JAKARTA: Sisi Barat Batavia, Part 3

Selesai menjelalahi kawasan bekas kanal di Jalan Kopi, kami kemudian melanjutkan perjalanan ke arah utara. Kita menuju ke kawasan yang tak banyak dilalui jika mengikuti tur Kota Tua, karena biasanya kita menuju ke Galangan Kapal VOC yang berada di Jalan Kakap. Kita justru ke salah satu jalan yang sejajar dengan Jalan Kakap, yaitu Jalan Ekor Kuning. Dulu antara Jalan Kakap atau Werfstraat dan Jalan Ekor Kuning terhubung dengan kanal Chineesegracht yang kini sudah diurug dan menjadi Jalan Kembung. 

Kisah Dari Jalan Ekor Kuning

Nama Ekor Kuning mungkin tak ada artinya, karena penamaan jalan di daerah ini menggunakan nama-nama ikan. Tapi di Jalan Ekor Kuning ini kita bisa menemukan peninggalan dari masa-masa VOC, salah satunya adalah bangunan tua yang di depannya tertulis Maclaine Watson Co. N.V. yang sudah tampak pudar. Bangunan gudang bekas Maclaine Watson Co. N.V. ini memang tampak tidak terawat. Menurut sumber, bangunan beton ini berlanggam arsitektur indis transisi atau modernis, tapi memiliki bentuk arsitektur dutch colonial abad 17. Orientasi timur-barat bangunan menunjukan bahwa bangunan telah mengadaptasi prinsip arsitektur tropis. Sayangnya kita tidak bisa masuk ke dalam karena memang tertutup.

Nah, karena tidak bisa masuk ke dalam, kita coba cari tahu apa itu Maclaine Watson Co. N.V.? Jadi perusahaan dagang Maclaine Watson ini adalah perusahaan yang berpusat di Batavia pada 1827-1964. Dulu mereka perusahaan ini berhubungan langsung dengan Hindia Belanda dan Singapura, khususnya menangani perdagangan ekspor gula Hindia Belanda. Bisa jadi gudang ini dulunya adalah gudang tempat penyimpanan gula yang hendak dikirim ke Belanda. Apalagi Maclaine Watson juga turut campur dalam perdagangan gula di Jawa. Kantor pusat dulu berada di ujung Jalan Tiang Bendera dan Jalan Kali Besar Barat, kini lokasinya menjadi kantor PT Bahari Cahaya Raya (seberang Jembatan Kota Intan).

Kantor Maclaine Watson Co. N.V. di Batavia. source: tandfonline.com

Di sepanjang jalan ini juga bisa ditemukan beberapa toko yang menjual rebana. Para Penjual Rebana ini rata-rata adalah pindahan dari Pasar Ikan Luar Batang. Dari beberapa cerita, dulu di Pasar Ikan memang ada beberapa penjual cinderamata dan alat musik rebana ini. Salah satunya Haji Sulaiman dari Tasikmalaya yang memiliki Toko Setia. Kebanyakan rebana yang dijual berasal dari daerah Bumiayu, Jawa Barat. Dulu memang tidak dijual di toko seperti sekarang ini, melainkan dijual dengan berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya. Kemudian ada beberapa penjual yang akhirnya membuka toko di Pasar Ikan Luar Batang, salah satunya Haji Sulaiman tadi. Dia menjual rebana buatan Bumiayu, Jawa Barat di tokonya. Nama tokonya masih terkenal hingga sekarang, yaitu Toko Setia. Haji Sulaiman merupakan salah satu pedagang yang memiliki peran utama dalam perkembangan rebana di Pasar Ikan.

Perkembangan rebana di Pasar Ikan juga tidak terlepas dari pengrajin rebana di Kaliwadas, Bumiayu. Sekitar 1954, Haji Sulaiman membeli rebana dari Bapak Toip yang merupakan pengrajin rebana di Bumiayu. Para penjual rebana di Pasar Ikan pun ikut memesan rebana dari Bapak Toip. Penjualan rebana di Pasar Ikan yang semakin banyak, juga membuat pengrajin rebana dari Bumiayu kebanjiran pesanan. Puncak kejayan rebana di Pasar Ikan terjadi sekitar 1999-an saat era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Gudang Tepi Barat Batavia

Selepas dari Jalan Ekor Kuning, sampailah di Jalan Pakin. Salah satu bangunan yang tampak adalah Menara Syahbandar. Nah, tak jauh bangunan ini berdiri bangunan Museum Bahari yang merupakan bekas gudang di tepi barat. Jadi dulu VOC membangun beberapa gudang penyimpanan untuk menyimpan rempah-rempah dan berbagai komoditas. sisi timur Ciliwung dan sisi barat Ciliwung. Gudang di bagian timur disebut dengan Gudang Timur atau Oostzijdschee Pakhuizen yang digunakan untuk menyimpan logistik seperti gandum, beras, kacang tanah, kacang ijo dan kue-kue kering untuk perbekalan kapal Belanda. Lalu gudang di bagian barat disebut Gudang Barat atau Westzijdsche Pakhuizen. Gudang Barat ini digunakan untuk menyimpan banyak rempah seperti pala, tembakau, kopra, kayu putih, cengkeh, kayu manis dan lada, serta kopi, teh, tembaga, timah, dan tekstil ebelum diangkut ke banyak pelabuhan di Asia dan Eropa. Di dalam gudang ini juga dilakukan pemilahan dan pengepakan rempah-rempah.

Gudang Barat atau Westzijdsche Pakhuizen (B) kini menjadi Museum Bahari, dan Gudang Kayu (C). source: bataviadigital.perpusnas.go.id

Baca: Jelajah Gudang Timur Batavia

Gudang di bagian barat ini dibangun secara bertahap oleh VOC pada 1652-1759 dan terdiri dari dari empat unit bangunan, dan tiga unit di antaranya yang sekarang digunakan sebagai Museum Bahari. Sedangkan gudang-gudang kayu yang berada di Westzijdsche Pakhuizen dibangun antara 1663-1669 oleh Jacques de Bollan. Lokasi gudang kayu ini berada persis di belakang Museum Bahari. Oya, di dalam kompleks gudang tepi barat juga ada galangan kapal. Lokasi galangan kapal ini menjadi tempat berdirinya Apartemen Mitra Bahari. Galangan kapal yang hingga kini masih utuh ada di Jalan Kakap.

Kembali ke kompleks gudang barat. Beberapa gudang kayu ini masih berdiri hingga sekarang, namun kondisinya memprihatinkan. Ada satu gudang di sisi terluar, sudah dirobohkan karena kondisi yang sudah sangat bobrok. Satu gudang diisi penduduk. Sisanya kosong dan berlumut, serta terendam air sejak 1995. Bahkan ada bangunan tembok yang hampir seusia dengan gudang yang kini menjadi Museum Bahari, atapnya sudah roboh. Gudang-gudang ini menjadi milik Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Di sisi utara gudang-gudang ini masih ada sisa tembok Kota Batavia sisi barat (F) yang tersambung dengan Bastion Zeeburg (D). Sayangnya kita sulit menuju ke sini karena aksesnya sudah ditutup. Tembok Kota Batavia sisi barat bisa kita temukan juga di depan bangunan Museum Bahari.

Akuarium Terbesar di Asia Tenggara

Kita melanjutkan ke Kampung Susun Akuarium yang dulunya bernama Kampung Akuarium. Nama kampung ini sempat menjadi sorotan saat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok melakukan penggusuran pada 11 April 2016. Kala itu penggusuran dilakukan karena Ahok hendak membangun tanggul di tempat berdirinya bangunan warga di samping Museum Bahari dan Pasar Ikan untuk mencegah air laut masuk. Selain itu Ahok berencana merestorasi benteng peninggalan zaman Belanda yang ditemukan tenggelam di dekat permukiman warga Kampung Akuarium. Benteng tersebut ditemukan dalam proses pengurukan seusai penggusuran. Benteng ini kemungkinan merupakan pondasi jembatan yang pernah menghubungkan Pasar Ikan dengan daratan depan gudang rempah yang menjadi Museum Bahari.

Namun kampung ini menyimpan sejarah panjang loh. Dulunya lokasi ini hanya berupa tanah lapang, hingga pada 10 Januari 1898, Pemerintah Hindia Belanda merencana ingin mendirikan laboratorium zoologi pertanian untuk penelitian laut atau biota laut. Penggagasnya bernama Dr. J.C. Koningsberger, kepala laboratorium Zoologi Pertanian di Kebun Raya Bogor. Dia memiliki perhatian pada penelitian tentang fauna laut, selain fauna darat. Apalagi kala itu penelitian tentang fauna laut sama sekali belum terjamah. Koningsberger kemudian menemukan lokasi yang cocok untuk mendirikan laboratorium di Teluk Jakarta. Lokasinya berada di sebelah utara Pasar Ikan, bagian paling selatan Oude Haven Kanal. Pembangunan lalu dilakukan pada September 1904 dan selesai Desember 1905.

Lalu berdirilah Laboratorium Zoologi Pertanian atau Visscherij Laboratorium te Batavia, yang kemudian lebih dikenal dengan Visscherij Station te Batavia atau Stasiun Perikanan Batavia. Kala itu bangunannya masih semi permanen, hingga kemudian dibuat permanen pada 1919-1922. Nama Visscherij Station berganti menjadi Laboratorioum voor het Onderzoek der Zee disingkat LOZ. Pada 1955, nama LOZ berubah menjadi Lembaga Penyelidikan Laut (LPL) dan kemudian berubah menjadi Lembaga Oseanologi Nasional (LON) di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1970.

Mengapa kemudian memengaruhi nama Kampung Akuarium? Jadi pada 12 Desember 1923 dibangun gedung akuarium air laut yang besar di samping gedung laboratorium. Akuarium air laut besar ini dibuka untuk masyarakat umum dan terdapat banyak hewan dan tumbuhan laut di dalamnya. Kawasan ini menjadi destinasi wisata dan menjadi akuriuam yang terbesar dan pertama di Indonesia dan Asia Tenggara saat itu. Namun akurium raksasa ini ditutup dan dipindahkan ke Ancol oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1977 untuk kepentingan pengembangan kawasan Museum Bahari. Lalu warga di sekitar Pasar Ikan mulai masuk ke dalam lahan bekas akuarium.

Pada masa Gubernur Anies Baswedan, dia berjanji untuk membangun kembali permukiman warga di bekas lahan gusuran. Pemprov DKI kemudian membangun kembali Kampung Akuarium dengan ditandai dengan peletakan batu pertama pada 17 Agustus 2020. Kampung Susun Akurium yang terdiri 5 blok dan 241 hunian ini kemudian diresmikan Gubernur Anies pada 17 Agustus 2021. Kami sempat masuk ke dalam dan melihat-lihat rumah susun yang baru diresmikan. Bisa dibilang lebih rapi dan tampak lebih luas.

Baca: Sunda Kelapa dan Sejarah Jakarta

Selanjutnya kita menuju ke Pasar Ikan atau Pasar Heksagon. Untuk cerita tentang pasar ini, bisa dibaca di Sunda Kelapa dan Sejarah Jakarta. Jadi kita langsung menuju ke Tempat Pelelangan Ikan. Tapi karena kami tidak bisa masuk ke dalam, jadi kita cukup melihatnya dari balik gerbangnya. Sebenarnya bangunan Tempat Pelelangan Ikan ini dibangun pada 1631 oleh Pemerintah Hindia Belanda berbarengan dengan Pasar Ikan. Pada 1928 bangunannya berubah menjadi bangunan yang berbentuk huruf U dengan bagian tengah terdapat sebuah bangunan. Dindingnya terbuat dari material kayu dan berseblahan dengan bangunan Pasar Heksagonal. Bentuk bangunan ini masih terus bertahan hingga 1930-an. Pada 1993 bangunan Pasar Ikan dan Pelelangan Ikan ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya. Sekitar 1987, pelelangan ikan ini ditutup dan dipindahkan ke Muara Baru. Sejak itu kawasan ini pemukiman padat dan terlihat kumuh.

Pasar Heksagonal dan Tempat Pelelangan Ikan yang berbentuk seperti huruf U. source: twitter.com/taufikbasari

Baru 2017, Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian, DKI Jakarta merenovasi Tempat Pelelangan Ikan seperti bentuk aslinya. Rencananya akan dibuat sebagai galeri yang menampilkan sejarah peradaban bahari Nusantara, serta berbagai miniatur alat penangkap ikan tradisional sampai modern. Sayangnya karena belum secara resmi dibuka, kita tidak bisa melihat langsung ke dalam. Uniknya di sini juga ada plakat yang bertuliskan puisi karya Bung Karno. Ya semoga saja tempat bisa segera dibuka dan kita bisa menikmati cerita menarik tentang Pasar Ikan dan Batavia di masa lalu.

Tak terasa sudah mulai gelap dan kita sudah sampai di titik paling akhir. Meski agak kecewa karena tidak bisa masuk ke dalam Tempat Pelelangan Ikan yang sudah direnovasi, tapi sudah cukup senang karena bisa menjelajahi rute yang tidak seperti biasanya. Terima kasih sudah membaca ya dan sampai bertemu di perjalanan berikutnya!

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s