salah satu kawasan cagar budaya yang harus dilindungi.


Stadio VIOS (source: wikipedia.org) dan markas PERSIJA saat masih aktif (source: persija.id)
Banyak legenda pemain sepak bola Indonesia yang lahir dari stadion ini, seperti Djamiat Kaldar, Abdul Kadir, Iswadi Idris, Anjas Asmara, atau Ronny Pattinasarani. Namun Stadion Menteng atau yang dikenal juga dengan Stadion VIOS ini kemudian dialihfungsikan sebagai sarana umum. Rencana ini muncul saat kepemimpinan Gubernur Sutiyoso pada tahun 2004. Lalu dibukalah sayembara untuk desain ruang terbuka publik, yang kemudian terpilihlah Soebchardi Rahim dengan tema desain “Dual Memory” sebagai pemenangnya. Pada 26 Juli 2006, bangunan stadion Menteng ini dirobohkan dengan menggunakan alat berat. Pembongkaran ini mendapat kecaman dari banyak pihak, terutama dari Persija dan 30 klub sepak bola, dan Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu Adhyaksa Dault. Persija lalu resmi pindah stadion ke Lebak Bulus.










Taman Menteng kemudian diresmikan pada 28 April 2007. Taman yang berdiri di atas lahan seluas 30 hektar ini memiliki koleksi 30 spesies tanaman yang berbeda dan 44 sumur resapan. Taman Menteng juga memiliki beragam fasilitas pendukung seperti taman bermain untuk anak-anak, lapangan futsal dan basket, dan lahan parkir tingkat. Salah satu yang menjadi ciri khas taman ini adalah dua bangunan rumah kaca yang digunakan sebagai tempat pagelaran seni. Konon bangunan ini dulunya akan digunakan sebagai tempat pembibitan tanaman. Namun entah kenapa bangunan rumah kaca ini kemudian dialihfungsikan sebagai tempat pameran kesenian.









Taman ini sekaligus menjadi pemberhentian terakhir kita hari ini. Meski rutenya tak panjang, ternyata kita menghabiskan banyak waktu untuk mengunjungi masing-masing lokasi. Meski begitu, Menteng masih menyimpan banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi. Terima kasih sudah membaca, sampai bertemu lagi di perjalanan berikutnya.