JAKARTA: Riwayat Pecinan Glodok, Part 3

Kembali lagi ke perjalanan ke Pecinan Glodok. Jika bagian pertama kita ke Petak Sembilan dan bagian kedua kita ke wihara tertua di Jakarta, sekarang di bagian ini kita menuju ke satu bangunan yang tak jauh dari Gereja Toasebio. Namanya Wihara Dharma Jaya Toasebio yang merupakan tempat ibadah umat Buddha tertua di wilayah ini. Toasebio sendiri adalah gabungan dari dua kata yakni Toase yang berarti pesan dan Bio adalah kelenteng. Nama ini dimaksudkan agar kelenteng ini menjadi sebuah penghormatan atas pesan-pesan yang dibawa dari Tiongkok. Bangunan dengan luas 1.324 meter persegi ini awalnya dimiliki oleh seorang tuan tanah dengan marga Tan, kemudian dihibahkan ke Yayasan Dharma Jaya Toasebio setelah turunan keempat.

Baca: Riwayat Pecinan Glodok, Part 2

Warisan Turun-Temurun

Kelenteng Toa Se Bio sendiri didirikan pada sekitar menjelang pertengahan abad ke-18 oleh komunitas Tionghoa yang berasal dari Changtai, Zhangzhou. Kelenteng ini memiliki nama resmi Feng Shan Miao atau Hong-san Bio yang artinya Kelenteng Gunung Burung Hong. Namun karena Qingyuan Zhenjun, dewa pelindung masyarakat Changtai dikenal juga dengan Toa-sai Kong atau Dashi Gong (Paduka Duta Besar), maka kelenteng ini juga dikenal sebagai kelenteng Toa-sai Bio atau Dashi Miao (Kelenteng Duta Besar). Nama Toa-sai Bio di lidah penduduk lama-kelamaan berubah lafal menjadi Toa-se Bio dan menjadi nama jalan di mana kelenteng ini berada.

Pada tahun 1740 bangunan kelenteng ini pernah dibakar akibat peristiwa Geger Pacinan. Walaupun sempat terbakar, namun masih ada bangunan yang tersisa. Salah satunya meja Hio Louw atau tempat menaruh dupa saat sembahyang yang tidak hangus terbakar meski terbuat dari kayu. Lalu pada tahun 1754, kelenteng ini dibangun kembali. Angka tahun pendiriannya diketahui melalui meja Hio Louw yang tertulis tahun pembuatan bangunan ini. Salah satu yang masih bertahan di bangunan ini adalah empat tiang kayu penyanggah bangunan tengah, masih asli dan belum pernah diganti. Pada zaman Orde Baru nama kelenteng Toa-sai Bio diganti menjadi Wihara Dharma Jaya Toasebio.

Masih di kawasan Toasebio, dulu pernah ada menara observatorium di daerah ini. Pada tahun 1765, seorang pastor dan astronom Belanda-Jerman bernama Johan Maurits Mohr membangun sebuah observatorium pribadi besar yang dilengkapi dengan instrumen-instrumen astronomi terbaik pada masa itu. Mohr sendiri sudah menetap di Batavia sejak pada tahun 1737. Dana pembangunan observatorium ini disumbang istrinya Anna Elisabeth dari harta warisan mertuanya Jan van Hoff, salah satu orang kaya di Batavia. Observatoriumnya ini sempat dikunjungi oleh Louis Antoine de Bougainville (penjelajah Prancis) dan James Cook (penjelajah Inggris). Mohr pernah mengamati transit Venus dan transit Merkurius, serta pengamatan cuaca di Bavatia dan letusan Gunung Papandayan pada Agustus 1772. Mohr meninggal pada Oktober 1775, beberapa tahun setelah dia mendirikan lembaga ilmu pengetahuan Bataviaasch Genootschap. Observatoriumnya lalu rusak akibat gempa bumi tahun 1780, runtuh dan diratakan pada tahun 1812. Diperkirakan, kini lokasi observatorium Mohr sudah menjadi bangunan Sekolah Ricci.

Observatorium Mohr. source: wikipedia.org

Di ujung jalan, menuju ke Gang Kalimati terdapat satu kios kecil yang penuh dengan berbagai lembaran kertas dan peralatan untuk membuat kaligrafi. Di sini kita bisa menemui Lim Tju Kwet atau yang akrab disapa Koh Akwet, satu-satunya seniman kaligrafi Cina yang hingga kini masih bertahan di Jakarta. Kaligrafi yang dibuatnya biasa dipesan untuk berbagai perayaan. Koh Ahwet mulai melukis kaligrafi Cina ini sejak tahun 1970-an. Dalam perjalanan usahanya, Koh Ahwet bahkan pernah harus diam-diam menjalankan usahanya saat zaman Orde Baru. Dia pernah dipanggil Kejaksaan karena usahanya ini dianggap ilegal dan dia juga sempat mengganti nama menjadi Teddy, demi menyembunyikan identitasnya. Kini dia tetap sibuk menjalankan usahanya bersama istrinya, di rumah sekaligus toko yang dikenal sebagai Toko Sanjaya. Sayangnya tak ada penerus untuk melanjutkan bakat seninya. Anak-anaknya kini sudah tidak menetap di Australia.

Belanja dan Kuliner Di Glodok

Kita kemudian masuk ke Gang Kalimati atau Gang Tian Liong. Gang ini sebenarnya adalah Jalan Pancoran V. Namanya sendiri berasal sebuah toko alat rumah tangga legendaris yang bernama Tian Liong yang bersebelahan dengan gang ini. Toko ini sudah ada sejak tahun 1935. Di dalam gang ini bisa kita temui berbagai makanan dan minuman, bahkan ada yang sudah menjadi legenda kuliner. Kebanyakan adalah masakan non halal, tapi di sini kita bisa menemui satu gerai makanan yang menjual makanan vegetarian. Salah satunya menunya adalah babi vegan.

Selain Gang Kalimati, ada satu nama gang yang juga dikenal sebagai pusat kuliner di Glodok yaitu Gang Gloria. Gang sempit yang disesaki oleh lapak para pedagang ini sebenarnya adalah Jalan Pintu Besar Selatan III. Namanya lebih dikenal dengan sebutan Gang Gloria karena dulunya di sebelah gang ini terdapat sebuah gedung perbelanjaan bernama Gloria. Sayangnya pada tahu 2010 habis terbakar dan kemudian kini dibangun menjadi pusat perbelanjaan baru, Pancoran Chinatown Point.

Baca: Jelajah Kuliner Pecinan Glodok

Pedagang makanan di gang ini sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Banyak yang berjualan secara turun-temurun. Salah satunya adalah Kopi Es Tak Kie yang sudah ada sejak tahun 1927. Lokasi ini memang sudah terkenal sebagai pusat kuliner. Dulu banyak makanan Tionghoa yang eksotis, seperti belut, ular kobra, bulus, dan ramuan ayam arak ataupun sup ayam dengan campuran seperti ginseng juga dapat dinikmati di sini. Banyak restoran tempo dulu yang banyak dikunjungi, seperti Siaw A Tjiap dan Wong Fu Kie (dua restoran ini hanya tinggal kenangan saja). Kuliner di daerah ini bahkan terkenal sampai ke negara tetangga. Sejumlah artis Hong Kong pada tahun 1980-an pernah sengaja datang untuk mencoba berbagai macam kuliner di tempat ini. Dulu di Gang Gloria kedai Tay Loo Tien yang kesohor dengan nasi goreng ham yang khas sejak zaman Kolonial Belanda, sayangnya kini sudah tak ada lagi.

Bicara tentang kuliner di Glodok, tentunya kita tak bisa melupakan Pertokoan Chandra atau Gedung Chandra. Pusat belanja di kawasan Glodok ini usianya lebih dari 40 tahun. Namanya kembali naik daun setelah dibukanya Petak Enam Di Chandra di area parkir Gedung Chandra pada awal 2021 ini. Dulu pertokoan ini dikenal sebagai pusat jajan yang memiliki penataan ruang seperti food court di Singapura dan Malaysia. Namun pertokoan ini juga dikenal sebagai pusat perbelanjaan serba ada, mulai dari perhiasan, pakaian, toko obat, hingga pernak-pernik khas Tionghoa. Kita juga masih bisa melakukan tawar menawar untuk berbelanja di sini. Memasuki gedung ini seakan bukan berada di Jakarta, suasana-nya seperti mal-mal di masa lalu. Bahkan sayup-sayup kita bisa mendengar alunan suara musik atau lagu Mandarin dari pengeras suara mal atau toko. Nah, untuk Petak Enam sendiri terdapat kios-kios yang dibangun mirip dengan bangunan khas Tionghoa. Di sini kita bisa menemukan beberapa kuliner khas Glodok tanpa harus berkeliling kawasan Glodok. Bisa dibilang memudahkan bagi yang ingin mencicipi kuliner yang hanya ada di Glodok.

Baca: Riwayat Pecinan Glodok, Part 1

Nama Petak Enam masih ada kaitannya dengan Petak Sembilan. Kawasan Glodok banyak terdapat rumah petak, salah satu yang dikenal adalah rumah petak yang kesembilan yang menjadi tempat orang untuk ngopi (yang kemudian menjadi nama Petak Sembilan). Lokasi Petak Enam sekarang diduga merupakan petak keenam. Selain itu pemilik properti lokasi kawasan Petak Enam ini juga berjumlah enam orang dan angka enam juga punya fengshui yang baik dalam budaya China. Ini yang kemudian menjadi asal usul nama Petak Enam ini. Lokasi ini menjadi pemberhentian saya kali ini, meski sebenarnya masih banyak tempat yang belum saya kunjungi. Ternyata Glodok ini cukup luas dan rasa-rasanya tidak cukup satu hari saja. Bahkan meski itu-itu saja yang saya kunjungi, belum memuaskan hasrat menjelajah kawasan ini. Tapi untuk sementara, tulisan tentang Glodok sampai di sini dulu ya. Semoga saya bisa kembali menjelajahi tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi dan menulisnya di sini. Well, sampai jumpa!

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s