JAKARTA: Sisi Barat Batavia, Part 1

Setelah beberapa bulan, saya baru menyadari jika ada satu rute perjalanan ke sisi barat Batavia bersama Jakarta Good Guide yang lupa ingin saya tulis. Rute ini kebalikan dari rute sisi timur Batavia, di mana kita masuk ke dalam gang dan melihat reruntuhan Kastil Batavia. Nah di sisi baratnya juga sama menariknya dengan sisi timur. Mulai dari bekas kota Batavia hingga Jakarta yang modern.

Dari Sudut Roa Malaka

Titik pertemuan saya dengan teman-teman dari Jakarta Good Guide dimulai dari Gedung Chartered Bank of India, Australia and China. Gedung berlantai dua ini didirikan pada Februari 1921 oleh arsitek asal Amsterdam, Belanda Eduard Gerard Hendrik Hubert Cuypers, yang merupakan keponakan dari arsitek tersohor Belanda Piere Cuypers. Bangunannya sendiri berarsitektur gaya neo klasik Renaissance. Awalnya nama bank ini adalah Nederlandsche Indische Handelsbank dan kemudian berubah menjadi De Nationale Handelsbank NV.

Hingga pada 1950 saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia, Bung Karno kemudian mengambil perusahaan-perusahaan milik Inggris yang mendukung Malaysia untuk dinasionalisasi menjadi Badan Usaha Negara. Lalu pada 1959 menjadi Bank Umum Negara dan pada 1965, Bank Umum Negara digabungkan ke dalam Bank Negara Indonesia dan berganti nama menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV. Sampai pada masa Orde Baru, tepatnya pada 1968 dipecah menjadi bank independen dengan nama Bank Bumi Daya. Bank ini kemudian bergabung dengan tiga bank lainnya pada Juli 1999 untuk membentuk Bank Mandiri. Kini, gedung Chartered Bank menjadi aset Bank Mandiri. Ada kabar bahwa bangunan bekas bank ini akan dijadikan hotel mewah oleh jaringan hotel Accor. Semoga kabar ini benar ya, karena bangunan ini termasuk bangunan dengan arsitektur terindah di Batavia pada masanya.

Selanjutnya kita menuju Jalan Malaka. Nama jalan ini menggambarkan nama daerah ini, yaitu Roa Malaka. Usut punya usut, asal namanya punya berbagai versi. Kalau versi pertama, Roa Malaka adalah gabungan dari kata ‘Rawa’ yang artinya daerah-rendah yang selalu basah karena air dan kata ‘Malaka’ yakni pohon malaka. Dulu daerah ini memang daerah yang berawa-rawa dan banyak ditumbuhi pohon malaka (Phyllanthus emblica). Pohon ini mirip pohon cereme, namun lebih besar dan tingginya bisa mencapai 18 meter, dan batangnya bengkok-bengkok.

Sedangkan versi kedua, Roa Malaka berasal dari kata bahasa Portugis Rua Malaka yang artinya Jalan Malaka. Kawasan ini dulunya pernah menjadi pemukiman orang-orang Portugis dari Malaka yang menjadi tawanan Belanda, setelah kota itu direbut Belanda dari tangan Portugis pada 1 Januari 1641. Sebagian orang-orang Portugis ditawan di India dan sebagian lagi di Batavia. Di antara tawanan perang yang tinggal di sini adalah mantan Gubernur Malaka, Dom Luís Martins de Sousa Chichorro. Kala itu tempat tawanan perang itu dalam bahasa Belanda dinamakan Jonkersgracht atau Jalan Bangsawan, yang kemudian lambat laun disebut Rua Malaka, dan akhirnya menjadi Roa Malaka.

Kawasan Pebisnis Tionghoa

Nah, di kawasan sisi barat tembok Batavia ini ternyata menyimpan banyak sejarah tentang para pedagang Tionghoa. Salah satunya yang berada di Jalan Tiang Bendera III. Ada sederetan ruko atau rumah toko bergaya Tionghoa yang dulunya adalah N.V. Handel MIJ Seng Tek Tjan. Ruko ini merupakan ciri khas hunian masyarakat Tionghoa, di mana bagian bawah dijadikan toko, sedangkan lantai atas menjadi tempat tinggalnya. Bangunan yang dominasi dengan warna hijau ini memiliki ciri khas yang sama seperti kebanyakan bangunan Tionghoa di Batavia, yaitu memiliki tiga pintu dan jeruji di bagian depan rumah.

Menurut sejarahnya, bangunan ruko ini pada pertengahan abad 19 oleh Lie Tuan Pie, yang kemudian mendirikan usaha Teh Tjap Daoen Thee atau PT Sari Rasa pada 1911. Teh ini bahkan masih eksis hingga sekarang dan dikelola oleh generasi keempat. Oya, jalanan di depan ruko ini dulu pada abad 18 masih berupa kanal yang disebut Rhinocerosgracht, yang kemudian diurug pada 1930-an. Setelah pada kemerdekaan, bekal urugan kanal ini banyak dibangun rumah.

Kita kemudian menuju pertigaan antara Jalan Malaka dan Jalan Malaka II. Ada bangunan di sudut jalan dengan tulisan PT Sinar Antjol yang terpampang jelas di atas gedung. Familiar dengan nama perusahaan ini? Ya, perusahaan ini yang memproduksi sabun colek yang namanya terkenal, yaitu Sabun B29. Kisah Sinar Antjol sendiri dimulai dari seorang laki-laki 16 tahun perantau asal Mojokerto, Jawa Timur bernama Sewu Gunawan atau Go So He. Ketika sedang berbelanja di Pasar Pagi, dia mendengar keluhan ibu-ibu yang sulit mendapatkan sabun cuci Sunlight Zeep atau yang terkenal dengan merek Tjap Tangan akibat krisis ekonomi yang melanda dunia di 1930. Banyak perusahaan yang bangkrut dan juga kenaikan harga bahan pokok. Tak hanya mahal tapi juga langka, termasuk sabun cuci andalan ibu-ibu; Tjap Tangan.

Sewu Gunawan atau Go So He, pendiri Sinar Antjol. source: twitter.com/Azmiabubakar12

Melihat kelangkaan sabun cuci ini membuat Sewu terdorong untuk memproduksi sabun cuci dengan harga murah. Dia pun mempelajari cara membuat sabun dari seorang guru kimia. Namun karena bahan utamanya harus didatangkan dari luar negeri dan harganya mahal, dia pun menggantinya dengan bahan gula dari tebu. Sewu kemudian membuka usaha skala rumahan pada 1942 di lahan seluas 300 meter persegi di Jalan Malaka dan mempekerjakan 100 pekerja. Meski produksinya sudah berjalan, Sewu masih kebingunan memberi nama merek dagang sabunnya. Hingga kemudian karena sering mendengar berita tentang Perang Pasifik dan masa akhir Perang Dunia 2 di radio, dia pun tergiang-ngiang dengan pesawat pengebom B29 milik Amerika Serikat. Dia pun terpikat dengan ketenaran pesawat ini dan melalui perusahaan Sinar Antjol, dia mendaftarkan merek dagang sabun B29.

Pelawak Ratmi B29. source: datatempo.co
Iklan Sabun B28 di Sunday Courier, 18 September 1955. source: twitter.com/Azmiabubakar12

Oya, sabun B29 dulunya bukan sabun krim atau sabun colek seperti yang kita kenal sekarang. Justru dulu bentuknya batangan. Namun kemudian berubah dari batangan menjadi krim karena lebih disenangi masyarakat. Selain mudah dipakai, sabun krim ini bisa digunakan untuk mencuci piring, perabot, pakaian, hingga kendaraan. Sabun ini kemudian memasuki masa kejayaan di 1970-an. Sinar Antjol pun menggandeng pelawak Suratmi untuk membintangi iklan sabun B29. Nama pelawak ini kemudian lebih dikenal dengan nama Ratmi B29, saking lekatnya citra sabun ini dengan dirinya. Sayangnya kesohoran sabun B29 makin meredup di akhir 1980-an karena makin banyak sabun sejenis yang muncul di pasaran. Kini tongkat estafet Sinar Antjol dilanjutkan oleh anaknya, Eka Gunawan. Di tangannya, sabun B29 dijual hingga ke Rusia dan Eropa.

Kisah dari Gang Orpa

Jalan Malaka II yang akan kita lalui berikutnya, ternyata menyimpan sebuah cerita menarik. Sebelum 1897, gang yang berada di sisi barat tembok Batavia ini merupakan perkampungan kecil yang dihuni sebagian besar oleh orang Jawa, Sunda, dan Tionghoa yang menjadi buruh kasar. Namanya dulu lebih dikenal dengan sebutan Kampung Miskin. Hingga pada 1931 namanya berubah menjadi Gang Orpa. Asal-usul namanya mungkin tak banyak yang tahu, termasuk orang-orang yang tinggal di sini. Orpa sendiri kemungkinan berasal dari bahasa Portugis, karena lokasinya dengan kawasan tempat tinggal Mardijkers, atau orang-orang Portugis yang menjadi budak dan tawanan setelah Malaka jatuh ke tangan Belanda pada 1641.

Kemungkinan nama jalan ini diberikan oleh Mardijkers, karena dalam bahasa Portugis orfa artinya yatim piatu dan kebetulan di Spinhuisgracht terdapat sebuah weeshuis atau panti asuhan. Karena pengucapan huruf “f” yang sering diucapkan menjadi huruf “p” menjadikan orfa terbaca menjadi orpa. Selain itu di koloni Portugis di luar negeri, istilah orfa sendiri sering diasosiasikan dengan Orfãs d’El-Rei yang berarti Yatim Piatu Raja.

Panti asuhan di Spinhuisgracht yang menjadikan nama Gang Orpa. source: observerid.com

Orfãs d’El-Rei sendiri muncul pada 1545. Mereka adalah gadis-gadis muda Portugis berusia antara 12 dan 30 tahun yang dikirim ke luar negeri untuk menikah dengan pemukim Portugis. Dimulai oleh Raja John III yang mengirim Orfãs d’El-Rei ke India, dan kemudian ke koloni Portugis di Afrika dan Malaka. Gadis-gadis itu bisa dari keluarga bangsawan atau bukan bangsawan selama mereka berkulit putih, Katolik dan bereputasi baik. Hal serupa ternyata juga dilakukan oleh VOC, yang mengirimkan wanita-wanita dari Belanda untuk dijadikan sebagai istri di koloni VOC. Namun pada awal abad ke-18 Orfãs d’El-Rei ini kemudian dihentikan. Oya, ketika Afonso de Albuquerque merebut Malaka pada 1511, dia membawa Orfãs d’El-Rei ke Malaka dan kemungkinan Mardijkers dari Malaka cukup familiar dengan istilah ini dan menggunakannya di Batavia. Seiring berjalannya waktu, nama gang ini kemudian dinasionalisasi dan berganti menjadi Jalan Malaka II.

Perjalanan masih akan berlanjut dengan kisah tentang Jalan Tiang Bendera. Tapi untuk sementara kita sampai di sini dulu ya. Saya akan menyambungkan cerita perjalanan di sisi barat tembok Batavia di tulisan berikutnya. Sampai bertemu di lanjutan perjalanan selanjutnya ya!

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s