JAKARTA: Sudut-Sudut Pinangsia, Part 3

Nah, kini akan masuk ke jalan yang menjadi tujuan penjelajahan kita, Jalan Pinangsia Raya. Kalau dari namanya, mungkin kita akan berpikiran jika namanya berasal dari pohon pinang. Tapi bukan ya, justru Pinangsia berasal dari kata Financienstraat, yang dalam Belanda artinya Jalan Keuangan. Orang Tionghoa totok yang tinggal di sekitar kawasan ini sulit mengejanya dan lebih suka menyebut pinansia. Hingga kemudian sebelum memasuki abad ke-210, pinansia berubah menjadi pinangsia.

Sejarah Kawasan Pinangsia

Kalau dari sejarahnya sendiri, dulu jalan ini dibangun oleh VOC pada tahun 1627 dan berada di dalam kota Batavia. Saat VOC membangun tembok kota, jalan yang mulanya bernama Koestraat pun berada di luar tembok kota. Baru pada tahun 1890, pemerintah Hindia Belanda menggantinya menjadi Financienstraat, karena kedua sisi jalan dipenuhi kantor bank dan kantor bisnis keuangan. Nama Koestraat pun digunakan lagi untuk jalan pendek yang kini bernama Jalan Pinangsia II. Lalu pada tahun 1954, ketika terjadi perubahan nama-nama jalan di Jakarta, Financienstraat berubah menjadi Jalan Pinangsia Raya. Pinangsia pun bukan lagi nama jalan tapi kawasan.

Selain Financienstraat, ada juga beberapa nama jalan yang kemudian berubah nama. Kalverstraat, jalan yang dibangun tahun 1622 menjadi Jalan Pinangsia III. Kalverstraat dalam Bahasa Belanda berarti anak lembu. Jalan ini dibangun ketika air dari Kali Molenvliet dialihkan ke timur, dan pada tahun 1627 jalan ini menghubungkan Tayolingracht ke arah timur dan bagian selatan Heerenstraat (kini Jalan Pintu Besar Selatan). Kalverstraat ini awalnya berada di dalam kota, namun setelah tembok kota di bangun pada tahun 1632, posisinya berada di luar.

Lalu ada Buiten Tijgersgracht yang selesai dibangun VOC pada tahun 1770 bersamaan dengan kanal di sisi jalan. Jalan ini adalah bagian selatan Tijgergracht, yang tidak memiliki kanal dan dibangun pada tahun 1627 bersamaan dengan rumah sakit VOC yang terletak di sebelah timur. Namun karena adanya pembangunan tembok kota, Tijgergracht berada di luar tembok dan rumah sakit VOC terpaksa dihancurkan. Pada masa Hindia Belanda, namanya berubah menjadi Buiten Tijgerstraat saat kanal di sisi jalan difungsikan kembali dan kini namanya menjadi Jalan Pinangsia I.

Kemudian Tayolingracht yang dibangun bersamaan dengan Tijgergracht pada tahun 1627 dan menjadi satu-satunya jalan penanda batas Oud Batavia. Lokasinya berada di ujung selatan tembok kota bagian timur dan jalannya sedikit miring ke tenggara, karena mengikuti tembok kota. Ketika kanal Tayolingracht difungsikan kembali pada tahun 1770, nama jalan berubah menjadi Buiten Kaaimanstraat dan kini menjadi Jalan Pinangsia Timur. Pada akhir abad ke-19, Buiten Kaaimanstraat terhubung ke selatan melalui jalan kecil bernama Gang Commandant, yang kini bernama Jalan Mangga Besar I.

Memasuki abad ke-20, Pinangsia menjadi kawasan yang dikenal oleh pebisnis keuangan. Namun tidak diketahui kapan bisnis keuangan di Pinangsia berakhir. Pada tahun 1980-an, Pinangsia dikenal sebagai pusat industri musik, di mana hampir seluruh perusahaan rekaman berkantor di kawasan ini. Saat ini yang masih tersisa dari kejayaan bisnis musik di sini hanyalah kantor Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI). Di era sekarang, Pinangsia lebih dikenal sebagai bisnis berbagai komoditas, seperti elektronik dan bahan bangunan.

Masih di kawasan Jalang Pinangsia Raya, ada satu gang yang menjadi lokasi Rumah Petak Pertama di Batavia. Di sini masih ada satu deret bangunan rumah petak. Lokasinya berada di Gang Asem. Bentuknya memanjang ke dalam, mirip dengan rumah petakan yang banyak kita temui di kawasan Jakarta saat ini. Bisa dibilang ini cikal bakal rumah petak modern yang sekarang ini. Rumah ini biasanya terdiri dari dua kamar tidur, serta dilengkapi dapur dan kamar mandi. Di bagian belakang rumah terdapat loteng untuk menjemur pakaian. Rumah petak ini kemungkinan dibangun pada tahun 1920. Bentuk arsitekturnya lebih tampak seperti rumah khas Tionghoa dengan atap pelana kuda dan struktur atapnya tinggi, supaya ada sirkulasi udara. Rumah-rumah ini disewakan dan saat ini dimiliki perorangan dan masih disewakan.

Keberagaman di Pinangsia

Di daerah Pinangsia, keberagamannya cukup terasa. Ada berbagai tempat ibadah dibangun di dareah ini. Salah satunya adalah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pinangsia. Awalnya jemaat gereja ini merupakan kelompok jemaat dari gereja yang ada di Jalan Patekoan (atau sekarang Jalan Perniagaan). Mereka ini merupakan Kristen Etnis Hokkien di Jalan Patekoandan pada tahun 1884, mereka mulai membangun gereja dan beribadah. Pada 28 September 1943, Pendeta Gouw Bo Tjay ditahbiskan untuk melayani kebaktian jemaat berbahasa Hokkien. Seiring berjalannya waktu, jemaatnya makin banyak dan bangunan gereja tidak mencukupi. Lalu pada tahun 1948, mereka memutuskan untuk mencari tempat baru dan akhirnya mendapatkan tempat di Jalan Pinangsia I No. 18.

Kelompok jemaat berbahasa Hokkien ini kemudian memulai ibadah pertamanya di tempat baru pada 11 April 1952 yang bertepatan dengan Hari Raya Paskah. Pada tahun 1990-an, gedung utama gereja direnovasi dan ditambahkan dengan aula bertingkat tiga lantai di halaman belakang. Lalu pada tahun 2009, gedung Pastori lama dibongkar dan dibangun pastori dan kantor yang baru.

Di seberang gereja, ada bangunan vihara atau kelenteng yang berada di dalam kawasan Sekolah Suci Hati. Nama vihara ini adalah Vihara Lupan atau sering juga dieja Lu Ban. Vihara ini dibangun oleh serikat tukang kayu dari Guang Dong pada abad ke-19. Bangunan ini dibangun dan dipersembahkan untuk Lu Ban Gong yang mereka anggap sebagai dewa pelindung para tukang kayu. Selain kelenteng ini, ada dua lagi yang dibangun di selatan Kali Angke dan di Surabaya. Di dalam kelenteng ini juga bisa kita temui beberapa peralatan tukang kayu, seperti penggaris.

Bicara tentang dewa pelindung para tukang kayu, ternyata ada sejarahnya. Dulu orang Tionghoa dari suku Konghu secara turun menurun menetap di pulau Jawa dan berprofesi sebagai tukang yang ahli dalam pengerjaan kayu dan batu. Kedatangan mereka dari Tiongkok diduga melalui dua tahap. Pertama adalah tukang kayu dari Kanton yang datang ke Jawa sebelum abad ke-17. Mereka ini yang menularkan keahlian kepada masyarakat lokal. Sedangkan yang kedua datang setelah abad ke-18. Mereka ini dikenal sangat piawai mengolah dan membuat perabotan dan konstruksi kayu. Khususnya yang datang dari daerah Guang Dong, memiliki keahlian di bidang ukir dan pahat, yang selanjutnya mewarnai seni ukir dan pahat di Indonesia. Bahkan mereka terus eksis di Nusantara sampai abad 19 dan 20. Keberadaan kelenteng ini menunjukkan bahwa para tukang kayu di masa itu telah hidup terorganisir dan mematahkan anggapan bahwa para orang Tiongkok yang datang ke Nusantara tidak memiliki keahlian apa-apa.

Salah satu sodetan Kali Ciliwung yang berada di kawasan Pinangsia. Rumah abu dan Vihara Kusalaratna di dekat Petak Sinkian.

Klub Sepakbola Tionghoa Pertama

Ada satu hal menarik di Pinangsia adalah adanya satu lapangan bola yang legendaris. Sepengalaman saya, ada satu yang berada di dekat daerah Petojo yang merupakan lapangan digunakan oleh klub sepak bola Hindia Belanda Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ). Nah yang satu ini adalah Lapangan Petak Sinkian yang berada di Jalan Ubi, Mangga Besar. Lapangan ini ternyata punya sejarah bagi etnis Tionghoa di Batavia. Dulu lapangan ini milik klub Union Make Strength (UMS), klub legendaris etnis Tionghoa Betawi yang berdiri pada 19 Desember 1905.

Semua bermula pada 15 Desember 1905, di mana perkumpulan olahraga Tiong Hoa Oen Tong Hwee (THOTH) berdiri. Perkumpulan olahraga ini kala itu hanya fokus ke atletik, namun kemudian berkembang ke sepak bola, bola sodok dan tenis. Kemudian pada 20 Februari 1912, berdiri pula Tiong Hoa Hwee Kian (THHK) yang didirikan oleh Oey Keng Seng dan Louw Hap Ie. Nama THHK kemudian diubah menjadi Union Makes Strength (UMS). Lalu di tahun 1923 atas atas kesepakatan para anggotanya, THOTH melebur ke dalam UMS dan untuk menghormati THOTH, pada 15 Desember 1905 dianggap sebagai berdirinya UMS. Klub ini juga bukan satu-satunya klub olahraga Tionghoa di Batavia. Ada Chung Hua Tjing Nen Hui (Tunas Jaya) dan juga BBSA (Bangka Belitong Sport Association). 

Sebelum era kemerdekaan, UMS merupakan klub tangguh yang kerap menjuarai kompetisi VBO (Voetballbond Batavia en Omstraken). Klub yang kala itu dihuni pemain keturunan Tionghoa berkali-kali menjurai VBO musim 1930, 1932, 1933, 1937, 1938, dan 1949. Hingga pada tahun 1950, VBO kemudian menjadi Persija dan UMS pun membuka pintu kepada warga pribumi. Setelah era kemerdekaan, UMS terus menelurkan pemain-pemain hebat seperti Kwee Tik Liong, Djamiaat Dalhar, Chris Ong, Kwee Kiat Sek, dan Yudo Hadiyanto. Mereka bahkan menjadi legenda sepakbola Indonesia. Lalu ada Mohammad Djamiat Dalhar, putra Betawi yang kemudian bersama Ramang dan San Liong menjadi penyerang tengah di PSSI di era 1950-an. 

Kesebelasan Union Makes Strength (UMS) yang dikenal sebagai klub olahraga etnis Tionghoa. source: encyclopedia.jakarta-tourism.go.id

Kembali ke Petak Sinkian. Lapangan ini merupakan salah satu lapangan yang digunakan untuk kompetisi bond-bond Persija pada medio 1950-an dan 1960-an. Kala itu, stadion utama Gelora Bung Karno belum dibangun dan baru digunakan pada Asian Games tahun 1962. Awalnya UMS menyewa lapangan klub Donar (Tjih Ying Hewi), hingga akhirnya menyewa kebun milik H. Manaf dengan tarif 6 gulden per bulannya. Dua pendiri UMS, Oey Keng Seng dan Louw Hap Ic kemudian membeli lapangan itu dari Haji Manaf. Lapangan yang semula kebon singkong itu pun berubah menjadi lapangan milik UMS. Sayangnya pada Januari 2011 terjadi penyitaan dan penggusuran lapangan karena ada pihak yang mengaku memiliki lahan tersebut. Namun karena Yayasan UMS merasa tanah ini sudah menjadi milik UMS sejak transaksi jual beli dengan Haji Manaf. Lapangan ini kemudian berstatus quo dan pengelolaan dipegang oleh Yayasan UMS.

Hal ini juga yang membuat kami tidak bisa masuk ke dalam lapangan ini, bahkan mengintip saja pun tidak bisa. Kami pun harus sedikit menjauh dan melihatnya dari pagar luar lapangan. Salah satu yang masih tersisa dari kejayaan lapangan ini adalah deretan bangku-bangku kayu yang sudah lama menjadi bagian dari stadion ini. Saat ini lapangan digunakan oleh Sekolah Sepak Bola (SSB) UMS yang berlatih pada pagi dan sore hari. Kadang sore harinya dipakai untuk latihan bagi tim senior dan terkadang para legenda UMS dan Persija ada bertandang ke stadion ini. Lapangan ini pun menjadi pemberhentian terakhir perjalanan mengelilingi Pinangsia. Sebenarnya ada banyak rumah abu yang menarik di sekitar Pinangsia, mungkin lain waktu akan kita jelajahi sendiri. Terima kasih sudah membaca dan sampai bertemu di perjalanan berikutnya!

2 thoughts

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s