JAKARTA: Pencakar Langit di Sudirman, Part 1

Jika melintas di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat kita akan disambut dengan gedung-gedung tinggi. Kawasan ini memang menjadi pusat bisnis di ibukota. Bahkan bekerja di salah satu perusahaan yang berada di kawasan ini menjadi sebuah gengsi tersendiri. Dari sekian banyak gedung yang ada di Jalan Jenderal Sudirman ini, mungkin hanya beberapa saja yang pernah saya masuki. Bahkan terkadang saya baru mengetahui nama gedungnya ketika saya ada janji meeting di gedung itu.

Gedung-Gedung Pencakar Langit

Ketika ada kesempatan untuk ikut Jakarta Good Guide dengan rute Skyscrapers Extended, saya pun buru-buru ikut mendaftar. Sebelumnya saya pernah ikut rute Skyscrapers, tapi hanya untuk Jalan M.H. Thamrin. Kali ini saya kembali berkesempatan dipandu oleh Mas Indra. Oya, penamaan gedung tinggi menjadi “pencakar langit” ternyata ada ketentuannya. Sebuah konvensi di Amerika Serikat dan Eropa menentukan batas minimum ketinggian suatu bangunan untuk disebut sebagai pencakar langit, yaitu 150 meter atau 490 kaki. Tapi bangunan yang lebih pendek dari itu bisa disebut pencakar langit apabila bangunan itu yang paling tinggi di suatu wilayah atau mendominasi daerah di sekitarnya. Salah satu contohnya adalah gedung Sarinah, dulu disebut pencakar langit meski tingginya 74 meter, karena merupakan gedung tertinggi pertama di Jakarta. Walau kemudian bukan lagi menjadi pencakar langit setelah dibangunnya Wisma Nusantara pada tahun 1972.

Kalau di luar Indonesia, saat ini Burj Khalifa yang berada di Dubai, Uni Emirat Arab menjadi pencakar langit tertinggi di dunia dengan ketinggian 828 meter. Sedangkan kota yang menempati posisi pertama di dunia sebagai kota yang paling banyak memiliki pencakar langit adalah Hong Kong dengan lebih dari 7.500 pencakar langit.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Saat ini negara kita memiliki 102 bangunan dengan tinggi lebih dari 150 meter dan menduduki posisi kesembilan sebagai negara dengan gedung pencakar langit terbanyak di dunia. Pencakar langit ini kebanyakan berada di Jakarta. Jika diurutkan ke belakang, awalnya Sarinah menduduki posisi pertama dengan ketinggian 74 meter pada rentang tahun 1963-1972, lalu digantikan oleh Wisma Nusantara (117 meter) pada tahun 1972-1983. Kemudian posisi ini diisi oleh Graha Mandiri (143 meter) pada tahun 193-1996), dan digeser oleh gedung yang ikonik di ibukota, Wisma 46 (262 meter) pada tahun 1996-2015. Sekarang posisi ini diduduki oleh Gama Tower (285,5 meter). Tapi ke depannya, posisinya akan tergantikan oleh Autograph Tower di komplek Thamrin Nine, yang digadang sebagai gedung tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 385 meter. Gedung pencakar langit ini akan menjadi yang tertinggi di Indonesia dan juga di belahan bumi bagian selatan atau southern hemisphere.

Kalau kita coba buatkan peringkat 10 gedung pencakar langit di Jakarta, kurang lebih akan seperti ini:

1Gama Tower/Cemindo Tower 285,5 meter
2Tresury Tower 280 meter
3Wisma 46 262 meter
4Menara Astra 261,5 meter
5Sahid Sudirman Center 258 meter
6Raffles Jakarta/Ciputra World Hotel Tower 257 meter
7Millennium Centennial Center/Millennium Office Tower 254 meter
8The Pakubuwono Signature 252 meter
9Sinarmas MSIG Tower 245 meter
10World Capital Tower 244 meter
Peringkat 10 gedung pencakar langit di Jakarta (2021)

Jalan-Jalan Ke Jalan Sudirman

Baiklah, mari kita mulai jalan-jalan sore kita ke hutan betonnya Jakarta. Kita mulai dengan Jalan Jenderal Sudirman atau biasa kita kenal dengan Jalan Sudirman. Jalan ini merupakan jalan utama Jakarta dan merupakan pusat bisnis atau bagian dari Financial District Poros Sudirman-Thamrin-Kuningan. Nama jalan ini diambil dari nama seorang Pahlawan Nasional Indonesia yaitu Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman. Panjangnya membentang sepanjang 4 km, melintasi 7 kelurahan dari Kelurahan Dukuh Atas, Jakarta Pusat sampai Kelurahan Senayan, Jakarta Selatan.

Salah satu penanda kita memasuki jalan ini adalah Patung Jenderal Sudirman yang berada di ujung jalan Sudirman. Patung ini memiliki tinggi 12 meter, terbagi atas tinggi patung 6,5 meter dan voetstuk atau penyangga 5,5 meter. Patung perunggu seberat 4 ton ini dikerjakan oleh seniman sekaligus dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung, Edy Sunaryo. Total biayanya menelan anggaran sebesar 3,5 miliar rupiah dan berasa dari para pengusaha, di mana kompensasinya adalah mendapat dua titik reklame di lokasi strategis, Dukuh Atas. Lokasinya sendiri merupakan satu garis lurus yang berujung dari Patung Pemuda Membangun di Kebayoran Baru sampai Tugu Monumen Nasional.

Peresmiannya dilakukan pada 16 Agustus 2003 oleh Gubernur Sutiyoso didampingi Kepala Dinas Pertamanan DKI Jakarta Maurits Napitupulu dan salah satu keluarga besar Jenderal Sudirman, Hanung Faini. Patung ini sempat menuai kritik karena Jenderal Sudirman digambarkan sedang dalam posisi menghormat dan tidak selayaknya menghormat kepada sembarang warga yang melintasi jalan. Namun menurut cucu sang jenderal yang bernama Ganang Soedirman, patung berbentuk seperti itu karena Jenderal Sudirman ingin menghormat kepada rakyat, dan beliau tidak mau dihormati.

Selain Dukuh Atas, patung dari Jenderal Sudirman tersebar di beberapa kota. Di Jakarta, ada satu patung yang berada di Markas Besar TNI AD di Jalan Medan Merdeka Timur. Lalu di Yogyakarta berada di Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman (patung menunggangi kuda), Benteng Vredeburg dan depan gedung DPRD DIY yang berada di Jalan Malioboro. Di Purwokerto, tepatnya di Universitas Jenderal Sudirman (patung menunggangi kuda), kemudian ada di Pacitan, tepatnya di Monumen Jenderal Sudirman (Mojensu) yang berada di Kecamatan Nawangan. Lokasi berdirinya patung dulunya merupakan tempat di mana Jenderal Sudirman melakukan taktik perang gerilya. Lalu di Surabaya, patungnya berhadapan dengan Monumen Bambu Runcing yang berada di Jalan Yos Sudarso. Terakhir ada di Alor, NTT. Patung ini berdiri di Desa Maritaing yang merupakan perbatasan daratan Indonesia dengan Timor Leste.

Kita kembali lagi ke Jakarta. Tak jauh dari Patung Jenderal Sudirman terdapat satu taman yang masih terbilang baru, yaitu Taman Spot Budaya 2 Dukuh Atas atau Dukuh Atas Cultural Spot. Taman ini dulunya adalah jalan raya yang diubah fungsinya menjadi taman dan memiliki luas 2.000 meter persegi. Diresmikan oleh Gubernur Anies Baswedan pada 18 Agustus 2019. Fungsi taman ini adalah menjadi “ruang ketiga” setelah rumah dan kantor. Fasilitasnya terdiri dari skateboard ramp, viewing deck, dan hutan tropis mini. Di sini juga tedapat satu lubang yang tertutup kaca, di mana kita bisa melihat pemanfaatan ruang bawah tanah sebagai penempatan jaringan utilitas. Ada 5 jaringan utilitas yang bisa kita lihat, antara lain fiber optic, pipa gas, jaringan air bersih, jaringan air limbah, dan listrik kota.

Para Pencakar Langit di Sudirman

Baiklah, kita mulai menjelajahi gedung-gedung tinggi yang ada di kawasan Jalan Sudirman. Pertama adalah Gedung The Landmark Centre. Gedung ini terbilang sangat mudah terlihat jika kita hendak ke Jalan Sudirman dari Setia Budi. Pemilik gedung ini satu grup dengan pemilik Ratu Plaza yang berjaya di tahun 80an, yaitu Ratu Sayang Internasional. Gedung kembar ini mulai dibangun pada tahun 1983 dengan dua tahap pembangunan. Tahap pertama selesai pada tahun 1985 dan tahap kedua selesai pada tahun 1991. Landmark menjadi gedung kembar kedua di Indonesia setelah Apartemen Sultan Residence di Senayan. Pembangunan gedung ini menghabiskan anggaran 60 juta dolar AS atau setara 58,2 miliar rupiah (nilai pada Juni 1983) yang merupakan pinjaman dari Citibank, Mitsubishi Bank dan Scotiabank. Pada masa jayanya, gedung ini menjadi kantor dari beberapa perusahaan-perusahaan asing seperti IBM, Citibank (pindahan dari Oil Centre pada 1986), Atlantic Richfield Company, dan Rabobank. Kemudian Adira Finance dan BNI Life berkantor di gedung ini. Sayangnya gedung ini lama-lama ditinggalkan penyewanya, karena sempat mengalami kebanjiran di basement-nya (akibat bencana banjir di Jakarta). Bahkan banyak juga isu mistis yang berseliweran di sini, meski lokasi ini dulunya bukan bekas pemakaman.

Nah kita berlanjut dengan salah satu kawasan yang menjadi salah ikon gedung-gedung tinggi di Jakarta. Di dalam Kompleks Kota BNI kita bisa menemukan beberapa gedung dan hotel. Semuanya tentunya sudah cukup banyak dikenal. Paling depan adalah Grha BNI (jangan keliru dengan Wisma 46 ya). Gedung dengan tinggi 136 meter ini merupakan kantor pusat Bank Negara Indonesia atau BNI. Grha BNI dirancang oleh Perentjana Djaja dan P&T Architects dari Hong Kong. Gedung ini dimiliki oleh Yayasan Dana Pensiun dan Sokongan BNI 1946 (DAPENSO BNI 1946). Dibangunnya gedung ini bukan tanpa alasan, karena BNI juga memerlukan kantor pusat yang baru. Sebab kantor pusat di Jalan Lada No. 1 rancangan Frederich Silaban sudah tidak muat lagi. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Dirut BNI H. Somala Wiria pada 5 Juli 1986 dan selesai dibangun sekitar akhir tahun 1988. Pada 14 September 1989, Menteri Keuangan Prof. Dr. JB Sumarlin meresmikan penggunaan Kantor Besar Bank Negara Indonesia 1946 ini. Baru pada tahun 2015, BNI 46 membeli aset Kantor Besar BNI dan tanah dari DAPEN BNI, nama baru dari DAPENSO dengan harga 1,5 triliun rupiah. Grha BNI juga diklaim sebagai gedung pertama di Indonesia, bahkan Asia Tenggara yang menggunakan sistem otomasi bangunan terkomputerisasi.

Di belakangnya, terdapat Wisma 46. Gedung bergaya pena ini menjadi ikon ibukota yang paling dikenal banyak orang. Wisma 46 dirancang oleh Zeidler Roberts Partnership dari Kanada dan DP Architects Private Ltd. dari Singapura, dibangun oleh Waskita Karya dan Société Auxiliaire d’Entreprises, ini merupakan proyek kedua mereka setelah Hotel Shangri-La. Gedung ini dimiliki oleh PT Swadharma Primautama, yang merupakan kerjasama Dana Pensiun BNI, Grup Salim, dan Grup Lyman. Wisma 46 merupakan gedung ketiga setelah gedung Kantor Besar BNI dan Hotel Shangri-La pada proyek Kota BNI. Oya, kenapa gedung ini sangat terkenal? Sebab gedung dengan tinggi 262 meter dan terdiri dari 51 lantai ini tercatat sebagai gedung tertinggi di Indonesia selama 19 tahun, mulai tahun 1996 hingga tahun 2015

Kalau bicara desainnya yang unik, sebenarnya ini terinspirasi dari kapal pinisi yang menjadi logo BNI 1946 saat itu (antara tahun 1988-2004). Pembangunannya dimulai pada November 1992 dan selesai dibangun pada November 1996. Bagian atas yang berbentuk melengkung dirancang khusus agar kuat meski terkena diterpa angin di ketinggian lebih dari 200 meter. Gedung ini difasilitasi dengan 23 lift, termasuk 6 lift model kecepatan sangat tinggi yang berkecepatan 360 mpm (meter per menit). Lima lantai teratas ditempati oleh Jakarta Serviced Office, selain itu beberapa perusahaan besar seperti Nikon, Brother, Lenovo, Accenture, hingga Mandom juga berkantor di gedung ini.

Kini kita ke gedung terakhir yang ada di Kota BNI yaitu Hotel Shangri-La Jakarta. Hotel berbintang lima ini dibangun setelah Grha BNI atau Kantor Besar BNI, yaitu pada akhir September 1991 dan selesai dibangun pada Desember 1993. Pemborongnya sama seperti yang mengerjakan Wisma 46, yaitu Waskita Karya dan Société Auxiliaire d’Entreprises. Biaya pembangunan hotel dengan tinggi 115 meter ini memakan anggaran 354 miliar rupiah. Hotel Shangri-La Jakarta dibuka secara resmi pada tanggal 22 Maret 1994, dengan 662 kamar yang terdiri dari 504 kamar Deluxe, 118 kamar Horizon Club, 9 suite eksekutif, 29 kamar suite baik 1, 2 dan 3 kamar tidur, dan dua kamar presidensial.

Perjalanan kita rasanya harus berhenti di sini dulu. Ujung Jalan Sudirman ini ternyata sudah ada beberapa gedung tinggi yang cukup dikenal banyak orang. Berikutnya kita akan menjelajahi beberapa gedung lainnya hingga ke gedung tinggi keempat di Jakarta. Tunggu kisah perjalanan berikutnya ya!

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s