

Memasuki Tahun Baru Imlek 2573 Kongzili, saya berkesempatan mengikuti walking tour “Lunar Festival” yang diadakan oleh Pieces of Peace dan Jakarta Good Guide. Saya tertarik untuk ikut karena rutenya berbeda dengan rute-rute sebelumnya. Pada rute ini, kami diharuskan berkumpul di Petak Enam di Chandra. Setelah pembagian kelompok, kami kemudian menuju ke halaman depan Pancoran Chinatown Point. Pada tur kali ini, kami akan dipandu oleh Huans.



Rumah Sang Juragan Tembakau
Setelah menjelaskan tentang sejarah Glodok dan Pecinan, kami kemudian menelusuri salah satu jalan di kawasan Asemka. Di sini ada beberapa rumah toko atau yang biasa dikenal dengan ruko. Huans mengatakan bahwa ruko-ruko ini merupakan tempat tinggal yang digunakan oleh orang-orang Tionghoa untuk bergadang. Di lantai bawah biasa digunakan sebagai toko, sedangkan lantai di atasnya sebagai tempat tinggal. Nanti jika anak pemilik toko ini menikah, maka akan dibangun lagi sebuah ruangan di atasnya. Ruko-ruko yang menjulang tinggi ini cukup banyak di kawasan pecinan.







Memasuki salah satu gang, kami kemudian berhenti di depan Rumah Juragan Tembakau dengan pagar berwarna hijau muda. Bangunannya berlantai dua dan bergaya campuran Melayu, Belanda, dan China. Konon pemiliknya adalah seorang juragan tembakau. Dulunya juragan tembakau ini menikah dengan gadis pribumi yang berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Rumah ini meski tampak sepi, tapi sebenarnya masih dihuni. Ketika kami berada di depan rumah ini, tak sengaja dari bangunan di sampingnya keluar mobil. Kata seorang bapak yang berjualan di depannya, orang yang berada di dalam mobil ini adalah penghuninya. Bahkan katanya, dulu aktor Andy Lau pernah menghampiri rumah ini. Entah benar atau bukan, tapi yang jelas ini adalah rumah orang kaya di pecinan.
Bicara tentang bangunannya, rumah ini memiliki 3 pintu yang melambangkan tiga fase kehidupan, yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Selain itu juga ada cermin di atas pintu yang fungsinya untuk menolak bala atau menghindari penghuninya dari hal-hal jahat. Hal ini lazim pada rumah-rumah yang dihuni oleh orang-orang Tionghoa. Oya, satu hal yang cukup unik adalah sebuah plakat batu yang bertuliskan “verponding” yang artinya pajak rumah di jaman Belanda.










Masih di jalan yang sama, ada sebuah rumah yang berada di posisi tusuk sate. Rumah Tusuk Sate ini bukan rumah yang disukai oleh orang Tionghoa, karena akan mendatangkan ketidakberuntungan. Untuk itu cara menanggulanginya adalah dengan memasang guci di atas rumah. Harapannya hal-hal yang tidak baik akan masuk ke dalam guci dan bukan ke dalam rumah. Sayangnya bangunan aslinya sudah dihancurkan dan diganti dengan bangunan baru, termasuk atas dengan gucinya pun ikut lenyap. Hanya meninggalkan sebuah bagian depan bangunan, yang dulunya merupakan sebuah lukisan. Sayangnya sudah pudar dan tak begitu kelihatan.








Meski jalanan di sini tampak sempit, tapi justru di sinilah tempat para pedagang Tionghoa berdagang. Bisa dibilang sebagai kawasan kongsi dagang orang-orang Tionghoa. Sayangnya di hari Minggu mereka tutup, biasanya jalanan di dalam kawasan ini sangat ramai.
Kisah dari Jalan Patekoan
Masih tentang bangunan rumah, kami menuju ke Jalan Perniagaan Raya. Di sini kita langsung dapat melihat sebuah bangunan dengan atap walet, bangunan ini adalah Rumah Marga Souw, keluarga paling kaya di tahun 1700-an. Pendirinya adalah Souw Tian Pie, pernah menjabat sebagai luitenant der Chineezen (letnan Tionghoa) di zaman Hindia-Belanda. Keluarganya sudah turun temurun tinggal di Batavia. Anggota Souw yang terkenal adalah kakak-beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng.


Souw Siauw Tjong adalah salah satu orang terkaya di Batavia pada saat itu, memiliki tanah yang luas di Paroeng Koeda, Kedawoeng Oost (Wetan), dan Ketapang yang berada dalam wilayah Tangerang, Banten. Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng juga berperan dalam pemugaran Klenteng Boen Tek Bio Tangerang tahun 1875 dan Klenteng Kim Tek Ie Batavia tahun 1890. Souw Siauw Keng, kemudian diangkat menjadi luitenant der Chineezen di Tangerang pada tahun 1884.


Jika dilihat dari depan, rumah ini tampak kecil. Tapi jika dilihat dari samping, tampak panjang dan terbagi menjadi beberapa bagian. Bangunannya memang sengaja memanjang dan dibangun hingga dekat dengan sungai. Konon katanya bangunan dekat sungai ini dikarenakan kala itu alat transportasi yang digunakan adalah dengan perahu. Jadi sebuah keistimewaan bagi orang-orang kaya yang memiliki rumah di pinggir sungai.



Jalan di depan rumah Keluarga Souw dahulu dikenal dengan nama Patekoan, yang berarti delapan cangkir teh. Kisahnya berawal dari seorang kapitan bernama Gan Djie dan istrinya yang berasal dari Bali. Kapitan Gan Djie ini adalah seorang saudagar sekaligus pejabat pemerintahan yang dermawan pada tahun 1920-an. Pasangan ini berinisiatif untuk memberikan minuman gratis kepada orang-orang yang berlalu-lalang atau yang sedang berteduh di depan tempat mereka. Mereka menyediakan teh dalam teko sebanyak delapan buah dan bisa diminum oleh siapa saja, karena saat itu tidak ada warung. Jumlah teko ini juga memengaruhi nama jalan ini, karena ata “pat” dalam bahasa Mandarin artinya delapan, sementara “tekoan” itu berarti teko.



Lalu kenapa yang disajikan adalah teh? Konon katanya Kapitan Gan Djie ingin membantu orang-orang agar tidak minum air kotor dari sungai, karena bisa diare. Makanya teh dipilih karena merupakan minuman herbal yang baik untuk tubuh. Tapi kira-kira di mana tempat tinggal kapitan ini? Menurut Huans, lokasi rumah atau kantor Kapitan Gan Djie berada di sekitar bangunan Toko Obat Lay An Tong. Nah, tradisi patekoan ini juga tetap dilanjutkan tapi tak lagi di daerah ini melainkan di Pantjoran Tea House. Oya, nama patekoan ini berubah menjadi perniagaan karena sekitar tahun 1965 terjadi pergantian nama-nama berbau Tionghoa menjadi yang lebih Indonesia, sehingga nama jalan ini pun ikut berubah. Namanya pun mengikuti lokasinya, karena dulu tempat ini menjadi area pertokoan warga Tiongoa untuk berdagang atau berniaga.
Berlanjut ke bangunan yang sedari tadi menarik saya lihat, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Perniagaan atau yang juga disebut dengan nama gereja “Salib Tiga” karena ada tiga salib di atas bangunannya. Gereja ini merupakan salah satu gereja yang tertua di Jakarta. Dulu GKI Perniagaan disebut sebagai gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw Tong. Namun masyarakat kala itu menyebutnya sebagai “gereja Patekoan” karena berada di Jalan Patekoan. Gereja ini dirintis sejak 1868 dan waktu itu dimulai di Jalan Pagerman (dekat Jalan Kopi) oleh seorang penginjil yang bernama Gan Kwee yang berasal dari Amoy (Xianmen), Tiongkok. Kala itu ada 17 orang yang dibaptis oleh seorang pendeta Belanda Ds. de Gaay Fortman, yang kemudian kelak menjadi inti atau cikal bakal “jemaat Patekoan”.



Jemaat GKI Perniagaan pada waktu awal pembentukannya masih berpindah-pindah tempat kebaktian, salah satunya rumah keluarga Gouw Ko di Jalan Angke. Pada tahun 1884, keluarga Gouw Ko menghibahkan 4 rumahnya di Jalan Patekoan 1, yang kini menjadi gedung gereja GKI Perniagaan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian memberi status “Evangelische Chineesche Gemeente tot Uitbreiding van Gods Koninkrijk” kepada jemaat ini pada 1899. Antara tahun 1891-1902 jemaat dilayani oleh Ds. G.A.W Geissler yang diutus oleh “Het Java Committee”. Pada 1952, karena kesulitan pembagian waktu dan tempat sebagian anggota jemaat Patekoan yang berbahasa Hokkian berusaha mencari tempat lain. Hingga kemudian pada 11 April 1952 gedung GKI Pinangsia diresmikan untuk menampung jemaat yang berbahasa Hokkian. Jemaat ini juga kembali terpecah pada 10 Mei 1953. Jemaat Patekoan terbagi dua; sebagian tetap sebagai jemaat Patekoan, dan sebagian lainnya pindah ke Jalan Krekot 28 (sekarang Jalan Samanhudi). Kemudian jemaat yang pindah ke Jalan Krekot kelak bernama GKI Samanhudi.
Baca: JAKARTA: Sudut-Sudut Pinangsia, Part 3
Masih di Jalan Perniagaan Raya, di sini ada bekas bangunan Sekolah Tionghoa yang kini menjadi gedung SMAN 19 Jakarta. Komplek sekolah yang terdiri dari TK hingga SMA ini menyimpan sejarah pendidikan orang-orang Tionghoa. Di sini juga menjadi tempat berdirinya organisasi modern pertama di Batavia dan Hindia Belanda, yaitu Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau Perhimpunan Tionghoa pada 17 Maret 1900. Pendirinya adalah Lie Kim Hok dan Phoa Keng Hek. THHK baru secara resmi diakui Pemerintah Belanda pada 3 Juni 1900. Organisasi ini bahkan menjadi inspirasi berdirinya modern Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908.


Pada 17 Maret 1901, THHK kemudian mendirikan Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan yang disebut Tiong Hoa Hak Tong atau Sekolah Tionghoa. Sekolah ini didirikan untuk merespon ketidakpedulian pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan anak Tionghoa. Sekolah ini merupakan sekolah Tionghoa dan sekolah swasta modern pertama di Hindia Belanda dan tak mengenal tingkatan-tingkatan kelas, sehingga semua umur bisa bercampur. Murid-muridnya berasal dari warga Tionghoa dan pribumi kaya. Mereka diajarkan aljabar, aritmatika, adat istiadat dan budaya Tionghoa oleh guru-guru yang didatangkan langsung dari Tiongkok.


Sekolah ini kemudian berganti nama menjadi sekolah Tiong Hoa Hwee Koan dan membuka cabang hampir di seluruh Indonesia pada 1911. Untuk membedakan nama sekolahnya, sekolah ini dinamakan Patekoan Tiong Hoa Hwe Koan School dan disingkat menjadi Sekolah PA HOA. Di sisi lain, Belanda khawatir dengan tumbuhnya sekolah Tionghoa ini dan kemudian mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS) pada 1907 sebagai tandingannya. HCS ini merupakan sekolah berbahasa Belanda bagi anak Tionghoa.
Baca: JAKARTA: Sudut-Sudut Pinangsia, Part 2


Bangunan yang sering disebut warga sekitar dengan cap-kau yang berarti sembilan belas ini masih mempertahankan keasliannya. Terdapat sebuah plakat di pintu gerbangnya, tertulis “verponding” dengan sejumlah angka. Menandakan bangunan ini telah membayar pajak kepada pemerintah kolonial. Sayangnya kami tidak diijinkan masuk. Tapi katanya bentuk kelasnya seperti sel-sel penjara, dengan teralis besi di bagian atas dinding dan dibiarkan terbuka tapi tetap dilindungi atap genting dan dengan lorong sekolah yang masih ada bau dupa. Sekolah ini akhirnya ditutup pemerintah Indonesia setelah meletusnya G30S dan bangunannya diambil alih oleh negara.



Beralih ke jalan atau gang yang tak jauh dari sekolah. Namanya Gang Lamceng. Di sini ada dua hal ternyata menjadi hidden gems. Pertama adalah Soto Tangkar Dadang Gang Lamceng yang sudah ada sejak 1978, kedua adalah Vihara Ariya Marga atau Nan-jing miao. Kita tidak akan mengunjungi soto tangkarnya, melainkan ke vihara yang ada di dalam gang. Bangunan vihara ini didirikan kira-kira pada 1824 dan dibangun oleh kapitan asal Nanjing, Zhangzhou atau Fujian bernama The Liong Hoei. Vihara atau kelenteng ini merupakan kelenteng serikat bagi orang-orang yang berasal dari Nanjing.
















Menurut cerita, kelenteng ini didirikan dari warisan dari kapitan tersebut karena tidak memiliki keturunan. [UPDATE] Makam kapitan ini dulunya berada di kawasan Taman Anggrek. Karena keluarganya sudah kembali ke Tiongkok dan tidak ada yang mengurus makamnya, kemudian jenazahnya diambil dan diperabukan. Abu sang kapitan ada di dalam altar di bagian belakang kelenteng.
Nah, ada satu yang unik yaitu patung kuda berwarna hitam yang ada di bagian muka kelenteng. [UPDATE] Konon ini adalah kuda kesayangan dari Dewa Kwantong, yang menjadi dewa tuan rumah dari kelenteng ini. Dewa ini adalah dewa perang. Dalam cerita Samkok, sang dewa ini berhasil memenangkan perang dan ketika akan diberikan imbalan, dia justru meminta kuda paling cepat. Kuda ini adalah kuda hitam yang diberi nama Bee Tjiong Koen. Cerita tentang dewa ini ada di relief yang berada di gerbang masuk kelenteng.
Bangunannya masih asli, termasuk untuk bagian lantainya. Hanya sebagian ornamen yang ditambahkan, seperti naga yang melilit di tiang. Ada sebuah plakat di sebelah kanan pintu masuk, yang menunjukkan diresmikannya kelenteng ini di tahun 1824. Uniknya untuk masuk ke dalam, di bawah pintu ada semacam palang kayu kecil. Kata Huans, dulu orang Tionghoa menggunakan baju yang cukup panjang. Jadi ketika masuk harus mengangkat bagian bawah bajunya dan secara otomatis kepalanya menunduk. Artinya ketika masuk kelenteng, menunduk diartikan sebagai menghormati dewa-dewa yang ada di dalamnya. Saat ini kelenteng masih dikelola oleh keluarga yang sama secara turun-temurun dan sekarang dikelola oleh generasi keenam. Mereka tinggal di sekitar kelenteng ini.





Blusukan Ke Dalam Gang Opium
Tak jauh dari Jalan Perniagaan Raya, kita akan memasuki gang-gang yang dulunya adalah Gang Opium. Lokasinya antara Jalan Perniagaan Timur dan Jalan Perniagaan Barat. Kita kembali ke zaman VOC dulu, jadi sejak pertengahan abad ke-17, Batavia dikenal sebagai pusat perdagangan opium dari VOC. Meski ada perdagangan resmi, ada juga perdagangan gelap opium. Karena kewalahan dengan perdagangan gelap, Gubernur Jenderal VOC Van Imhoff, memutuskan untuk mendirikan De Sociëteit tot den Handel in Amfioen (Masyarakat Perdagangan Opium) atau lebih dikenal Amfioensociëteit (Masyarakat Opium) pada 30 November 1745 dengan untuk melakukan monopoli perdagangan opium untuk kepentingan VOC.











Tapi tetap saja perdagangan gelap tetap terjadi. Bahkan pemerintah VOC memberikan ijin resmi berdirinya rumah – rumah untuk menghisap opium. Salah satu yang terkenal adalah Gang Opium, yang terdapat 26 bangunan dengan dua lantai yang semuanya dimanfaatkan untuk penikmat candu (opium). Lantai bawah umumnya digunakan untuk mengisap madat, sedangkan lantai atas untuk prostitusi dan judi. Selain Gang Opium, ada Gang Kali Mati (Jalan Pancoran V), Gang Madat (Jalan Keselamatan), dan Gang Madat Besar (Jalan Kesejahteraan) yang menjadi surga penikmat candu dan prostitusi. Siapa saja boleh datang asalkan mampu membayar.









Meski dulunya menjadi tempat para penikmat candu, kini Gang Opium menjadi salah satu hidden gem bagi yang suka dengan wisata kuliner. Di sini ada Wong Fu Kie yang merupakan restoran Hakka tertua di Jakarta, lalu ada Masakan 19 Chinese Food, dan Bakmi Atu Pasar Pagi. Nah, kita akan membahas Wong Fu Kie ya. Jadi tempat makan ini sudah berdiri sejak 100 tahun yang lalu. Tepatnya berdiri sejak 1925. Lalu apa sih yang membedakan makanan di sini dengan resto tionghoa lainnya? Perbedaannya ada di bumbunya. Di daerah asalnya yang berada daerah Tiongkok bagian selatan, Hakka terkenal dengan cita rasa makanan gurih yang domiman dengan bawang putih. Berbeda dengan Szechuan yang lebih cenderung pedas.


Pemiliknya sekarang bernama Tjokro dan resto ini dulu milik kakeknya. Dulunya lokasi resto bukan di tempat yang sekarang melainkan di jalan raya yang dilalui trem. Namun kemudian pindah di lokasi sekarang sejak 1970an. Menu apa saja yang bisa dipesan di sini? Ada Mun Kiaw Mien, lalu Lindung Cah Fumak (lindung itu semacam belut), kemudian Pek Cham Kee atau Ayam Rebus. Berhubung cuma melewati saja, lain kali akan saya coba untuk mencicipi menu makanan ini. Oya untuk menemukan letak resto ini memang susah-susah gampang. Meski ada papan penunjuk, tapi di depan restonya hanya tulisan Wong Fu Kie dalam tulisan Tionghoa klasik. Perlu pakai google maps jika tak ingin tersasar.


Berjalan ke arah Jalan Perniagaan Barat. Di sini ada banyak bangunan khas Tionghoa yang dulunya berfungsi sebagai toko obat. Salah satunya adalah Roemah Obat Tionghoa Tjia Tjie An Tong. Meski sudah tinggal bangunan saja, tapi kita bisa melihat plakat batu di salah satu sisi bangunan. Oya, An Tong sendiri kalau kata Huans artinya adalah toko obat dalam bahasa Tionghoa. Nah, kalau kita tarik ke belakang lagi ternyata lokasi ini dulunya adalah kawasan pelacuran Jilakeng. Masih ada kaitannya dengan kawasan pelacuran Macao Po yang ada di Jembatan Batu.





Baca: JAKARTA: Sudut-Sudut Pinangsia, Part 1
Sekitar tahun 1800-an, rumah-rumah yang berjejer dari Jalan Perniagaan Raya hingga Jalan Perniagaan Barat dikenal sebagai cikal bakal praktik dan bisnis prostitusi di ibu kota. Lantai bawah rumah biasa dijadikan sebagai ruang madat dan judi, sedangkan lantai atas untuk prostitusi. Salah satu yang terkenal adalah gedung Toko Obat Lay An Tong (meski belum jelas, masih ada hubungannya dengan Kapitan Gan Djie atau tidak, karena dia baru tinggal di sini pada 1920-an). Di gedung ini dulunya sering dikunjungi orang-orang Eropa, khususnya para pejabat Belanda dan juga orang Tionghoa. Mereka datang untuk bersenang-senang menghabiskan malam sambil berdansa dan sekaligus menyalurkan hasrat biologisnya.





Biasanya para pria yang datang ke sini berjudi sambil menikmati tuak dan ditemani pelacur yang menggunakan baju penari cokek. Para pelacur ini umumnya adalah peranakan pribumi atau kiau seng, ayah Tionghoa dan ibu pribumi. Kawasan judi dan madat ini sangat terkenal kala itu, bahkan bisa disebut sebagai Las Vegas van Batavia. Praktek ini perlahan hilang dan bahkan tak ada jejaknya. Bisa jadi karena sengaja dihilangkan dari sejarah Jakarta. Tapi nama Jilakeng masih digunakan hingga sekarang, yaitu menjadi nama Gang Jelakeng.
Cari Keberuntungan di Gang Sempit
Selanjutnya kita berjalan ke arah Jalan Kemenangan melalui gang-gang sempit. Di dalam gang ini ternyata ada satu kelenteng yang cukup unik. Namanya adalah Kelenteng Fat Cu Kung atau Fat Cu Kung Bio. Tuan rumah kelenteng ini adalah dewa rezeki bagi umat Buddha, Taoisme, dan Kong Hu Cu. Saking banyak yang beruntung kala berjudi karena bersembayang di sini, banyak yang salah kaprah kalau dewa yang disembah adalah dewa judi. Padahal sebenarnya dewa yang dipuja adalah dewa rezeki yang memberikan keberuntungan bagi siapa saja yang berdoa kepadanya. Uniknya, kalau ada orang-orang Tionghoa yang hendak berjudi ke Las Vegas atau Makau, mereka berdoa terlebih dulu ke sini. Harapannya nasibnya kelak penuh dengan keberuntungan.



Kelenteng ini masih terbilang muda, bahkan pemiliknya juga masih muda loh. Sayangnya beliau meninggal di 2020 karena terpapar Covid-19. Bangunannya terbilang kecil dan sempit, serta memiliki 2 lantai. Di bagian depannya ada gapura dengan dua ekor naga dan ada patung Buddha dengan muka berjumlah empat. Menurut Huans, ini adalah patung Buddha yang mirip dengan yang ada Thailand. Bisa dibilang yang bersembayang di kelenteng ini berasal dari berbagai aliran. Jadi kita bisa melihat beberapa patung dewa yang memiliki ciri khas yang berbeda satu sama lain.






Ada satu tradisi yang cukup unik dari kelenteng ini, yaitu Kirab Gotong Toa Pekong yang diadakan saat perayaan She Jit atau ulang tahun Dewa Fat Cu Kung. Biasanya diadakan selama dua hari di bulan Oktober. Jadi nantinya setiap kelenteng akan mengirimkan Kim Sien atau patung dewa-dewi. Malam harinya akan ada malam kesenian dan panggung hiburan, serta ramah-tamah dengan para pimpinan kelenteng. Kirab budayanya akan menampilkan Liong dan Barongsai, serta Tatung atau semacam ritual debus dengan menusuk tembus kedua pipinya menggunakan batang logam dan menyayat lidahnya dengan pedang. Selain itu ada arak-arakan kebudayaan Nusantara, dan tentunya puluhan joli atau tandu yang berisi patung para dewa yang berasal dari berbagai kelenteng di seluruh Indonesia. Sayangnya selama pandemi ini kegiatan ini ditiadakan. Semoga kelak setelah tidak ada pandemi, saya bisa melihat langsung kirab ini.
Kisah Tragis Sang Playboy Batavia
Tak terasa perjalanan berkeliling Pecinan ini sudah akan berakhir. Tapi kita melintas sebentar di depan bekas kediaman dari seorang playboy legendaris Batavia, Oey Tambah Sia, yang hidup antara 1827 sampai 1856. Bangunan rumahnya yang berada di Jalan Toko Tiga kini menjadi Toko Lautan Mas yang menjual peralatan selam. Oey Tambah Sia sendiri adalah anak dari Oei Thoay, pemilik toko tembakau terbesar di Batavia yang berasal dari Pekalongan dan memiliki jabatan sebagai luitenant der Chineezen untuk kawasan Kali Besar oleh pemerintah kolonial. Ia juga pengurus Kongkoan atau Dewan Tionghoa pada pemerintahan Hindia-Belanda kala itu.


Oey Tambah Sia atau yang dikenal juga dengan Oey Tamba Sia, atau Oei Tambahsia ini memiliki sifat yang berkebalikan dari ayahnya. Oei Thoay dikenal dengan jiwa dermawan dan sering memberikan pertolongan kepada orang-orang yang tidak mampu, sedangkan Oey Tambah Sia terkenal dengan Ma Lima, madat (menghisap candu), madon (melacur atau bermain perempuan), minum (mabuk minuman keras), main (berjudi), dan maling (mencuri). Khusus untuk maling, Tambah Sia bukan mencuri barang orang lain, melainkan mencuri anak gadis orang, bahkan istri orang. Makanya dia dikenal sebagai seorang playboy yang membuat orang tua para gadis cantik khawatir setengah mati.

Saat Oei Thoay meninggal dunia pada usia 50 tahun. Oey Tambah Sia baru berusia 15 tahun. Dia mendapat warisan berupa lahan di Pasar Baru dan Curug Tangerang. Oey Tambah Sia pun tumbuh menjadi pria yang rupawan dan suka berpakaian mewah, serta bepergian dengan berkuda. Dia juga memiliki bungalow atau Shoehian di Ancol bernama Bintang Mas. Tempat ini dia gunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya, bahkan dia memiliki germo langganan yang memberikan referensi perempuan untuh Oey Tambah Sia. Meski kemudian dia menikah dengan seorang gadis dari keluarga Sim, tak membuatnya berhenti berburu perempuan.
Perilakunya ini seringkali disertai dengan pembunuhan. Bahkan dia sulit ditangkap karena memiliki koneksi dengan para pejabat. Hingga akhirnya dia berhasil ditanggap karena membunuh Tjeng Kie dan Mas Sutejo, gara-gara Oey Tambah Sia cemburu pada Mas Sutejo yang dekat dengan Mas Ajeng Gunjing, pesinden dari Pekalongan yang jadi perempuan simpanannya. Padahal Mas Sutejo sendiri adalah saudara kandung Mas Ajeng. Tjeng Kie sendiri adalah pembantu Oey Tambah Sia yang sengaja diracun untuk memfitnah lawannya. Pengadilan Negeri Landraad lalu memvonis mati Oey Tambah Sia. Grasinya pun ditolak Gubernur Jenderal Duymaer van Twist. Dia kemudan dihukum gantung di depan Balai Kota pada 1851.



Oya, ada yang unik dari Oey Tambah Sia ini. Sungai di depan rumahnya ini menjadi tempat Oey Tambah Sia buang air besar. Banyak orang-orang miskin di sekitar kali Krekot menantinya buang hajat, karena ia menggunakan uang kertas untuk membersihkan pantatnya. Uang kertas itu kemudian dibuang ke sungai dan jadi rebutan warga.
Kisah si playboy ini pun mengakhiri walking tour “Lunar Festival”. Kami kemudian masuk kembali ke Petak Enam di Chandra dan menuju ke Pieces of Peace. Sambil beristirahat kami disuguhkan dengan tea tasting dan juga mendapat bingkisan dan angpao. Perjalanan kali ini memang sangat menarik, karena menjelajahi tempat-tempat yang tidak biasa. Terima kasih sudah membaca, sampai bertemu di perjalanan berikutnya ya!




