

Kalau sebelumnya kita sudah berkeliling ke dua lokasi yang cukup ikonik, berikutnya kita lanjutkan ke gedung-gedung berikutnya. Kita mulai dengan gedung yang letaknya berada di seberang The Landmark Centre, yaitu Wisma Indocement. Tapi sebelum kita membahas gedungnya, kita kulik sedikit tentang Indocement, yang merupakan produsen semen terbesar kedua di Indonesia.
Cerita Di Balik Gedung Tinggi
Indocement sendiri berdiri sejak 16 Januari 1985 dan merupakan hasil penggabungan enam perusahaan semen yang memiliki delapan pabrik. Salah satunya adalah Semen Tiga Roda yang sudah beroperasi sejak 4 Agustus 1975. Semen Tiga Roda sendiri digagas oleh empat sekawan Soedono Salim, Djuhar Sutanto, Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad. Mereka lalu membangun pabrik semen dengan kapasitas 500.000 ton per tahun di Citeureup, Bogor, Jawa Barat, dengan nama PT Distinct Indonesia Cement Enterprise. Baru pada 16 Januari 1985 didirikanlah PT Indocement Tunggal Prakarsa (Indocement) yang mengambil alih seluruh saham keenam perusahaan semen di kompleks Citeureup dan mengelola delapan pabriknya di bawah satu manajemen terpadu. Oya, karena Indocement pula dibangunlah Stasiun Nambo, Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor yang menjadi tempat pemberangkatan kereta pengangkut semen.




Kembali ke Wisma Indocement. Gedung ini dirancang oleh Palmer & Turner dan Perentjana Djaja. Pemilik awal gedung ini, yaitu Perwick Agung yang dimiliki oleh Grup Salim, menggelontorkan biaya sekitar 52 juta dolar AS untuk membangun Wisma Indocement. Gedung ini dibangun mulai tahun 1982 hingga selesai dibangun pada tahun 1985. Nama Wisma Indocement kemudian diubah sesuai Bahasa Indonesia menjadi Wisma Indosemen pada tahun 1995. Selain menjadi kantor pusat dari Indocement, gedung ini juga ditempati beberapa perusahaan termasuk Nikko Sekuritas dan unit usaha Grup Salim seperti Elshinta TV dan Indolife Pensiontama. Namun akibat krisis moneter, pada November 2003, gedung bercat putih dengan kaca riben itu, dijual ke perusahaan independen Serasi Tunggal Mandiri, dengan tebusan 160 miliar rupiah.



Di seberangnya, berdiri Gedung Arthaloka atau Menara Taspen. Gedung berlantai 19 dengan luas 20.500 m2 ini beroperasi sejak tahun 1988. Penyewa utama antara lain Permodalan Nasional Madani (PNM), Bank BJB, Bank BRI, Bank Muamalat dan Taspen Life. Pada tahun 2017, Gedung Arthaloka menjadi Menara Taspen. Hal ini dikarenakan PT Taspen mulai menata ulang pengelolaan aset properti mereka, di mana langkah pertama yang dilakukan mereka adalah mengubah nama aset milik anak usahanya.


Belanjut ke sebelahnya. Wisma KEAI atau dulunya bernama Wisma Kyoei Prince, adalah gedung perkantoran berlantai 26 dengan ketinggian 120 meter. Gedung rancangan Toda Corporation dan Wiratman & Associates ini juga dibangun oleh Toda Corporation bersama Jaya Konstruksi. Dibangun mulai bulan Agustus 1991 hingga selesai dibangun pada November 1993. Dulu sebelum Wisma KEAI dibangun, terdapat sebuah bioskop satu layar bernama Prince Theatre, dibangun bersama dengan Prince Center Building di sebelahnya pada tahun 1985. Prince Centre Building sendiri penah direnovasi pada tahun 2005. Sedangkan Prince Theatre lalu ditutup dan dibongkar pada tahun 1991, untuk pembangunan Wisma Kyoei Prince. Kini Wisma KEAI masih menjadi kantor dari beberapa perusahaan Jepang, seperti Orix, Japan Airlines, Epson, JVC Kenwood, dan dealer mobil Mitsubishi. Selain itu Kedutaan Besar Kosta Rika juga menempati gedung ini sejak 5 September 2017 dan adalah perusahaan telekomunikasi dan infrastruktur menara, Bali Towerindo Sarana.
Gedung Tertinggi di Jalan Sudirman
Dari sini kita bisa melihat salah satu gedung tertinggi setelah Wisma 46, yaitu Menara Astra. Jika dibandingkan dengan Wisma 46, gedung ini hanya selisih setengah meter. Astra sendiri termasuk nama perusahaan yang cukup bergengsi di Jakarta dan juga Indonesia. Awalnya didirikan oleh Tjia Kian Liong (William Soerjadjaja), Tjia Kin Joe (Benyamin), dan Liem Peng Hong pada tahun 1950-an. Perusahaan ini pada awalnya menempati sebuah toko di Jalan Sabang No. 36A, Jakarta Pusat. Nama Astra sendiri diusulkan oleh Kian Tie, adik Kian Liong, yang berasal dari mitologi Yunani kuno yang berarti terbang ke langit dan menjadi bintang terang.






Meski perusahaan lokal, saat didaftarkan ke Notaris Sie Khwan Djioe pada tanggal 20 Februari 1957, namanya adalah Astra International Inc. Modal awal perusahaan kala itu adalah 2,5 juta rupiah. Perusahaan ini kemudian menjadi distributor dan importir limun merek Prim Club dan Kornet CIP. Selain produk impor, Astra juga menjual produk lokal dari Bandung seperti pasta gigi Fresh O Dent dan pasta gigi Odol Dent. Belakangan hanya Kian Liong yang mengelola Astra. Kian Tie malah bekerja di sebuah bank di Palembang sementara Pang Hong asyik dengan bisnisnya yang lain. Saham-saham perusahaan pun seluruhnya beralih ke tangan Kian Liong pada tahun 1961.
Pada masa orde lama, antara tahun 1962 hingga 1964, Astra sempat menjadi pemasok lokal proyek pembangunan Waduk Jatiluhur. Pada tahun 1965, Astra memindahkan kantornya dari Jalan Sabang ke Jalan Juanda III No. 8, Jakarta Pusat. Lalu tahun 1966, Astra mengimpor 800 unit truk merek Chevrolet buatan General Motors Co. dan menjualnya kepada Pemerintah Indonesia. Baru pada tahun 1969, Astra mengalihkan usahanya ke impor kendaraan dari Jepang. Saat itu Astra melalui PT Gaya Motor menjadi agen tunggal Toyota, di mana truk-truk Toyota yang akan masuk Indonesia harus dirakit di PT Gaya Motor. Mulai tahun 1970, Astra menjadi distributor tunggal sepeda motor Honda serta distributor alat-alat perkantoran produksi Fuji Xerox di Indonesia.
Meski terus berkembang, Astra sempat mengalami permasalahan. Salah satu anak William Surjadjaja mendirikan Bank Summa dan akhirnya bermasalah. Pada 14 Desember 1992 bank itu dilikuidasi pemerintah dan meninggalkan kredit macet mencapai 1,2 triliun rupiah. Demi mengembalikan dana nasabah, Astra akhirnya terpaksa dilepas oleh William Surjadjaja. Hal ini dilakukan agar nama baik keluarga terjaga. Saat ini sebanyak 51,11 persen saham Astra International dikuasai oleh Jardine Cycle & Carriage Limited, sebuah perusahaan yang berbasis di Singapura. Hingga 31 Desember 2017, Astra sudah memiliki tujuh lini bisnis utama, mulai dari otomotif, jasa keuangan, alat berat, pertambangan, konstruksi, dan energi, agribisnis, infrastruktur & logistik, teknologi informasi, dan properti.



Kembali ke Menara Astra. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada 10 Desember 2013 dan selesai dibangun pada tahun 2017. Menara setinggi 261,5 meter ini menghabiskan dana 4,5 triliun rupiah. Menara Astra kemudian diresmikan pada 20 Februari 2019, bersamaan dengan perayaan ulang tahun Astra yang ke-62. Kala itu dihadiri oleh Menteri BUMN sekaligus mantan Presdir Astra International Tbk, Rini Soemarno. Di dekat menara ini juga terdapat Anandamaya Residences seluas 2,4 hektar yang berisi tiga menara residensial, dengan nama Anandamaya Residences 1, 2, dan 3. Pembiayaan Anandamaya Residences adalah hasil kerja sama antara Astra dengan perusahaan properti Hongkong Land. Bahkan beberapa petinggi Astra disebut-sebut memiliki unit apartemen di Anandamaya Residences.







Gedung-Gedung Tinggi Lainnya
Tepat di sebelah Menara Astra, ada satu bangunan yang cukup menarik. Apalagi jika kita melihatnya dari atas JPO tanpa atap yang berada di antara Indofood Tower dan Menara Astra. Nama gedung ini adalah Wisma Nugra Santana. Dibangun oleh SHIMIZU Kontraktor dan selesai dibangun pada bulan maret 1990, serta diklaim memiliki ketahanan terhadap gempa bumi. Oya, perusahaan ini adalah kelompok bisnis (konglomerasi) yang didirikan oleh mantan Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo pada 19 Mei 1973. Familiar dengan namanya ini? Ya, beliau adalah mertua dari artis peran, Dian Sastrowardoyo.




Tak jauh dari JPO tanpa atap, berdiri Wisma Bumiputera. Gedung ini merupakan kantor pusat resmi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 sejak tahun 1985. Nama Bumiputera tentunya tak asing lagi. Tapi kita mundur ke belakang sebentar, untuk melihat sejarah berdirinya perusahaan asuransi ini. Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 awalnya bernama Onderlinge Lavenzekering Maatschappij Persatoean Goeroe-Goeroe Hindia Belanda (OL. Mij. PGHB). Didirikan oleh 3 orang guru yaitu Mas Ngabehi Dwidjosewojo, Mas Karto Hadi Karto Soebroto dan Mas Adimidjojo pada 12 Februari 1912 di Magelang. Pada tahun 1921, kantor AJB Bumiputera pindah ke Yogyakarta dan tahun 1958 kantor AJB Bumiputera pindah ke Jakarta. Nama perusahaan berubah menjadi AJB Bumiputera pada tahun 1966 dan berkantor pusat di Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta Pusat.


Baru kemudian pindah di gedung rancangan Timothy Seow dari Singapura, bersama dengan Encona Engineering ini. Gedung dibangun mulai November 1982 dan selesai dibangun tepat waktu pada Januari 1985. Wisma Bumiputera lalu diresmikan oleh Dirut PT Wisma Bumiputera Zulkarnaen Ali, pada 18 Mei 1985. Namun pada 11 Maret 1986, AJB Bumiputera pindah secara penuh ke gedung ini. Ciri khas gedung ini adalah eksteriornya yang berlapis kaca hitam dan keramik berwarna putih, yang merupakan ciri khas bangunan tinggi era orde baru. Keramik-keramik ini dipasok dari Pluit (Asahimas) dan Gresik (Keramik Diamond). Selain menjadi kantor AJB Bumiputera, gedung ini juga menjadi kantor perbankan AJB Bumiputera, yaitu Bank Bumiputera. Kini nama bank sudah berubah menjadi MNC Bank dan tetap membuka cabang di gedung ini.
Penjelajahan bagian kedua kita cukupkan sampai di sini. Bagian berikutnya akan membahas beberapa bangunan yang juga masuk dalam 10 besar bangunan tinggi di Jakarta serta beberapa bangunan tinggi yang cukup menarik desain eksteriornya. Terima kasih sudah membaca, sampai di perjalanan berikutnya ya!