

Perjalanan mengelilingi Pecinan Glodok masih belum usai. Kalau bagian pertama kita sampai di Petak Sembilan, kini kita memasuki kawasan yang paling legendaris di Glodok, yaitu Wihara Dharma Bakti. Bangunan yang juga dikenal dengan Kelenteng Kim Tek Ie atau Jin De Yuan ini merupakan salah satu kelenteng tertua di Jakarta. Sebelum Perang Dunia II, kelenteng ini juga merupakan salah satu dari empat kelenteng besar yang berada di bawah pengelolaan Kong Koan atau Dewan Tionghoa, selain Kelenteng Kuan Im Tong (Goenoeng Sari), Kelenteng Toa Peh Kong (Ancol), dan Kelenteng Hian Thian Shang Te Bio di Tanah Tandjoeng. Dibangun pada tahun 1650 oleh Letnan Tionghoa bernama Kwee Hoen di sebelah barat daya kota dan dinamakan Kwan lm Teng atau Guo Xun Guan untuk untuk menghormati Dewi Guan Yin. Sebelum menjadi kelenteng, bangunan ini adalah rumah sang kapitan. Kata Kwan Im Teng sendiri kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kelenteng.







Kelenteng dan Komunitas Tionghoa
Kelenteng ini pernah dirusak dan dibakar pada Tragedi Pembantaian Angke pada 1740. Kelenteng dipugar kembali pada tahun 1755 oleh Kapten Oie Tjhie dan diberi nama Kim Tek Ie atau Jin De Yuan, yang artinya Kelenteng Nasib Baik atau Kelenteng Kebajikan Emas. Ciri khas dari kelenteng ini adalah di sisi kanan dan kirinya dihiasi oleh sepasang naga yang sedang merebut sebutir mutiara. Keseluruhan kelenteng dicat dengan warna merah dan kuning. Kelenteng ini telah direstorasi setidaknya sebanyak dua kali yakni pada tahun 1846 dan 1890. Lalu di bagian depan bangunan ada relief yang menggambarkan burung phoenix serta naga yang menyimbolkan permasuri dan kaisar. Di halaman depan dari kuil utama dihiasi dengan patung Bao Gu Shi atau patung singa yang dibuat di Provinsi Kwangtung di Tiongkok Selatan pada tahun 1812. Lalu ada juga jin lu atau alat pembakar uang serta nekara ukuran besar yang berisi pasir untuk menancapkan hio yang telah dibakar.

















Di tahun 1965 pada saat rezim Soeharto, banyak tempat umum yang dilarang menggunakan nama Tionghoa. Hal ini yang kemudian Dewan Wihara Indonesia atau DEWI, mengubah nama Kelenteng Kim Tek Ie menjadi Wihara Dharma Bhakti. Pada 2 Maret 2015, sempat terjadi kebakaran yang diduga berasal dari api lilin. Bangunan utama kelenteng dan beberapa patung musnah terbakar, namun patung Dewi Kwan Im yang merupakan patung inti kelenteng berhasil diselamatkan. Beruntung saya pernah melihat langsung kelenteng ini sebelum akhirnya terbakar. Saat ini kelenteng tengah dipugar dan seluruh kegiatan peribadatan dipindahkan ke bangunan baru yang ada di depannya. Kelenteng Kim Tek Ie sendiri adalah kelenteng yang bercorak Buddhis-Taois. Hal ini ditunjukkan dengan dewa-dewa dari kedua kepercayaan yang dipuja di kelenteng ini. Bahkan menurut informasi, siapa saja boleh berdoa di kelenteng ini, apapun itu agamanya. Luas area kelenteng ini sekitar 1.200 meter persegi, dengan pintu gerbang utama berada di sebelah selatan.
























Di sini ada beberapa bangunan kuil kecil yaitu Han Tan Kong (untuk pemujaan Dewa Dagang), Hui Ze Miao (kelenteng untuk leluhur Hakka), Di Cang Wang Miao atau Tee Cong Ong (kelenteng yang dipersembahkan kepada dewa Raja Neraka dan tempat untuk mendoakan arwah keluarga yang sudah meninggal) yang dibangun tahun 1824 dan Xuan Tan Gong atau Hui Tek Tjun Ong (yang dibangun pada tahun 1830 untuk persembahan dewa rezeki) yang terletak di bagian paling kiri Wihara Dharma Bakti. Kuil ini biasanya ramai dikunjungi pelajar, juga mahasiswa untuk mengetahui peruntungannya.

























Oya, di sini kita juga bisa mencoba peruntungan kita dengan menggunakan metode ramalan kuno khas budaya Tionghoa. Namanya adalah ciamsi. Nah, ciam sendiri artinya adalah batang bambu yang digunakan untuk meramal. Sedangkan kiu ciam adalah ‘memohon ciam’ dan ciamsi adalah kertas hasil kiu ciam yang isinya berupa syair-syair. Ciamsi menggunakan batang bambu yang diletakkan pada wadah gelas yang terbuat dari bambu. Pada batang bambu diberi nomor peruntungan yang berpeluang menjadi “ramalan nasib” selama setahun ke depan. Jumlah batang bambu bisa 60 atau 100. Caranya kocok batang bambu sampai terlontar satu batang bambu yang bertuliskan nomor. Jangan lupa untuk menyebutkan nama, tanggal lahir, alamat tinggal dan permintaan yang diinginkan saat mengocok ciamsi.
Setelah itu ambil dua bilah kayu berbentuk setengah bulan dan berwarna merah yang disebut siao poe atau poapoe. Kemudian lempar kedua bilah kayu tersebut sambil menanyakan kembali, apakah benar nomor itu adalah jawaban dari permohonan atau permintaan kita. Siao poe ini mirip dengan konsep Yinyang. Kalau kedua tertelungkup, berarti tidak disetujui. Jika keduanya terlentang, maka jawabannya bisa ya atau tidak. Sedangkan jika satu tertelungkung dan satu terlentang maka artinya disetujui. Bahkan jika salah satu atau dua bilah kayu ada yang berdiri, maka akan ada hal yang mengejutkan. Kita hanya bisa maksimal melempar siao poe sebanyak tiga kali. Jika tiga kali hasilnya masih tertelungkup, kita tidak boleh melempar siao poe sampai beberapa lama waktunya. Kembai ke ciamsi, jika kita sudah yakin dengan hasil siao poe, kita bisa mengambil kertas ciamsi berwarna kuning sesuai nomor. Kertas ini berisikan syair, biasanya ditulis dalam tulisan Mandarin, namun biasanya juga ada terjemahan Bahasa Indonesianya. Jika kita mendapat ciamsi yang baik, maka kertas ciamsi bisa dibawa pulang. Kalau kita dapat ciamsi buruk, kita harus segera bersembahyang mohon perlindungan dan membuang kertas ciamsi. Kita juga bisa melepaskan burung pipit dengan jumlah yang sama dengan usia kita untuk membuang sial dari ciamsi yang buruk. Atau kita bisa melepaskan sepasang kura-kura atau sepasang ikan bandeng.


Baca: Riwayat Pecinan Glodok, Part 1
Kebiasaan Orang Tionghoa
Tak jauh dari kelenteng ini, tepat di depan Jalan Kemenangan VII terdapat rumah Dewa Bumi atau Altar Pak Kung. Altar ini merupakan bangunan yang merepresentasikan Dewa Bumi bagi masyarakat Tionghoa. Dewa Bumi sendiri memiliki banyak nama, seperti Hok Tek Ceng Sin dalam dialek Hokkian, atau Tu Di Gong, yang secara harfiah merujuk ke sosok kakek tua. Kalau di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Pak Kung. Sosok ini digambarkan dengan sesosok kakek tua berjenggot putih panjang yang mengenakan topi dan jubah merah atau kuning, membawa tongkat kayu di tangan kanannya dan batang logam emas di tangan kirinya. Dewa ini sering dipuja sebagai dewa kekayaan dan rezeki. Banyak pedagang atau pebisnis yang bersembahyang sebelum pergi melakukan aktivitas kerjanya atau perjalanan bisnisnya agar pekerjaannya dan perjalanannya diberkati.





Jika bicara tentang Pecinan, tentunya kita akan banyak melihat bangunan khas etnis Tionghoa. Baik bangunan lama maupun bangunan baru. Meski beda zaman, bangunan-bangunan ini memiliki ciri khas yang sama. Beberapa di antaranya adalah konsep rumah toko atau ruko. Rumah ini sering ditemui pada tempat tinggal pedagang Tionghoa. Ruko dikenal dengan nama Teng-a-kha di Fujian oleh orang Hokkien. Ruko memadukan tempat bisnis di lantai bawah dan tempat tinggal di lantai atas. Satu deretan ruko bisa terdiri dari belasan unit yang digandeng menjadi satu. Selain itu, ciri khas rumah tinggal masyarakat Tionghoa biasanya berupa blok rumah yang dibuat sesuai dengan jumlah keturunannya. Kadang kita bisa menemukan satu rumah besar yang bisa ditinggali beberapa keluarga. Namun karena sekarang lahannya sempit, rumah tak lagi meluas namun justru menjadi bertingkat ke atas. Tak jarang bisa kita temui juga rumah kecil, namun tinggi ke atas. Mengapa tinggal satu rumah?, ada kepercayaan agar “rezeki” keluarga tidak pergi dari lingkungan tempat tinggalnya. Demikian pula dengan rumah yang diberi pagar tinggi, berteralis besi, maupun seperti kerangkeng. Meski banyak yang menganggap kebiasaan ini terjadi karena trauma kejadian yang pernah menimpa etnis Tionghoa di masa lalu, namun ada kepercayaan yang mengatakan bahwa pagar tinggi dimaksudkan agar rezeki yang masuk, tidak bisa keluar lagi. Selain itu juga berfungsi sebagai “perlindungan” dari hal-hal yang buruk.



Selain itu yang menjadi ciri khas lainnya adalah penempatan cermin di atas pintu rumah. Nama cermin ini adalah cermin bagua. Fungsinya dalam ilmu feng shui adalah sebagai perlindungan dari energi negatif maupun keburuntugan bagi yang memasangnya. Cermin dengan bentuk oktagon ini memang memiliki dua fungsi, ini bisa dilihat dari bentuk cerminnya. Cembung untuk memantulkan energi negatif dan cekung untuk mengumpulkan energi positif.


Bentuk atap rumah juga bisa menandakan strata sosial dari masyarakat Tionghoa. Untuk di Indonesia jenis atap yang sering digunakan adalah jenis atap pelana dengan ujung yang melengkung ke atas dan ditopang oleh dinding pada tepinya. Jenis atap ini disebut dengan model Ngang Shan. Perbedaan strata sosialnya bisa dilihat dari bentuk bubungan atap. Jika bentuknya lancip seperti ekor burung walet (Yanwei Xing), yang melengkung ke atas dan ujungnya terbelah dua seperti ekor walet maka penghuninya adalah orang yang memiliki jabatan tinggi, sedangkan jika penghuninya adalah rakyat biasa, bahkan orang kaya sekalipun hanya diperbolehkan menggunakan atap bergaya atap pelana dan tidak boleh memakai sepasang singa batu di depan rumahnya.
Masuknya Para Missionaris
Masih di area Pecinan Glodok atau tepatnya di Jalan Kemenangan (dulunya bernama Toosebiostraat), terdapat bangunan gereja yang sangat unik. Gereja Katolik Santa Maria de Fatima atau Gereja Toasebio merupakan salah satu gereja tertua di Jakarta. Awalnya bangunan ini dibangun pada awal abad ke-19 oleh seorang Kapitan Tionghoa bermarga Tjioe yang berpangkat luitenant der Chineezen. Gaya bangunannya sendiri khas Fukien atau Tiongkok Selatan. Balok-balok kayunya sendiri didatangkan dari Tiongkok yang disambung hanya dengan pasak kayu. Bangunan ini terdiri dari satu bangunan utama beratap ekor walet, dua bangunan sayap, dan dua patung singa batu atau Bao Gu Shi di halaman depan. Patung singa sering dianggap sebagai lambang kemegahan bangsawan Tionghoa. Di antara bangunan utama dengan bangunan kedua terdapat ruang terbuka untuk tempat berkumpul keluarga atau tempat sembahyang bersama. Setelah dibeli oleh pihak Gereja, ruang terbuka itu ditutup dan dijadikan ruang gereja. Sementara tempat sembahyang keluarga dijadikan altar gereja dan bekas tempat penghormatan leluhur milik keluarga Tjioe dijadikan tabernakel gereja.








Beberapa arsitektur khas bangunan gereja ini, antara lain pelisir atapnya tampak tiga kombinasi warna, yaitu merah, hijau daun, dan kuning emas. Pada pelisir atap itu juga ada hiasan berupa bunga dan buah-buahan serta tulisan dalam huruf Tionghoa. Hiasan bunga dan buah-buahan bermakna kedamaian dan kesejahteraan. Sedangkan warna merah yang dominan berarti kegembiraan. Pada bagian pelisir atap bangunan utama (bagian depan) terdapat tulisan dalam huruf Tionghoa (dengan versi Kanton) Hok Shau Kang Ning, yang artinya rezeki, umur panjang, kesehatan, dan ketentraman, atau bisa juga dapat diartikan sebagai rumah atau tempat kedamaian. Di pelisir atap bangunan sayap kanan terdapat tulisan Chuan Chau Fu, diperkirakan merupakan nama keluarga pemilik bangunan itu. Di pelisir atap bangunan sayap kiri terdapat tulisan Nan An Shien, yang diperkirakan sebagai salah satu wilayah di Quanzhou, Provinsi Fujian, yang merupakan tempat asal keluarga Chuan tadi. Sedangkan di pelisir atap bangunan bagian belakang terdapat tulisan Hok Cia Phin An, yang berarti sekeluarga aman sentosa.
Alih fungsi bangunan rumah tinggal ini menjadi gereja tak terlepas dari terbentuknya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 1 Oktober 1949 yang memaksa banyak orang mengungsi. Pemerintah Komunis saat itu mengusir semua misionaris, termasuk imam-imam Jesuit dari Austria dan beberapa suster dari Ordo Fransiskus Misionaris Maria (FMM). Vikaris Apostolik Jakarta waktu itu, Mgr. Adrianus Djajasepoetra SJ kemudian mengutus Pater Wilhelmus Krause Van Eeden SJ untuk mendirikan gereja, asrama dan sekolah untuk orang Hoakiau (Tionghoa perantauan) di sekitar Glodok. Lalu dipilihlah Pater Antonius Loew SJ dari Austria sebagai kepala paroki dan Pater Mathias Leitenbauer SJ sebagai pengelola sekolah yang pertama, yang kemudian dinamakan Sekolah Ricci berbahasa Mandarin pada 1950. Nama Ricci berasal dari Matteo Ricci, seorang misionaris Jesuit yang berhasil memasuki daratan Tiongkok. Mereka juga membuka kursus bahasa Inggris, Jerman dan Mandarin, yang dikenal dengan sebutan Ricci Evening School, dan asrama yang di kelola oleh Pater Tcheng diberi nama Ricci Youth Center. Baru pada tahun 1953, dibelilah sebidang tanah seluas 1 hektar dari kapitan bermarga Tjioe tadi. Tanah ini sudah termasuk bangunan yang menjadi bangunan gereja sekarang. Bahkan salah satu anak Kapitan Tjioe juga menjadi biarawati dan masuk ke Ordo Ursulin.


Pada tahun 1954, perayaan ekaristi pertama dilaksanakan di dalam gereja dengan dihadiri oleh 16 orang. Gereja diakui secara resmi sebagai paroki pada 13 Oktober 1955. Pengambilan nama Santa Maria de Fatima sebagai nama paroki adalah untuk mengenang peristiwa penampakan Santa Maria kepada tiga anak di Fatima, Portugal, pada tahun 1917. Cerita tentang penampakan Santa Maria kepada tiga anak gembala ini tergambar dalam relief Bukit Maria yang ada di sisi kanan halaman gereja. Bukit Maria ini diresmikan oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto SJ, pada 25 Oktober 1992.








Pada tahun 1970, gereja Santa Maria de Fatima diserah-terimakan dari Serikat Jesuit kepada Serikat Xaverian, yang diwakili oleh Pater Pietro Grappoli S.X. Setelah dipegang oleh Serikat Xaverian, gereja di renovasi secara besar-besaran, dengan mengganti lantai dan langit-langit. Selain itu juga dipasang patung Maria De Fatima, yang berasal dari Ortisei (Italia Utara) dan Hati Kudus Yesus. Lalu dipasang pula ukiran kayu Yesus yang disalib bersama 2 orang penjahat yang dikirim dari Italia. Di depan halaman gereja terdapat juga lonceng. Dulunya ada lonceng yang dibawa dari Austria oleh Pastor Staudinger SJ, namun akhirnya tidak digunakan karena tidak sesuai dengan ukuran menara lonceng setinggi 12 meter. Akhirnya lonceng tersebut disumbangkan ke Pasaman, Sumatra Barat, dan lonceng baru dipesan dari Yogyakarta. Oya, gereja ini merupakan satu-satunya gereja di Jakarta yang masih memberikan misa dengan dua bahasa, yaitu Mandarin dan Indonesia di waktu yang berbeda. Baiklah, cerita bagian kedua berhenti di sini dulu. Kita bertemu lagi di bagian ketiga ya!
One thought