JAKARTA: Sudut-Sudut Pinangsia, Part 1

Mungkin banyak yang tak mengetahui tentang sudut kota yang satu ini. Jika ditanya di manakah Pinangsia? Mungkin banyak yang tahu di mana lokasinya. Padahal lokasinya dekat dengan kawasan kota tua Jakarta. Nah kali ini saya berkesempatan untuk menjelajahi kawasan Pinangsia bersama Jakarta Good Guide. Penasaran juga dengan tempat ini, karena seumur-umur hanya beberapa kali melintasi Jalan Pinangsia Raya. Di daerah ini rupanya banyak sekali sejarah tentang bisnis paling tua di dunia dan juga tentang klub olahraga yang melahirkan banyak pemain profesional di Batavia. Penasaran kan? Yuk kita mulai!

Benih Bisnis ‘Lendir’ di Batavia

Kita mulai dari dua jembatan yang dulunya merupakan batas terluar dari Batavia. Keduanya berada di atas Kali Ciliwung. Jembatan yang pertama adalah Jembatan Batu atau Jassemburg, letaknya tepat di belakang Stasiun BEOS atau Jakarta Kota. Ada juga yang menyebutnya dengan Jembatan Senti. Kalau menurut beberapa referensi, lokasi di seberang Gereja Sion yang berada di Oud-Jacatraweg (sekarang Jalan Pangeran Jayakarta). Entah ini nama jembatan yang sama atau justru dua nama jembatan yang berbeda. Oya, menurut pemandu saya waktu itu. Nama “Batu” muncul karena dulunya di sekitar jembatan terdapat pedagang batu nisan. Batu-batu nisan ini berjejer di tepian jalan (karena jalan ini juga merupakan akses ke pemakaman masyarakat Tionghoa atau Sentiong. Sehingga kemudian nama jembatan ini dikenal dengan sebutan Jembatan Batu.

Di Jembatan Batu ini yang sangat tersohor bukanlah bangunan jembatannya, melainkan adanya pelacuran di lokasi ini. Praktik pelacuran sendiri sudah ada di Batavia sejak abad ke-17. Pada masa ini muncul pelacuran karena banyaknya para pendatang dari Eropa maupun Tiongkok tanpa istri. Prostitusi pertama di Jakarta bernama Macao Po, yang lokasinya di Jembatan Batu atau di dekat Stasiun BEOS. Dulunya Macao Po berdekatan dengan hotel-hotel di depan Stasion BEOS. Sebutan Macao Po diberikan karena wanita penghiburnya didatangkan dari Makau oleh germo atau muncikari dari Tionghoa dan Portugis. Para pelacur ini biasa disebut cabo, yang berasal dari kata caibo yang bahasa Tionghoa artinya adalah wanita malam.

Prostitusi di Kalijodo. source: boombastis.com

Tempat pelacuran di Macao Po ini berbentuk rumah-rumah dan dari luar, para pelacur bisa dilihat dari jendela yang terbuka. Pelanggannya adalah kalangan atas Tionghoa dan Belanda. Sedangkan para pemuda lokal hanya bisa melihat wanita penghibur ini dari Jembatan Batu sambil menggoda menyanyikan lagu keroncong.

Kawasan pelacuran kala itu memang bisa dibagi sesuai dengan pelanggannya. Di Binnestadt, sekitar Kota Inten atau di terminal angkutan umum Jakarta Kota sekarang merupakan kawasan khusus pelacuran untuk warga dan tentara Belanda. Untuk kelas menangah ke bawah ada di Gang Mangga, yang berada di arah timur Jembatan Batu. Pelacurnya beragam etnis dari Tionghoa hingga pribumi dan keturunan atau indo. Saking murahnya, membuat kebersihan dan kesehatan para pelacur di sini juga tak terjamin. Kemudian merebaklah penyakit sifilis yang identik dengan pelacuran Gang Mangga yang kemudian memunculkan istilah penyakit Gang Mangga.

Pelacuran di Gang Mangga kemudian tersaingi dengan rumah-rumah bordil yang didirikan orang Tionghoa di Glodok yang disebut Soehian. Awalnya Soehian adalah rumah hiburan, di mana pengunjungnya bisa mendengarkan musik gambang kromong sambil minum teh dan menikmati suara merdu wayang ciokek (penyanyi gambang). Namun kemudian lama kelamaan berubah menjadi rumah bordil. Sayangnya karena sering terjadi keributan dan tragedi tewasnya beberapa pelacur, membuat Soehian tutup pada awal abad ke-20. Banyak para pelacurnya yang kemudian menjajakan diri di jalanan, seperti di Gang Kaligot, Sawah Besar dan Gang Heube, Petojo. Meski sudah tutup, kata Soehian tidak pernah hilang dalam dialek Betawi untuk menunjukkan kata sial.  Dasar suwean atau suwe!

Kawasan pelacuran lainnya juga tumbuh pada tahun 1800-an di Jilakeng, atau yang kita kenal sekarang dengan Jalan Perniagaan Barat. Jilakeng sendiri berasal dari kata “ji lak keng” yang artinya dua puluh enam bangunan. Bangunan di kawasan ini biasanya terdiri dari dua lantai. Lantai bawah biasa digunakan untuk berjudi dan menikmati opium, sambil ditemani pelacur yang rata-rata pribumi atau kiau seng (peranakan Tionghoa-pribumi), sedangkan lantai atas digunakan sebagai tempat prostitusi. Pengelolanya sendiri adalah warga Tionghoa. Salah satu bangunan bekas Jilakeng sempat menjadi toko obat Lay An Tong yang berada di sudut antara Jalan Perniagaan Barat dan Jalan Perniagaan Raya.

Bekas tembok luar Batavia.

Pabrik Arak Batavia

Ada sebuah ungkapan, “Arak Batavia; dikuasai orang Tionghoa, dicintai orang Eropa”. Ungkapan ini benar adanya, karena pada era kolonial, Pada era kolonial, arak Batavia pernah menjadi minuman primadona di negara-negara Eropa. Arak sendiri berasal dari kata harak yang artinya berarti minuman keras atau beralkhohol dan sudah muncul dalam kitab Kakawin Nagarakretagama yang ditulis pada tahun 1365. Awalnya arak Batavia dibuat pada awal abad 17 dengan air tebu dan fermentasi beras merah. Namun kemudian berkembang seiring dengan tumbuhnya industri pengolahan tebu di Batavia. Kala itu para pemilik pabrik gula di Batavia kerap menyimpan cairan sisa olahan tebu dalam drum-drum besar. Setelah dicampur dengan ragi, cairan itu didiamkan beberapa lama hingga proses fermentasi terjadi dan hasilnya menjadi arak tebu atau yang juga dikenal dengan nama arak China atau ciu. Bisa dibilang pembuatannya melalui proses penyulingan murni dan sebelum dimasukan ke dalam botol-botol, arak China juga disimpan dalam jangka waktu tertentu supaya beraroma. 

Lokasi bekas pabrik arak Batavia.

Arak China ini yang paling berkualitas dan paling diminati oleh penduduk Batavia, bahkan oleh orang Eropa arak China disebut sebagai arak Batavia atau arak “api” karena tingginya kadar alkohol yang terkandung dalam minuman ini. Rahasia pembuatan arak Batavia ini terbilang tertutup karena hanya diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya. Pabrik penyulingan arak di Batavia hampir seluruhnya dikuasai orang Tionghoa. Penyulingan arak pun jadi industri utama di Batavia sejak tahun 1611. Salah satu yang terkenal adalah pabrik arak Goan Soen di kawasan Jembatan Senti yang berdiri sejak tahun 1682. Kala itu arak Batavia didistribusikan lewat jalur sungai di Batavia.

Suasana pabrik arak Batavia dan sebotol Batavia-Arrack van Oosten.

Saat Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC berkuasa di Batavia, arak semakin populer di kalangan orang-orang Eropa yang tinggal kota tersebut. Pada 1619, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen bahkan menyerukan agar warga Batavia minum arak setiap pagi sebelum beraktivitas agar terhindar dari penyakit tropis. “Bangsa kita harus minum atau mati!”

Pada pertengahan abad-18 ada tiga jenis arak yang beredar di Batavia , yaitu arak pribumi (kukusan) atau arak pantai, arak China atau arak Batavia, dan arak Eropa. Para pedagang keliling menjual arak dengan wadah terbuat dari batang bambu dengan panjang kurang lebih 25 sentimeter. Bagian tengahnya dibersihkan dan dibuat lubang sehingga bambu tersebut dapat digunakan sebagai wadah arak. Batavia Arrack van Oosten yang mengandung 50 persen alkohol menjadi terkenal pada abad ke-18 di seluruh Indonesia. Industri arak Batavia kemudian terkenal di seantero negeri, terutama di Asia dan sebagian besar Eropa. Kapten James Cook pun terpesona dengan keampuhan arak Batavia yang membuat seorang awaknya tak pernah jatuh sakit. Penjelajah Portugis, Marco Polo, saat datang ke Batavia juga sempat mencicipi arak yang disuguhkan masyarakat lokal.

Pada masa jayanya, ada puluhan pabrik penyulingan arak di Batavia. Sekitar tahun 1793, jumlah pabrik arak telah mencapai 20 buah. Setiap pabrik bahkan bisa menyiapkan 100 drum arak per hari, setiap tong berisi 563 liter arak. Kejayaan ini dipengaruhi oleh jumlah pabrik gula yang ada di Batavia. Pada tahun 1710 pabrik gula di Batavia sendiri sudah mencapai 130 pabrik. Belum ditambah dengan penggilingan tebu di Batavia yang mencapai 131 pabrik. Tak heran jika kemudian muncul tempat-tempat minum di sepanjang Kali Ciliwung. Pada tahun 1744 jumlah kedai hanya selusin, namun pada 1777 jumlah itu sudah jauh meningkat menjadi 102 buah. 

Ketenaran arak Batavia hingga dataran Eropa membuat hampir semua arak Batavia diekspor ke sana. Pada tahun 1862, Batavia mampu mengekspor sekitar 5,3 juta botol arak dengan kandungan alkohol sekitar 50% ke beberapa negara Eropa, seperti Jerman, Inggris, dan Swedia. Meskipun minuman-minuman baru terus bermunculan, arak Batavia mampu mempertahankan popularitasnya di daratan Eropa hingga pertengahan tahun 1800-an.

Sayangnya industri arak Batavia ini sudah tak ada lagi dan bisa dikatakan ilegal. Padahal jika masih ada dan diikuti regulasi yang jelas, arak ini akan menjadi kebanggaan tersendiri. Bisa jadi ketika jalan-jalan ke Pinangsia, kita bisa sekalian arak tasting layaknya wine tasting. Baiklah, perjalanan masih sangat panjang dan belum sampai masuk ke dalam kawasan Pinangsia. Penjelajahan kita akhiri sementara di sini dan tunggu di bagian berikutnya ya!

Leave a comment