JAKARTA: Jejak Freemason di Ibukota, Part 1

Bagi sebagian besar orang, Freemasonry sering dikaitkan dengan komunitas rahasia yang memiliki ritual-ritual aneh. Bahkan dianggap sebagai kelompok pemuja setan. Nah, saya pun jadi penasaran dengan keberadaan kelompok ini. Di Indonesia ternyata banyak sekali jejak peninggalan organisasi ini. Akhirnya kesempatan untuk menjelajahi bekas bangunan Freemasonary di Jakarta terwujudkan dengan ikut walking tour “The Secret Society of Batavia” yang diadakan oleh Walk Indies. Tapi sebelum kita mulai penjelahan, ada baiknya kita tahu dulu apa itu Freemasonary.

Awal Mula Freemasonry

Meski banyak menuai kontroversi, Freemasonry sendiri merupakan organisasi persaudaraan yang muncul di Inggris dan Skotlandia antara akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Dibuktikan dengan penemuan manuskrip tertua tentang aturan organisasi ini. Tujuan dibentuknya organisasi ini adalah membangun persaudaraan dan kebebasan berpikir dengan standar moral yang tinggi, serta anti dogma agama (bersifat sekuler). Kata mason sendiri berasal dari bahasa Prancis, maçon, yang artinya “tukang batu,” sehingga bisa dikatakan bahwa Freemasonary merupakan pengertian pekerja keras yang mempunyai kebebasan berpikir.

Anggota dari Freemansonry disebut sebagai Freemason atau Mason. Mereka cenderung tertutup dan ketat dalam menerima anggota barunya. Organisasi ini tidak mempunyai pusat dan setiap negara mempunyai organisasi yang berdiri sendiri. Unit dasar dari organisasi ini disebut sebagai lodge atau loji dalam bahasa Indonesia. Loji ini merupakan gedung atau bangunan yang biasa digunakan Freemasonry beraktivitas. Loji-loji ini tersebar di seluruh dunia dan tidak memiliki induk loji. Semua loji bersifat independen, bahkan terkadang tidak mengakui keberadaan loji lain.

Dalam sejarahnya, organisasi persaudaraan ini mempunyai pengalaman konflik dengan baik kelompok agama maupun aliran politik garis keras seperti fasisme dan komunisme. Khususnya dengan agama, karena dulu di Eropa banyak negara yang masih menggunakan aturan agama dalam menjalankan pemerintahannya. Sehingga organisasi ini dianggap berusaha merusak aturan-aturan yang sudah ada.

Simbol-Simbol Freemasonry

Ada banyak simbol yang digunakan oleh Freemasonry. Salah satunya yang terkenal adalah simbol mata. Mata ini menyimbolkan sifat hakiki Sang Pencipta, mahakuasa (omnipotent) dan mahamelihat (omnipresent). Kemudian huruf G serta jangka dan penggaris, yang bisa kita lihat langsung di beberapa tempat di Museum Taman Prasasti. Huruf G merujuk pada istilah geometri yang berasal dari bahasa Yunani kuno, geo (bumi) dan metron (pengukuran). Istilah ini juga merujuk pada matematika, ilmu yang melahirkan arsitektur. Sedangkan jangka adalah pengingat bagi seorang Mason untuk membatasi dan menjaga nafsu, lalu penggaris, sebagai simbol kuadrat adalah pengingat untuk memperbanyak kebajikan terhadap sesama manusia.

courtesy of wikipedia.org
courtesy of wikipedia.org

Selain simbol-simbol ini, ada juga simbol seperti Bintang David yang erat kaitannya dengan Zionisme. Simbol heksagram, gabungan dua gambar segitiga sama sisi ini memang sering dikaitkan dengan Zionis, namun pada dasarnya lambang ini sudah ada jauh sebelum adanya Zionisme itu sendiri. Belum jelas apa kaitannya, penggunaan simbol ini di loji-loji Freemasonry. Meski sebenarnya Freemasonry dan Zionisme berbeda.

Kemudian yang menjadi ciri khas anggotanya adalah Apron Mason. Bentuknya mirip celemek dengan kantong yang menyerupai amplop. Apron berwarna putih ini merupakan simbol kemurnian kesucian dan kemurnian, dan digunakan saat menjalankan ritual atau drama. Disebut sebagai pengingat untuk tidak berbuat buruk kepada sesama manusia atau persaudaraan. Pemimpin loji biasanya menggunakan jubah panjang berwarna gelap, ini pula yang kadang dianggap sebagai pemuja setan.

Anggota Freemason di Indonesia (source: cnnindonesia.com) dan apron Mason khas anggotanya (source: theguardian.com)

Bekas ruang upacara Freemason di Gedung Bappenas (source: kumparan.com) dan prosesi Freemason yang masih aktif (source: freemasonrytoday.com)

Selain itu adalah ritual atau drama yang dilakukan di dalam ruangan yang terdapat lantai seperti papan catur. Simbol kuno ini menunjukkan kepatuhan dan dapat diartikan sebagai simbol kebaikan dan keburukan manusia, serta ada pula altar yang menyimbolkan persekutuan di depan sang pencipta alam semesta. Pertemuan mereka sering dikaitan dengan Bait Salomo, meski belum ada kebenaran tentang hal ini. Mungkin saking simpang siurnya, sering dikaitan dengan Zionisme.

Di dalam komunitas Freemason sendiri, politik dan agama adalah topik tabu untuk dibicarakan. Meski ada ritual-ritual sendiri di dalamnya, tapi setiap anggota bebas berpikir sesuai dengan keyakinannya. Namun mereka tak mengizinkan ateis atau agnostik untuk bergabung, sebab peran Tuhan sangat sentral dalam kehidupan mereka sebagai manusia.

Freemasonry di Hindia Belanda

Keberadaan organisasi ini di Indonesia dimulai saat masuknya para serdadu Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC. Penggagasnya adalah Jacobus Cornelis Mattheus Radermacher, yang merupakan anak dari Joan Cornelis Radermacher, Grand Master Freemason pertama di Belanda pada 1730-an. Loji pertama yang dibangun olehnya adalah La Choisie atau “Yang Terpilih” pada tahun 1762. Kehadiran loji ini hanya bertahan sampai tahun 1766. Ada dugaan larangan dari pemerntah saat itu dan selain itu Radermacher pulang ke Belanda.

Jacobus Cornelis Mattheus Radermacher. source: jakarta-tourism.go.id

Baru pada tahun 1767 muncul loji baru di Batavia, yaitu La Fidele Sincerite atau The Blue Lodge yang sebagian besar anggotanya pelaut dan militer. Direktur dan Gubernur Pesisir Timur Laut Jawa Pemerintah Hindia Belanda kala itu, Nicolaas Engelhard ditunjuk sebagai Provincial Grand Master. Lalu pada tahun 1768 para pejabat VOC dan tuan tanah kaya mendirikan loji baru, La Vertueuse atau Yellow Lodge.

Kegiatan Freemasonry sendiri pada periode pertama (1770-1870) menekankan pada filantropi yang secara bertahap mengambil bentuk amal yang terorganisir. Bukan ditujukan untuk para anggota, kebanyakan mereka adalah kelas menengah atas, namun untuk orang-orang Eropa yang membutuhkan.

Untuk bangunan loji, saat itu masih berpindah-pindah. Awalnya Loji La Fidele Sincerite menggunakan sebuah losmen di kawasan Tambora, Jakarta Barat. Lalu pada tahun 1773, sebuah gedung di Jalan Amanusgracht (kini Jalan Bandengan Utara) diizinkan untuk dipakai sebagai loji Le Sincerite sampai tahun 1815. Tahun 1815, loji dipindahkan ke Jalan Tijgersgracht (kini Jalan Pos Kota). Sementara loji La Vertueuse awalnya berpindah-pindah dari rumah anggota yang satu ke rumah anggota yang lain. Kemudian pada tahun 1780, seorang anggotanya, Daniel Kreysman menyediakan rumahnya di Jalan Molenvliet (kini Jalan Gajah Mada/Hayam Wuruk) untuk dipakai menjadi loji. La Vertueuse kemudian membangun loji baru di Jalan Budi Utomo yang kini menjadi Gedung Kimia Farma. Peletakan batu pertama pembangunan Yellow Lodge pada 18 Januari 1786 dihadiri para pejabat pemerintah dan warga penting Batavia. Pada Februari 1830, La Vertueuse membuka loji barunya ini. Lalu pada tahun 1837, dua loji yang ada di Batavia yaitu Le Sincerite dan Vertueuse sepakat untuk dilebur jadi satu loji besar yang diberi nama De Ster in het Oosten atau Bintang Timur.

Bangunan Bekas Loji

Loji La Vertueuse yang kini menjadi Gedung Kimia Farma dibangun dengan biaya 12 ribu gulden di atas tanah hibah pemerintah Hindia Belanda pada 15 Februari 1830. Gedung loji ini dirancang oleh insinyur Belanda J Tromp yang merupakan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Gedung-Gedung Negeri. Bangunan terdiri dari tiga ruangan besar dan enam kamar. Salah satu ruangan difungsikan jadi ruangan singgasana dengan atap yang menjulang. Gedung ini kemudian dipakai untuk dua loji, La Vertueuse dan Le Fidele Sincerite yang dileburkan pada tahun 1837 menjadi Loji Ster in het Oosten atau Bintang Timur.

Freemasonry kemudian tumbuh dengan cepat sekitar tahun 1870 di Hindia Belanda. Banyak pegawai tinggi Hindia Belanda yang menjadi anggota Freemasonry. Freemasonry di Indonesia tercatat memiliki lebih dari 20 loji yang tersebar dari mulai Aceh hingga Makassar. Pada 1894, ada 567 Mason di Jawa. Jumlahnya mencapai 1.071 orang di Jawa pada 1940 dan 191 orang di Sumatra dan Sulawesi.

Loji Bintang Timur digunakan sebagai loji hingga tahun 1934. Keberadaan loji ini juga memengaruhi nama jalan di mana loji ini berada. Jalan Budi Utomo dulu namanya adalah Jalan Vrijmetselaars atau Vrijmetselar weg. Vrijmetselaarij merupakan istilah Freemason dalam bahasa Belanda. Sama seperti loji-loji Freemasonry lain, gedung ini disebut sebagai rumah setan karena aktivitas anggota Freemasonry yang dianggap sebagai perkumpulan pemuja setan. Gedung lalu dibeli kantor perusahaan farmasi Belanda NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co. dan diambil alih Presiden Sukarno sesudah kemerdekaan. Namanya kemudian diganti menjadi Kimia Farma.

Pada tahun 1934, Loji Bintang Timur memindahkan tempat pemujaannya ke Gedung Adhuc Stat (Masih Ada atau Berdiri Hingga Kini) yang berada di di depan Taman Suropati, Menteng. Loji ini merupakan salah satu dari 25 loji yang tercatat ada di Indonesia hingga 1930-an. Gedung ini dibangun pada tahun 1880 dan direnovasi secara besar-besaran oleh arsitek Ir. F.J.L Ghisel dengan nama biro arsitek dan kontraktor Algemeen Ingenieurs en Architecten Bureau (AIA) pada 1925 dan dirancang sebagai loji oleh Ir. N.E. Burkoven Jaspers pada 1934. Lokasi loji baru ini tak terlepas dari campur tangan salah satu anggota vrijmentselaarij yang bernama Bisschop menjadi walikota Batavia (1916-1920). Namanya bahkan dipakai untuk taman di tengah-tengah Menteng, yaitu Burgemeester Bisschopplein (kini Taman Suropati). Loji ini merupakan titik penting dalam perencanaan wilayah Menteng kala itu.

Bangunan ini memiliki bagian bagian tengah yang memanjang dan diapit oleh dua menara. Dulu di gedung ini terdapat simbol-simbol Freemasonry seperti jangka dan segitiga yang jika disambung dengan garis akan membentuk Bintang David, serta semboyan Adhuc Stat (kini dihilangkan dan digantikan dengan tulisan Bapennas). Kegiatan di gedung ini sempat non aktif saat penjajahan Jepang dan kembali aktif setelah Indonesia merdeka. Loji Bintang Timur berganti nama menjadi Purwa Daksina. Pergantian nama dilakukan karena sentimen anti Belanda menguat pada awal kemerdekaan. 

Setelah organisasi ini dilarang oleh pemerintah pada tahun 1962, gedung berubah menjadi Kantor Dewan Perencanaan Nasional dan kemudian pada tahun 1966 menjadi mahkamah militer yang mengadili tokoh-tokoh Gerakan 30 September (G30S). Baru pada tahun 1967 gedung tersebut menjadi kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) hingga sekarang. Sama seperti Gedung Kimia Farma, bangunan ini juga disebut sebagai rumah setan karena kegiatan yang dilakukan oleh anggota Freemasonry. Sisa-sisa peninggalan loji ini bisa dilihat di gedung utama. Di sebuah ruang besar terdapat lantai yang berpola catur. Pola ini juga menjadi simbol dari Freemasonry.

Warisan Peninggalan Freemasonry

Kembali ke tokoh sentral Freemasonry di Hindia Belanda, Jacobus Cornelis Mattheus Radermacher. Saat kembali ke Belanda, Radermacher bergabung dengan Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen (Perkumpulan Seni dan Sains Haarlem). Sekembalinya ke Hindia Belanda, Radermacher mendirikan perkumpulan serupa: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Seni dan Sains Batavia) pada 24 April 1778. Bataviaasch Genootschap merupakan salah satu institusi sains tertua di Asia, bahkan yang pertama di Asia Tenggara. Perkumpulan ini yang kemudian menjadi cikal bakal Museum Nasional.

Radermacher menyumbangkan sebuah rumah di Kali Besar untuk aktivitas Bataviaasch Genootschap, berikut delapan peti kayu berisi buku-buku berharga dari Eropa, koleksi hewan, fosil, bebatuan, beberapa instrumen musik Jawa, beraneka ragam mata uang koin, bahkan sebuah taman untuk kepentingan riset botani. Aktivitas Bataviaasch Genootschap menurun drastis setelah Radermacher meninggal dalam perjalanan pulang ke Belanda tahun 1783. Warisan Radermacher melalui Bataviaasch Genootschap lainnya adalah cikal bakal Perpustakaan Nasional. Peninggalan artefaknya menjadi koleksi Museum Nasional, buku-buku diserahkan kepada Perpustakaan Nasional, dan arsip-arsip berharga tersimpan di Arsip Nasional.

Di Jakarta sendiri, disinyalir ada banyak tempat yang dianggap sebagai simbol mata satu, sebuah simbol yang erat kaitannya dengan Freemasonry. Beberapa diantaranya adalah Bundaran Hotel Indonesia. Bundaran ini sudah sangat lama disebut-sebut sebagai simbol Freemasonry. Jika dilihat dari atas, bundaran ini menyerupai simbol mata satu. Jalur yang berada di sekitaran Bundaran HI persis menunjukkan alis dan bagian bawah mata. Banyak yang mempercayai jika Bundaran HI adalah peninggalan Freemason, walau ini masih sebatas mitos. Lalu Taman Suropati, yang jika dilihat dari atas menyerupai kepala kambing bertanduk alias bhapomet. Bhapomet adalah dewa romawi kuno yang sering kali jadi lambang pemujaan setan. Digambarkan Jalan Madiun dan Jalan Banyumas sebagai tanduk sebelah kanan, sedangkan Jalan Subang serta Jalan Cimahi menjadi tanduk sebelah kiri.

Bundaran Hotel Indonesia dari atas dianggap menggambarkan simbol mata satu

Peta Taman Suropati dari atas, dianggap mirip Baphomet

Sampailah kita di Gereja Immanuel atau GPIB Immanuel. Gereja yang terletak di Jalan Medan Merdeka Timur ini dulunya bernama Willemskerk atau Gereja Willem. Pemberian nama ini sebagai bentuk penghormatan terhadap Raja Willem I yang memprakarsai berdirinya sebuah gereja untuk mempersatukan dua kelompok jemaat Protestan yang ada di Batavia, yaitu Lutheran dan Hervormd atau Reformasi. Gereja Willem didirikan tahun 1835 dengan upacara peletakan batu pertama dilakukan bertepatan pada hari ulang tahun Raja Willem I tanggal 24 Agustus. Empat tahun kemudian, 24 Agustus 1839, pembangunan berhasil diselesaikan.

Bangunan gereja bergaya klasisisme ini dirancang oleh Johan Hendrik Horst. Dia termasuk golongan pejabat di Hindia Belanda, saat pembangunan gereja ini dia tercatat sebagai petugas pajak dan pengukuran tanah (Landmeter en Taxateur te Batavia). Dia juga bukan seorang arsitek dan belum pernah ke Eropa, karena dia lahir dan hidup di Batavia. Atap bangunan Willemskerk berbentuk kubah dengan lengkungan yang agak landai, mirip bangunan Pantheon di Roma. Menara bundar atau lantern yang pendek di atas kubah dihiasi plesteran bunga teratai dengan enam helai daun, simbol Mesir untuk dewi cahaya. Lantern ini dimaksudkan sebagai sumber cahaya, jadi akan tetap ada sinar di dalam bangunan gereja meski seluruh pintu dan jendela ditutup.

Lalu apa kaitannnya Gereja Immanuel dengan Freemasonry? Bisa dibilang, salah satu pendetanya Ds. Albertus Samuel Carpentier Alting adalah seorang anggota Freemason (meski belum ada kaitan yang jelas, karena Alting lebih sering berkotbah di Gereja Immanuel yang berada di Semarang). Alting adalah alumnus teologi di Universitas Leiden dan memiliki pengaruh kuat dalam jajaran Freemasonry di Hindia Belanda. Alting kemudian mendirikan sebuah yayasan yang dinamakan Carpentier Alting Stiching atau CAS yang bernaung di bawah Ordo Freemasonry Hindia Belanda atau Ordo van Vrijmetselaren Nederlansche Oost Indie. Pada 1902 didirikan Sekolah Menengah khusus bagi wanita (Hoogere Burgere School/HBS), yang merupakan usaha pendidikan pertama di Hindia Belanda. Gedung Galeri Nasional yang berada tak jauh dari Gereja Immanuel dipergunakan untuk asrama khusus bagi wanita yang bersekolah di HBS CAS. Selain itu dia juga mendirikan sekolah tingkat dasar di Menteng, yang kini menjadi SD Besuki. Sekolah CAS menerapkan semangat inklusif dan pluralisme, serta tidak mengenal perbedaan agama, semua masyarakat dari berbagai agama diperbolehkan menimba ilmu di sekolahnya. Selain itu model sistem pendidikannya modern dan sangat berkiblat ke Barat. Pada tahun 1952, CAS mendapatkan reputasi besar di kalangan Freemasonry.

Gedung Galeri Nasional merupakan bekas asrama bagi wanita yang bersekolah di HBS CAS (source: galeri-nasional.or.id)

SD Besuki dulunya milik yayasan CAS (source: validnews.id)

Pada tahun 1955, pemerintahan Republik Indonesia melarang kegiatan yang berkaitan dengan Belanda. Raden Said Soekanto Tjokodiatmodjo, Kepala Kepolisian pertama RI dan kader inti Freemason mengatur strategi dengan mengganti nama Yayasan Carpentier Alting menjadi Yayasan Raden Saleh pada tahun 1958. Penamaan ini kemungkinan erat kaitannya dengan keanggotaan Radeh Saleh sebagai anggota Freemason. Bangunan dan pengelolaan sekolah kemudian dialihkan kepada Yayasan Raden Saleh yang juga masih penerus CAS dan tetap di bawah gerakan Vijmetselaren Lorge. Saat pemerintah Indonesia melarang gerakan Freemasonry pada tahun 1962, yayasan ini pun dibubarkan. Sekolah-sekolah beserta segala peralatannya diambil alih oleh pemerintahan Republik Indonesia dan diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Peninggalan Freemason di Jakarta juga bisa secara jelas kita lihat di Museum Taman Prasasti. Di gerbang pintu museum, kita bisa menemukan simbol tangan yang menggenggam palu. Simbol ini menggambarkan wewenang seorang Grand Master atas sebuah pemondokan dan juga murid-muridnya. Di samping kiri pintu masuk, terdapat nisan dengan simbol jangka dan siku. serta simbol mata dan segitiga di atasnya. Nisan itu diketahui milik seorang serdadu VOC.

Di bagian dalam terdapat beberapa nisan dengan ukiran tengkorak dan sepasang tulang yang bersilang. Simbol ini merupakan salah satu ciri khas Freemason yang melambangkan konsep Memento Mori atau Pesan Ingat Kematian dalam ajaran Freemasonry dan hanya diberikan kepada Grand Master dan anggota Freemason level atas. Selain itu juga lambang heksagram atau Bintang David bisa ditemui di beberapa nisan, salah satunya nisan Johan Herman Rudolf Köhler, Panglima Angkatan Perang Belanda dalam Agresi Pertama yang menundukkan Istana Sultan Aceh pada 1873. Dalam serangan ke Aceh, dia salah mengira Masjid Baiturrahman sebagai benteng Sultan Aceh. Köhler dalam peperangan di Aceh dan disinyalir merupakan anggota Freemason (meski sebenarnya dia keturunan Yahudi). Bahkan di nisannya juga terdapat Ouroboros atau ular yang menggigit ekornya, yang juga merupakan simbol dari Teosofi.

Bicara tentang simbol-simbol ini, orang-orang freemason memang memiliki lambang-lambang atau simbol-simbol sendiri yang disebut dengan Saror. Artinya tersembunyi, sangat tersembunyi, dan rahasia sama seperti organisasinya. Saror itu bisa berbentuk lambang, gerakan tangan, siulan, relief, patung, angka-angka, dan juga warna. Di mana hanya anggota Freemason yang memahami simbol dan lambang rahasia ini.

Lalu siapa saja yang menjadi anggota Freemason di Indonesia? Apakah Freemasonry sama dengan Illuminati? Perjalanan kita belum selesai sampai di sini. Saya sendiri juga penasaran dengan anggota dari Freemason di Indonesia. Bahkan ada yang menjadi pejabat penting di negara ini. Bisa jadi keberadaan mereka masih ada. Penasaran? Tunggu di tulisan saya berikutnya ya. Sampai jumpa!

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s