JAKARTA: Sisi Barat Batavia, Part 2

Perjalanan menyusuri sisi barat tembok Batavia kini sampai ke tengah-tengah rute. Jika sebelumnya kita melewati Jalan Malaka dengan cerita Roa Malaka, kemudian ke ruko khas Tionghoa, dan sejenak mendengar cerita tentang sejarah sabun B29 dan Gang Orpa, kini kita memasuki wilayah yang dulunya banyak kelilingi kanal.

Menjelajahi Bekas-Bekas Kanal

Kini kita masuk ke Jalan Kopi atau dulunya bernama Utrechtsestraat. Jalan Kopi pertama kali dibangun antara 1632 dan 1650. Dulu tembok kota Batavia memiliki bastion yang menonjolkan bagian tembok yang berfungsi sebagai benteng pertahanan, salah satunya Bastion Utrecht. Namanya sendiri diambil dari kota Utrecht di Belanda. Lalu di ujung jalan ada gerbang di tembok yang diberi nama Utrechtsepoort (i) atau Gerbang Utrecht yang dibangun pada 1651. Penduduk lokal Batavia menyebutnya Pintu Pagerman. Dulu ada tembok sisi barat Batavia di sini, tapi bekasnya sudah tidak ada dan kini digantikan dengan gerbang yang dibangun oleh Pemerintah Kota Jakarta Barat. Nama Utrechtsestraat sendiri baru diubah menjadi Jalan Kopi setelah Indonesia merdeka.

Peta Batavia pada 1672 oleh H.A Breuning. source: observerid.com
Utrechtsepoort yang terlihat dari luar tembok kota dengan Kanal Luar Kota dan jembatan gantung di atas kanal, karya Johannes Rach di abad 18. source: observerid.com
Jembatan Jalan Kopi dengan replika jembatan gantung yang menandani bekas Gerbang Utrecht. source: observerid.com

Tak jauh dari Jalan Kopi terdapat kanal Kali Besar atau kanal Grote Rivier, tepi barat sungai Ciliwung yang dibuat berkanal. Jalan Kopi ini juga menghubungkan beberapa jalan yang disebut dengan Jalan Tiang Bendera, mulai dari Jalan Tiang Bendera dan Jalan Tiang Bendera I hingga VII, serta Jalan Malaka II. Seperti yang sudah saya tulis di awal, kawasan ini dulunya kelilingi kanal. Jika berjalan dari timur ke barat, mulai dari Jalan Kali Besar Barat hingga ke Jalan Kopi di sisi barat, ada tiga kanal yang satu demi satu memotong Jalan Kopi, seperti gambar dari Elias van Stade di bawah ini.

Pemandangan dari jembatan di benteng pertahanan Middelpunt, Utrechtschestraat pada 1709 dengan Gerbang Utrecht di ujung jalan dan Gereja Portugis Dalam di sebelah kanan. Digambarkan oleh Elias van Stade. source: atlasofmutualheritage.nl

Jika dilihat dari gambar Elias van Stade, ada satu bangunan benteng kecil yang dekat dengan Jalan Kopi. Benteng kecil ini adalah Benteng Middlepunt (y) yang dibangun VOC karena merasa tidak aman dan takut jika suatu saat nanti budak-budak di dalam kota akan memberontak. Saking parnonya, VOC membangun benteng-benteng kecil di dalam kota. Benteng ini digunakan VOC saat Pembantaian Tionghoa pada 1740. Mereka menembaki rumah-rumah penduduk Cina di Jalan Kopi dari benteng ini saat terjadinya pembantaiannya. Lokasinya sekarang kemungkinan berada di perempatan yang menghubungkan Jalan Kopi, Jalan Kali Besar Barat, dan Jalan Kunir.

Benteng pertahanan Middelpunt berada di tepi Kali Ciliwung atau Jalan Kali Besar Barat dilihat dari Pisang Brug. Di sisi kanan Middlepunt adalah Jalan Kopi/Utrechtsestraat dan di seberangnya Jalan Kunir. Di ujung tampak jembatan yang kini menghubungkan Jalan Pintu Besar Utara dan Jalan Malaka. Gambar Digambarkan oleh Elias van Stade pada 1709. source: observerid.com

Kanal pertama adalah Jonkersgracht (F) atau kanal bangsawan, yang kini sudah diurug Kanal ini dibangun antara 1637 dan 1638. Kata jonker dalam bahasa Belanda adalah variasi dari kata jonkheer yang secara kasar berarti bangsawan. Ini adalah nama jalan umum yang digunakan di banyak pemukiman Belanda di luar negeri. Di sisi kanal ini terdapat jalan yang terbagi menjadi dua bagian karena terbelah Jalan Kopi. Di bagian utara dikenal dengan Groote Roea Malakka atau Rua Malaka Besar yang kemudian berubah nama menjadi Roea Malakka Nord dan kini menjadi Jalan Roa Malaka Utara. Sedangkan ruas Jalan Roa Malaka di sebelah selatan dikenal dengan nama Kleine Roea Malaka atau Rua Malaka Kecil. Lalu menjadi Roea Malakka Zuid dan kini menjadi Jalan Roa Malaka Selatan.

Rumah di sisi barat Jonkersgracht tampak lebih megah dibandingkan dengan sisi timurnya. Jonkersgracht digambarkan oleh Johan Wolfgang Heydt, seorang seniman dari Belanda sebagai jalan yang sangat indah. Ada rumah Tionghoa dan Eropa di jalan ini. Di kedua sisi kanal terdapat pohon asam yang teduh, menjadikan Jonkersgracht sebagai tempat yang menyenangkan untuk mendayung atau berjalan. Beberapa penjual Tionghoa ada yang menjual minuman dan barang-barang modis di bawah pohon. Salah satu tokoh yang tinggal di sini adalah mantan Gubernur Malaka, Dom Luís Martins de Sousa Chichorro dan istrinya, Dona Maria da Silva.

Pada masa itu Jonkersgracht adalah daerah yang modis. Sebagian besar orang Eropa dan Mixtiezen atau Portugis Putih tinggal di jalan ini, khususnya daerah sekitar Gereja Portugis Dalam. Mereka yang menyebut Jonkersgrachtstraat menjadi Roea Malakka. Pada abad ke-20, Jalan Roa Malaka mulai berubah dari kawasan pemukiman menjadi kawasan komersial. Lambat laun bangunan tempat tinggal berubah menjadi kantor bank, rumah dagang, jalur pelayaran dan perusahaan asuransi. Salah satu kantor yang terkenal adalah AIA Bureau (Algemeen Ingenieurs en Architectenbureau), perusahaan arsitektur milik Ir. Frans Johan Louwrens Ghijzels atau F.J.L. Ghijzels.

Oya, Gereja Portugis Dalam atau Portugeesche Binnenkerk (22) yang terletak di sisi utara persimpangan Jalan Kali Besar Barat, Jalan Kopi dan Jalan Roa Malaka. Gereja pertama ini dibangun untuk Mardijkers dan selesai pada 1673. Mardijkers sendiri adalah para budak yang menerima kebebasan setelah memeluk agama Protestan. Setelah 1663, mereka rata-rata tinggal di voorstad timur baru atau pinggiran kota di luar tembok kota, yang kini merupakan daerah stasiun kereta api Kota. Karena adanya kebutuhan, kemudian mereka membangun Gereja Portugis Luar atau Portugeesche Buitenkerk pada 1695. Gereja dibangun di pemakaman di Jacatraweg (sekarang Jalan Pangeran Jayakarta) yang disebut Jassenkerkhof.

Pemandangan dari Jonkersgracht. Sejajar di depannya adalah Jalan Roa Malaka. Jalan yang berjalan tegak lurus adalah Jalan Kopi. Di sebelah pojok kiri adalah Gereja Portugis Dalam. Gambar dari Johan Wolfgang Heydt pada 1744. source: observerid.com

Kanal kedua yang membelah Jalan Kopi adalah kanal Rhinocerosgracht (E) atau kanal badak. Kanal ini dibangun oleh Kontraktor Tionghoa Jan Kon, yang juga membangun beberapa tembok kota dan bangunan di Batavia. Dia membangunnya pada 13 Mei 1634 dengan bayaran 32 stuiver per depa kubik. Rhinocerosgracht berukuran lebar 15 meter dan dalamnya 2,7 meter. Jalan di sisi kanal ini dikenal dengan jalan Spinhuisgracht yang kemudian menjadi nama-nama Jalan Tiang Bendera. Sisi timur kanal badak kini menjadi Jalan Tiang Bendera II di bagian utara dan Jalan Tiang Bendera III di bagian selatan, sedangkan sisi barat Kanal Badak, kini menjadi Jalan Tiang Bendera I di bagian utara dan Jalan Tiang Bendera IV di bagian selatan. Kanal Badak kemudian diurug sekitar tahun 1930-an dan kini menjadi pemukiman warga.

Lalu kanal ketiga yang membelah Jalan Kopi adalah Stadtsbinnengracht atau Kanal Dalam Kota. Kanal ini kemudian dikenal dengan nama Kali Jelakeng yang dekat dengan Jalan Gedong Panjang, tapi masih belum jelas apakah Kali Jelakeng ini adalah bekas Kanal Dalam Kota atau Kanal Luar Kota (Stadtsbuitengracht). Sebab dulunya hanya ada Stadtsbuitengracht atau Kanal Luar Kota setelah tembok kota. Oya, tembok kota ini dibangun di sekeliling kota sebelum abad ke-19 untuk pertahanan terhadap serangan Sultan Banten di barat dan Sultan Mataram di timur. Lalu untuk memperkuat tembok kota, VOC kemudian membangun Kanal Dalam Kota di bagian dalam atau sisi tembok kota. Adanya dua kanal di luar dan di dalam akan memberikan pertahanan yang lebih kuat terhadap tembok. Di sepanjang Stadtsbinnengracht terdapat jalan yang sekarang disebut Jalan Tiang Bendera V di bagian utara dan Jalan Malaka II di bagian selatan.

Oya, sedikit informasi tentang nama-nama kanal di Batavia kala itu. Belanda menamai banyak kanal di Kota Tua Batavia dengan nama binatang seperti Tijgersgracht atau Kanal Macan, Olifantengracht atau Kanal Gajah, Kaaimansgracht atau Kanal Buaya dan Rhinocerosgracht , atau Kanal Badak. Kemungkinan nama hewan tersebut berasal dari hewan yang ditemukan di sekitar kota pada saat itu. Apalagi hewan-hewan ini tidak ditemukan di alam liar Eropa. Saat itu memang ada beberapa cerita tentang harimau yang memasuki Kota Tua dan buaya yang berenang di kanal dan sungai.

Cerita di Balik Jalan Tiang Bendera

Bicara tentang Jalan Tiang Bendera atau Malaischeweg, sebenarnya ada cerita menarik. Jadi jalan ini merupakan daerah tempat tinggal seorang Kapitan Tionghoa yang bertugas menarik pajak warga Tionghoa. Kapitan ini diangkat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan biasanya adalah orang yang paling kaya di komunitasnya. Tugasnya selain mengurus kebudayaan, keagamaan, kapitan punya kewajiban untuk menarik pajak. Pungutan pajak kepala atau Hoofdgeld der Chineezen ini bertujuan untuk mengisi kas VOC dan membangun prasarana Kota Batavia. Pajak ini mulai diberlakukan pada Oktober 1619 dan meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas orang Tionghoa.

Mulai dari pajak pemungutan suara agar orang Tionghoa yang berusia antara 16 dan 60 tahub terbebas dari kerja paksa dan dinas militer. Biasanya mereka diminta membayar 1,5 rijksdalder setiap bulannya. Lalu ada pajak permainan seperti judi, rumah pelacuran, kuku panjang (karena kuku panjang dianggap sebagai bangsawan), tembakau dan pemotongan babi.

Lalu apa hubungannya dengan tiang bendera? Jadi pada tiga hari pertama setiap bulannya, kapitan Tionghoa akan mengibarkan bendera di depan rumahnya yang menandakan bahwa sudah waktunya untuk orang Tionghoa untuk membayar pajak. Jadi ketika melewati rumah kapitan dan ada bendera yang dikibarkan akan mengingatkan orang Tionghoa untuk bayar pajak. Oya, kenapa hanya orang Tionghoa saja? Karena di dalam kawasan ini banyak tinggal orang-orang Tionghoa yang kaya raya atau berstatus pedagang besar.

Nama jalan ini kemudian menjadi Jalan Tiang Bendera karena bendera yang dikibarkan sangat besar dan tiangnya tinggi. Makna adanya bendera yang dikibarkan tadi bukan hanya untuk tanda segera bayar pajak, tapi juga menandakan bahwa si kapitan Tionghoa siap mendengarkan kasus-kasus pengadilan dan berbagai hal yang jadi kewenangannya. Kapitan Tionghoa pertama yang diangkat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Pieterzoon Coen adalah seorang saudagar Banten yang juga sahabat dekatnya bernama Souw Beng Kong. Tapi dulu rumah Souw Beng Kong dan tiang benderanya tidak berada di lokasi yang sekarang, melainkan di sisi timur kota. Kemungkinan baru pada 1768, rumah Kapitan Tionghoa berada di Jalan Tiang Bendera yang kemudian memengaruhi nama jalan ini sekarang.

Bangunan di Jalan Tiang Bendera

Kita kembali jalan yang berada di sepanjang Rhinocerosgracht. Dulu jalan ini dikenal dengan jalan Spinhuisgracht, karena di sini terdapat Spinhuis (19) atau rumah tempat bagi wanita yang memiliki reputasi buruk. Mereka di sini disuruh membaca Alkitab dan menjahit. Awalnya dulu lokasinya di Bastion Zeeland yang lama (ujung Jalan Malaka II di sebelah selatan). Namun pada 1650 dipindahkan ke dekat Rhinocerosgracht dan dulunya ini mirip seperti rumah tahanan. Pada 1714, ada penambahan bangunan Spinhuis yaitu rumah pengelola, bangunan tambahan untuk para wanita, dan juga semacam ruang isolasi. Meski seperti rumah tahanan, Spinhuis berbeda dengan Vrouwen Tuchthuis atau penjara wanita yang terletak di Heerenstraat yang berada di sisi timur kanal Kali Besar. Karena ada Spinhuis, nama jalan lama kelamaan berubah menjadi Spinhuisgracht. Lokasi Spinhuis ini berada di jalan Spinhuisgracht yang sekarang disebut Jalan Tiang Bendera I.

Spinhuis di Batavia pada 1682. source: observerid.com

Di sebelah Spinhuis terdapat Rumah Sakit Tionghoa pertama atau Chineesch Ziekenhuis (20). Lokasinya berada di sebelah selatan Spinhuis. Pada 1640, rumah sakit ini berupa bangunan gubuk yang terbuat dari bambu. Namun kemudian pada 1661 dibangun dengan bangunan dari batu. Menurut cerita, Kapitan Tiongjoa kedua dari Batavia, Phoa Bing Gam yang membangun Molenvliet dipanggil untuk membangun rumah sakit ini. Pembangunan dan pemeliharaan rumah sakit ini menggunakan uang dari warga Tionghoa yang kaya dan juga pajak-pajak, seperti pajak pemakaman, pernikahan, pesta, pertunjukan wayang Tionghoa, denda, termasuk juga pajak pemungutan suara. Pada 1653 sebuah sekolah kemudian didirikan oleh VOC antara Spinhuis dan Rumah Sakit Tionghoa.

Lalu pada 1729, rumah sakit ini menjadi dua lantai. Di sini tak hanya melayani orang sakit, tapi orang dengan gangguan jiwa juga dikurung di sini. Ada seorang dokter Belanda yang bertugas di sini. Tapi seperti kebanyakan rumah sakit pada saat, kondisinya tidak bersih dan tidak higienis. Pada peristiwa Pembantaian Tionghoa pada 1740, semua pasien rumah sakit ini dibunuh, kecuali orang buta. Setelah itu bangunan ini bertahun-tahun kosong, hingga 1753 digunakan para pengemis sebagai tempat tinggal. Pada 1820, bangunan ini dirobohkan bersama-sama Spinhuis dan batu-batunya digunakan kembali untuk membangun teater Gedung Kesenian atau Schouwburg. Rumah sakit Tionghoa ini kemudian yang kemudian dipindahkan dekat dengan tempat Museum Bank Indonesia sekarang. Plakat batu asli dengan informasi pendirian Rumah Sakit Tionghoa pertama dan para donaturnya kini berada di halaman Gedung Arsip Nasional.

Lalu, ada bangunan apa saja di Jalan Tiang Bendera lainnya? Di sekitar Jalan Kopi dan Jalan Kali Besar Barat dulu berdiri pusat Kota Jacatra atau Jayakarta. Sekitar 1610-an, Batavia masih lahan kosong. Hanya ada masjid, alun-alun, pasar, serta istana Pangeran Jayawikarta atau Jayakarta di sebelah barat sungai Ciliwung. Bahkan pemakaman tua di di pertemuan Jalan Kopi dengan Jalan Tiang Bendera III pada 1619. Kemungkinan reruntuhan Kota Jayakarta berada di sekitar Hotel Omni Batavia atau yang kini menjadi Mercure Jakarta Batavia yang berada di Jalan Kali Besar Barat.

Nah, sebelum kita beralih ke Gudang Barat Batavia, kita akan melalui satu gedung yang cukup unik. Namanya VETCO Building. Letaknya di Jalan Kopi Nomor 18A. Dulu restoran ini cukup ramai, ada Siapakira Restaurant dan Bakmi Ationg. Tapi kalau dari namanya, kemungkinan dulu ini milik dari perusahaan minyak goreng VETCO. Nama minyak goreng ini tentu sangat familiar, tapi kalau kita cari sekarang tentunya akan sulit. Sebab perusahaan minyak goreng ini sudah bangkrut.

Menurut ceritanya, perusahaan produsen VETCO yaitu PT Asap Abadi Coconut Oil dinyatakan pailit pada 3 Agustus 2000. Seluruh asetnya pun disita, seperti bangunan di Jalan Kopi yang dulunya menjadi kantor perusahaan minyak kelapa sawit ini. Bahkan termasuk perkebunan yang berlokasi di Pasaman, Sumatra Barat juga ikut disita. Bangunan ini pun sempat berpindah tangan dan akhirnya menjadi restoran. Sayangnya, entah karena pandemi atau bukan, restorannya tutup.

Logo minyak goreng VETCO. source: barangtempdoeloe.com
Iklan minyak goreng VETCO. source: dokumendjadoel.blogspot.com

Baik, karena Jalan Kopi dan Jalan Tiang Bendera cukup banyak ceritanya, kita akan lanjutkan pada tulisan berikutnya ya. Kita akan menuju sisi barat lainnya, yang mungkin kita sudah sangat familiar dengan beberapa lokasinya.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s