

Kini kita melanjutkan perjalanan di sekitar Jembatan Batu, atau masih di kawasan terluar Pinangsia. Di sini banyak sekali rumah abu serta beberapa bangunan bekas kota tua Batavia. Bahkan di antaranya masih ada kaitannya dengan pergolakan politik di Tiongkok dataran dan kehidupan etnis Tionghoa di Batavia yang ikut mempengaruhi perpolitikan Bangsa Indonesia dengan negeri Tiongkok.
Sekolah Khusus Etnis Tionghoa
Tak jauh dari Jembatan Batu, ada satu bangunan sekolah yang sangat khas. Sekolah Dasar Negeri Pinangsia 06 Pagi dan Sekolah Menengah Pertama Negeri 22 Jakarta ini dulunya adalah bekas bangunan Sekolah Kuomintang. Memang tak banyak informasi kapan bangunan ini didirikan, hanya tulisan 1910 di atas bangunan aula yang mungkin menandakan tahun berdirinya bangunan sekolah. Di kawasan sekolah ini, ada satu bangunan kelas dan aula yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Tahun 2017 sempat direhabilitasi karena kondisinya yang rapuh, selain itu sempat diwarna relokasi warga yang dulunya adalah keluarga kepala sekolah yang menempati ruang kelas sebagai tempat tinggal. Lalu, apa itu sekolah Kuomintang? Kita coba telusuri dulu sejarahnya.





Dulu ada sebuah organisasi Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) atau Rumah Perkumpulan Tionghoa yang didirikan beberapa tokoh keturunan Tionghoa di Batavia pada 17 Maret 1900. Tujuan didirikannya organisasi adalah untuk mendorong orang Tionghoa yang bermukim di Hindia Belanda untuk mengenal identitasnya melalui penyebarluasan ajaran Kong Hu Cu atau ajaran Konfusius. Kebanyakan tokoh yang mendorong hal ini adalah orang Tionghoa totok, yang menganggap orang Tionghoa peranakan tak lagi ingat identitasnya sebagai orang Tionghoa. Salah satu usaha yang dilakukan adalah mendirikan sekolah yang dinamakan Tiong Hoa Hak Tong pada 17 Maret 1901, yang kemudian berganti nama menjadi sekolah Tiong Hoa Hwee Koan. Lokasi sekolah ini berada di Jalan Patekoan nomor 31 (atau kini Jalan Perniagaan Raya). Guru-gurunya pun didatangkan langsung dari Tiongkok. THHK juga mendirikan beberapa sekolah dan untuk membedakan nama sekolahnya, sekolah ini dinamakan Patekoan Tiong Hoa Hwe Koan School dan disingkat menjadi Sekolah PA HOA. Sekolah PA HOA merupakan sekolah Tiong Hoa pertama dan swasta pertama yang berdiri di Hindia Belanda kala itu.
Berdirinya sekolah ini juga merupakan reaksi masyarakat Tionghoa di Batavia, karena pemerintah Belanda tidak pernah memberikan pendidikan kepada anak-anak Tionghoa. Bahkan saking pesatnya perkembangan sekolah THHK, sekolah ini tersebar di beberapa daerah seperti THHK Batavia (BA HOA), THHK Tegal (ZE HOA), THHK Bandung (LUNG HOA), THHK Bogor (MAU HOA), THHK Serang (SHI HOA), THHK Tanah Abang (DAN HOA), THHK Pasar Baru (SIN HOA), dan THHK Garut (YA HOA).
Pemerintah Belanda pun tak ingin kalah dengan mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS), sekolah berbahasa Belanda bagi anak Tionghoa pada tahun 1907. Nah, apa hubungannya dengan bangunan yang ada di Pinangsia? Mungkin begini korelasinya. Pada tahun 1942, saat Jepang menduduki Indonesia, sekolah PA HOA pun ditutup dan mengubah gedung sekolah menjadi kamp internir untuk tawanan perang. Namun kemudian Jepang memberi izin pembukaan kembali Sekolah PA HOA di Jalan Mangga Besar pada Juli 1942. Lalu pada tahun 1943, sekolah PA HOA mendapat pinjaman gedung bekas sekolah HCS di Jalan Pinangsia. Kala itu sekolah PA HOA memiliki tiga gedung, di Jalan Mangga Besar, Jalan Pinangsia, dan Jalan Ketapang.
Namun berikutnya sudah tidak jelas, khususnya saat pemerintah orde baru menutup sekolah-sekolah berbahasa Mandarin. Pada tahun 1966, sekolah PA HOA di Blandongan dan Sekolah JPP di Jalan Perniagaan dan di Jalan Mangga Besar ditutup oleh pemerintah. Salah satu gedung sekolah di Jalan Perniagaan diubah menjadi SMA Negeri 19, demikian gedung-gedung sekolah lainnya yang diubah menjadi gedung sekolah negeri.



Rumah abu di kawasan Pinangsia dan rumah bercorak Tionghoa yang tidak terawat.
Rumah Abu di Dalam Sekolah
Berlanjut ke salah satu gedung yang berada di seberang Stasiun BEOS, yaitu Gedung OLVEH. Gedung ini dibangun oleh biro arsitek Schoemaker pada 1921. Dulu bangunan ini dibangun untuk kantor cabang perusahaan asuransi jiwa Belanda, Onderlinge Levensverzekering van Eigen Hulp atau disingkat menjadi OLVEH.



Gedung yang direvitalisasi dan dibuka kembali pada 2016 ini dibalut dengan cat warna putih di bagian luar gedungnya. Untuk interiornya, batu bata dibiarkan begitu saja di dindingnya dan lantainya dilapisi marmer putih. Gedung ini terdiri dari 3 lantai, konon OLVEH hanya menggunakan lantai paling atas. Bangunan ini bergaya art deco dengan menggunakan ciri kubisme yang sering digunakan pada masa itu. Salah satu yang menonjol dari gedung ini adalah dua kubah besar yang ada di atasnya.









Gedung yang mulai dioperasikan pada 7 Januari 1922 ini terletak di Jalan Jembatan Batu No 50, Pinangsia, yang dulu disebut Vorrij Zuid. Gedung ini termasuk berada di kawasan Voorstad, yang berada di luar kawasan pusat Batavia bagian selatan. Kawasan ini dirancang oleh VOC untuk lokasi bisnis dan pemukiman masyarakat Tionghoa. Jika menuju ke balkon belakang gedung ini, kita bisa melihat kelenteng Setia Dharma Marga. Oya, ada yang unik di depan gedung ini yaotu beda tinggi antara pintu masuknya dan jalan yang berada di depannya. Jika ditarik ke belakang, dulu tinggi kota Batavia adalah setinggi lantai pintu masuk gedung ini. Dikarenakan karena sering banjir, jalanan pun ditinggikan. Bahkan tak terasa kini tingginya satu meter dari lantai pintu masuk gedung ini.
Kalau tadi sempat diceritakan jika dari balkon belakang gedung OLVEH kita bisa melihat kelenteng Setia Dharma Marga, sekarang kita akan melihat langsung ke lokasinya. Sebenarnya bangunan ini adalah rumah abu dan lokasinya tepat berada di dalam sekolah, yaitu SD Negeri Pinangsia (03 Pagi dan 05 Pagi). Saya membayangkan betapa seramnya jika bersekolah di sini, tapi nyatanya anak-anak dengan santainya bersekolah di sini.







Bangunan ini juga dikenal dengan sebutan “Rumah Papan Arwah” dan dimiliki oleh yayasan masyarakat Tionghoa bernama Setia Dharma Marga. Di sini masih tersimpan ratusan papan peringatan orang-orang yang sudah meninggal dari beberapa warga. Papan ini biasa disebut dengan Shen Zhu Pai. Shen sendiri artinya alam roh, Zhu artinya majikan atau pemilik, dan Pai artinya peringatan atau pengenal. Di dalam papan ini berisikan informasi tentang nama marga, jumlah anak dan nama-namanya, dan tahun meninggalnya. Sayangnya kondisi rumah abu ini kurang terawat.
Kuomintang dan Kebijakan Satu Tiongkok
Tepat di depan rumah abu ini, atau di belakang Gedung OLVEH ada satu bangunan yang dulunya ada bekas Gedung Kantor Kuomintang. Kuomintang (KMT) atau Guomindang adalah Partai Nasionalis Tiongkok yang merupakan partai politik tertua dalam sejarah modern Tiongkok. Didirikan oleh Sun Yat-Sen dan bertujuan untuk melakukan revolusi melawan Kekaisaran Qing dan mendirikan Republik Tiongkok pada Januari 1912, sebagai bentuk pembaruan di Tiongkok. Namun hal ini tentunya mendapat tentangan, dan hal ini kemudian mendorong terjadinya migrasi karena persoalan politik dan keamanan di Tiongkok.





Walau begitu, semangat nasionalisme dan keinginan untuk mendirikan republik pun ikut menyebar di komunitas-komunitas Tionghoa di luar Tiongkok. Untuk menyebarkan pemikiran revolusioner di kalangan perantauan, dibukalah Kamar Baca atau Soe Po Sia. Salah satunya di Batavia yang berdiri pada tahun 1908. Perkumpulan ini memiliki fungsi politik dan pendidikan. Kalau pendidikannya terlihat mencolok melalui perkumpulan kamar baca, politiknya berjalan rahasia. Hal ini dikarenakan pemerintah Belanda melarang kegiatan politik orang Tionghoa. Tujuan dari Soe Po Sia sendiri adalah mempropagandakan kecintaan terhadap Tiongkok dan rasa bangga sebagai orang Tionghoa. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah menerbitkan surat kabar. Di Batavia mereka menerbitkan Hoa Tok Po (surat kabar Tionghoa) dengan bahasa Mandarin dan Melayu yang terbit dua kali seminggu. Tentunya untuk menyebarluaskan nasionalisme Tiongkok.
Namun masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda kemudian tak satu suara karea imbas perang saudara di Tiongkok. Ada yang pro Kuomintang dan ada juga yang pro Partai Komunis Tiongkok. Bahkan saat kemerdekaan Indonesia, Kuomintang sebagai sekutu Belanda tidak mengakui berdirinya Republik Indonesia pada tahun 1945. Hingga kemudian Kuomintang kalah dalam perang saudara dan pindah ke Taipei. Pada tahun 1958, pemerintah Indonesia menutup semua organisasi, sekolah, surat kabar dan perusahaan yang memiliki hubungan Kuomintang. Para pemimpin komunitas Tionghoa yang pro Kuomintang juga ditangkap. Indonesia tidak secara resmi mengakui Republik Tiongkok (Taiwan) karena mengadopsi Kebijakan Satu Tiongkok; yang secara resmi hanya mengakui Republik Rakyat Tiongkok sejak tahun 1950.
Perjalanan menyusuri kawasan terluar Pinangsia sampai di rumah abu yang ada di dalam sekolah. Selanjutnya kita akan masuk ke dalam kawasan Pinangsia melalui Jalan Pinangsia Raya. Penasaran dengan penjelajahan saya berikutnya? Tunggu di bagian berikutnya ya!