

Kota Tua Jakarta memang tidak ada abisnya untuk dijelajahi. Bahkan ada beberapa titik yang belum sempat dikunjungi atau terlewat begitu saja. Apalagi daerah Pelabuhan Sunda Kelapa, di sini terdapat banyak sudut-sudut yang tak semua orang tahu. Beberapa tahun lalu saya sempat mengikuti walking tour Kota Tua bersama Jakarta Good Guide di saat malam hari, perjalanannya dimulai dari Stasiun Jakarta Kota hingga ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Kali ini saya mengikuti kembali, namun khusus mengunjungi sisi utara dari Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah.
Cita Bakal Kota Jakarta
Jika sebelumnya saya ikut tur malam hari, kini agak lebih pagi menjadi tur sore hari. Kami semua diajak berkumpul di depan pintu masuk Pelabuhan Sunda Kelapa. Kali ini yang menjadi pemandu adalah Ibek. Setelah perkenalan, kami kemudian masuk ke dalam dengan membayar tiket masuk sebesar Rp2.500 per orang. Kami lalu berhenti di depan tumpukan kontainer (yang menjadi spot menarik di dalam kawasan pelabuhan ini). Ibek kemudian bercerita tentang sejarah Sunda Kelapa.








Dulu nama daerah ini adalah Kalapa, karena banyak sekali pohon kelapa. Pelabuhan Kalapa merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda atau yang lebih dikenal saat itu sebagai Kerajaan Pajajaran, yang beribu kota di Pakuan Pajajaran (kini menjadi Kota Bogor). Pelabuhan ini diperkiraan sudah ada pada abad ke-5 dan saat itu disebut Sundapura, serta sudah digunakan sebagai pelabuhan sejak zaman Kerajaan Tarumanagara. Pelabuhan ini pada abad ke-12 dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda. Kalapa merupakan pelabuhan terbesar di Jawa Barat, selain Sunda (Banten), Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk yang juga dimiliki Pajajaran. Menurut penulis Portugis Tomé Pires, Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo dalam tempo dua hari.
Banyak kapal-kapal asing yang berlabuh di sini, seperti dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah. Mereka membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu. Lalu pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 mulai banyak para penjelajah Eropa. Namun kekhawatiran justru datang dari Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Demak. Raja Sunda, Prabu Siliwangi pun mencari bantuan agar kelangsungan pelabuhan utama kerajaannya terjamin keamanannya. Pilihan jatuh pada Portugis yang baru saja menguasai kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka pada tahun 1511. Ia kemudian mengutus putra mahkota, Surawisesa, ke Malaka.

Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d’Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme ke Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang. Portugis akan memperoleh akses perdagangan lada (salah satu komoditi paling mahal kala itu) dan hak membangun benteng di Sunda Kelapa. Raja Sunda, Prabu Surawisesa pun memberikan tanah di mulut Ciliwung sebagai tempat berlabuh kapal-kapal Portugis. Selain itu, dia berjanji akan memberikan seribu karung lada kepada Portugis jika benteng sudah dibangun. Untuk menandai peristiwa ini, dibuatlah batu peringatan atau padraõ. Padrão ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis, yaitu di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkih) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur I). Ini merupakan kebiasaan bangsa Portugis saat mereka menemukan tanah baru. Padrão Sunda Kelapa ini sempat hilang dan ditemukan lagi pada tahun 1918. Kini menjadi koleksi Museum Nasional.
Namun sayangnya Portugis gagal untuk memenuhi janjinya karena adanya masalah di Goa, India. Perjanjian ini pula yang memicu serangan Kerajaan Demak ke Sunda Kelapa pada tahun 1527. Kerajaan Demak menugaskan Raden Fatahillah atau Faletehan untuk mengusir Portugis sekaligus merebut Sunda Kelapa. Pada tanggal 22 Juni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah berhasil mengusir orang Portugis dan merebut kota. Nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta, yang artinya “kota kemenangan” atau “kota kejayaan”. Nama ini diambil dari dari dua kata Sanskerta yaitu Jaya yang berarti “kemenangan” dan Karta yang berarti “dicapai” atau bisa diartikan sebagai “kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha”. Tanggal ini di kemudian hari dijadikan hari berdirinya Kota Jakarta.


Pada akhir abad ke-16, bangsa Belanda mulai menjelajahi dunia. Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman tiba pertama kali di Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1596 dengan tujuan utama mencari rempah-rempah dan terbetuklah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Lalu pada 1610, Belanda membuat perjanjian dengan penguasa Jayakarta Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta bahwa Belanda diijinkan membuat gudang dan pos dagang di timur muara sungai Ciliwung. Namun karena dibutuhkan tempat mendirikan basis administrasi dan perdagangan VOC, Jayakarta lalu direbut Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619. J.P. Coen kemudian ingin menamai kota barunya dengan nama Nieuw Hoorn, sesuai kota kelahirannya Hoorn di Belanda. Namun Dewan pimpinan VOC yang disebut De Heeren Zeventien lebih menyukai nama Batavia. Nama nenek moyang bangsa Belanda, mereka adalah suku Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein pada zaman Kekaisaran Romawi. Sejak saat itu, Jayakarta disebut Batavia selama lebih dari 300 tahun. Pada masa pendudukan Dai Nippon yang mulai pada tahun 1942, Batavia diubah namanya menjadi Jakarta. Nama Jakarta merupakan kependekan dari kata Jayakarta. Dalam beberapa literatur, nama Jakarta sempat muncul seperti Xacatara oleh sejarawan Portugis, João de Barros (1553), Jaketra dalam dokumen Banten tahun 1600, serta Jacatra dalam laporan Cornelis de Houtman tahun 1596.
Setelah kemerdekaan, Jakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Statusnya berubah dari Kotapraja menjadi Daerah Tingkat Satu (dipimpin oleh gubernur) pada tahun 1959. Pada tahun 1961, status jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Chusus Ibukota (DCI) yang sekarang dieja menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan tetap dipimpin oleh seorang gubernur.





Oya, beberapa waktu sebelumnya. Saya pernah datang ke Pelabuhan Sunda Kelapa di saat sore hari. Kedatangan saya cukup tepat karena bertepatan dengan terbenamnya matahari. Jika ingin menikmati rasanya menjelajahi pelabuhan tertua di Jakarta ini, kita bisa menyewa sampan atau perahu kecil. Biasanya ada ojek sampan di bawah kapal-kapal besar yang menyewakan perahu dengan harga Rp50.000 sekali naik (bahkan kita bisa menawarnya). Ketika naik perahu ini, kita juga bisa mampir ke perahu pinisi yang tengah bersandar. Tapi sepertinya kita harus membayar kepada pemilik perahu pinisi jika kita ingin naik dan berfoto. Kami kemudian menuju ke laut lepas, di sini terasa kencang sekali ombaknya. Berbeda saat di dalam kanal pelabuhan. Agak khawatir juga karena kami tidak mengenakan jaket pelindung. Nah, di sini kita bisa melihat langsung dua mercusuar kembar yang merupakan garis batas pelabuhan. Satunya berwarna merah, sedangkan satunya berwarna hijau. Setiap kapal harus melaluinya jika akan hendak bersandar di pelabuhan. Tak ada informasi jelas tentang mercusuar kembar ini, tapi keduanya terbilang baru.





Pusat Perdagangan Batavia
Kembali ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Dulu ketika dikuasi oleh Belanda, pelabuhan ini direnovasi. Semula hanya memiliki kanal sepanjang 810 meter, kemudian diperbesar hingga menjadi 1.825 meter. Pada awal abad ke-19, pelabuhan mulai sepi akibat terjadinya pendangkalan air di daerah sekitar pelabuhan sehingga menyulitkan kapal untuk berlabuh. Padahal kala itu Terusan Suez baru saja dibuka dan seharusnya bisa menjadi peluang besar untuk Batavia. Belanda kemudian mencari tempat baru untuk mengembangkan pelabuhan baru, yaitu di kawasan Tanjung Priok.


Di masa jayanya, pelabuhan ini mengirim berbagai komoditas ke beberapa pulau hingga ke Eropa. Bahkan bisa masuk ke dalam Sungai Ciliwung dengan menyusuri kanal-kanal serta melintasi Jembatan Kota Intan. Pelabuhan ini juga pernah digunakan untuk masyarakat yang hendak naik haji ke Mekah. Kini Pelabuhan Sunda Kelapa hanya melayani jasa untuk kapal antar pulau di Indonesia. Pelabuhan ini terdiri atas dua pelabuhan utama dan pelabuhan Kalibaru. Jenis kapal yang bisa kita jumpai adalah kapal Pinisi, kapal khas Bugis Makassar, sama seperti jenis kapal yang dulu berlabuh di pelabuhan ini. Bahkan bongkar muat barang di pelabuhan ini masih menggunakan cara tradisional. Meski sempat berganti nama, akhirnya pada 6 Maret 1974 nama Sunda Kelapa ditetapkan sebagai nama resmi pelabuhan ini.






Bicara tentang pelabuhan, maka tak lepas dari keberadaan Menara Syahbandar. Bangunan yang berada di tepi barat muara Ciliwung ini dulunya bernama De Uitkijkpost. Menara ini didirikan pada tahun 1839 di atas bekas Bastion Culemborg (E) yang dulunya dibangun tahun 1645 dan menjadi bagian dari tembok kota di tepi barat. Dulunya fungsi menara pemantau sudah dibangun di dekat Bastion Culemborg dengan bentuk tiang menara bendera dengan pos yang dijaga petugas (VII). Lokasinya berada di pojok antara Kali Pakin dan Kali Besar (oya, dulu Kali Pakin belum ada ya). Namun tiang bendera ini dibongkar pada tahun 1826. Menara Syahbandar ini kemudian berfungsi sebagai pemantau bagi kapal-kapal yang keluar-masuk Batavia, baik ke arah pelabuhan Sunda Kelapa dan laut lepas di sebelah utara, maupun ke arah Kota Batavia di sebelah selatannya, serta kantor pabean atau bea cukai yang mengumpulkan pajak atas barang-barang yang dibongkar di pelabuhan Sunda Kelapa.



Menara Syahbandar dibangun dengan bentuk persegi panjang berukuran 4×8 meter dan tinggi 12 meter. Bangunannya bergaya arsitektur Dutch Closed dan terdapat 3 tingkat dengan ruangan masing-masing. Di lantai bawah bisa kita temukan prasasti dengan tulisan Tionghoa yang menandai kedatangan saudagar Tionghoa di abad ke-17. Selain juga ada satu prasasti lainnya, yang juga dengan tulisan Tionghoa, namun lokasinya di ruang koleksi yang isinya menyatakan bahwa tempat ini adalah kantor pengukuran dan penimbangan serta di sinilah titik nol Jakarta. Nah di lantai bawah ini juga terdapat ruangan yang menjadi tempat untuk mengurung awak buah kapal yang melanggar aturan pelabuhan atau mencuri. Mereka biasa dikurung hingga 2 bulan, namun saking pengapnya mereka terserang penyakit kuning. Lalu di bagian paling atas terdapat ruang pengamatan berbentuk loteng dengan empat jendela besar. Dari sini kita bisa melihat pemandangan Galangan Kapal VOC, kampung Akuarium, pasar ikan sampai Pelabuhan Sunda Kelapa. Bagian bawah menara ini terdapat ruang bawah tanah untuk perlindungan, karena dulunya ini merupakan bekas benteng. Di sin juga ada pintu terowongan bawah tanah yang konon tembus hingga Museum Fatahillah atau Stadhuis dan bahkan Masjid Istiqlal, yang dulunya merupakan Benteng Frederik Hendrik.


Selain menara ini, ada tiga bangunan lainnya yaitu gedung di sebelah timur menara yang menghadap keluar atau di sebelah barat Sungai Ciliwung, yang digunakan sebagai kantor pabean, lalu gedung yang berhadapan dengan menara dan gedung Pabean, pada jaman VOC digunakan sebagai gedung navigasi atau gudang perlengkapan kapal, kini menjadi Gedung Tera atau ruang koleksi, dan gedung yang terletak di depan pintu gerbang kompleks menara ini dulunya dipergunakan oleh VOC sebagai kantor perdagangannya.
Ketika pembangunan pelabuhan Tanjung Priok selesai pada tahun 1886, fungsi menara ini berkurang. Namun tetap dijadikan menara pengawas dan kantor syahbandar untuk Pelabuhan Pasar Ikan pada tahun 1926-1967 dan kemudian pindah di Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1967. Pada masa pendudukan Jepang, menara dan gudang di kawasan ini menjadi gudang penyimpanan logistik. Sekitar tahun 1950-an, gedung ini pernah dijadikan sebagai kantor Kepolisian Penjaringan. Baru pada tahun 1976, bangunan ini dipugar bersamaan dengan gudang-gudang yang kini menjadi Museum Bahari. Pada tahun 1977, menara ini menjadi bagian dari Museum Bahari dan Gubernur Ali Sadikin menambahkan tugu prasasti penanda titik nol kilometer Jakarta pada waktu itu. Namun pada tahun 1980-an, Kilometer 0 Jakarta dipindah ke Monumen Nasional (Monas).




Menara yang pernah menjadi bangunan tertinggi di Batavia pada abad ke-18 ini kini memiliki sebutan sebagai menara miring. Bahkan kemiringannya mencapai sekitar empat derajat ke arah selatan. Hal ini dikarenakan lokasinya persis di jalan raya yang setiap harinya dilalui kendaraan besar, seperti kontainer dan truk-truk besar yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah. Bahkan ada yang menyebutkan menara goyang karena akan terasa bergetar saat ada kendaraan besar yang lewat.
Gedung Bea Cukai dan Pasar Ikan
Sekarang kita akan mencoba untuk kembali ke masa-masa Batavia kala itu. Ternyata ada banyak bangunan dan sungai yang sudah tidak ada lagi (bahkan ada sungai yang baru dibuat di wilayah ini). Pertama tentunya adalah Museum Bahari yang dulunya bagian Westzijdsche Pakhuizen (B) atau gudang di tepi barat yang dibangun pada tahun 1652. Di bagian depan bangunan ini terdapat tembok kota Batavia yang dibangun pada tahun 1645. Nah di sini merupakan gudang penyimpanan pala, lada, kopi, teh dan kain dalam jumlah yang sangat besar. Beberapa hal yang menjadi diri khas bangunan ini adalah besi angkur berbentuk yang menyerupai huruf Y terbalik. Selain menghubungkan balok-balok kayu dalam bangunan, fungsi besi angkur ini adalah ketika terjadi gempa, jadi bangunan tidak roboh ke arah luar melainkan ke arah dalam. Di beberapa pintu bangunan juga dijumpai angka tahun yang berbeda-beda, antara lain 1718, 1719, atau 1771. Angka-angka tersebut menunjuk pada peristiwa perbaikan, perluasan, atau penambahan gudang. Lain kali kita akan telusuri sendiri untuk Museum Bahari ini.





Nah, tepat disebelahnya atau di bagian selatan terdapat Vierkant (III). Apa itu vierkant? Jadi ini dulu dinamakan Rumah Inggris atau English Lodge yang dibangun pada tahun 1618 yang berfungsi menerima tamu. Sekitar tahun 1619 terdapat pos pabean yang dilengkapi meriam untuk menjaga mulut Ciliwung. Bahkan dulu gedung bea cukai di sini dilengkapi dengan sebuah batang. Batang tersebut melintas di atas sungai untuk menutupinya dan baru dibuka setelah bea cukai dilunasi. Pada tahun 1620, namanya berubah menjadi Huis van Generalen ontvang, dan akhirnya berubah menjadi Bastion Vierkant pada periode tahun 1627-1632. Fungsi komplek di vierkant ini kemudian menjadi tempat tinggal bagi pegawai-pegawai kantor bea cukai. Hingga kemudian rumah-rumah di Vierkant dan pos-pos penjagaan Culemborg dinilai tidak dapat dihuni dan pada tahun 1790 mendapat julukan daerah tanpa penghuni atau jalan tanpa penghuni. Kira-kira tahun 1878 lokasi ini dihancurkan dan kini menjadi kompleks pertokoan di Jalan Ekor Kuning. Beberapa orang, khususnya masyarakat Betawi masih menyebutnya dengan daerah Pabean.

Masih berkaitan dengan vierkant, dulu tepat di depannya terdapat kanal Stads-buitengracht atau Kanal Timur yang sudah ada sejak tahun 1662. Di sini juga terdapat Vierkantsbrug (V) atau jembatan ungkit atau gantung yang menghubungkan tempat pelelangan ikan dengan vierkant. Namun kemudian jembatan ini dibongkar sebelum 1920 dan ketika Pasar Ikan atau Pasar Heksagon dibangun tahun 1927, aliran air antara Kanal Timur dan Kanal Utara diurug untuk menghubungkan ujung jalan di depan Museum Bahari dengan Pasar Ikan. Pada saat penataan kawasan ini sekitar Juni 2020, ditemukan batu-batu bekas fondasi jembatan Vierkant tersebut.



Bicara tentang Pasar Ikan (a), sebenarnya pulau ini terbentuk dari hasil proses sedimentasi muara Sungai Ciliwung. Pada tahun 1846, pulau ini dimanfaatkan sebagai pasar dan tempat pelelangan ikan. Namun sebelumnya pasar ikan atau vischmarkt sudah ada sejak tahun 1631 dan lokasinya berada di sebelah timur Sungai Ciliwung, di atas laut dengan panggung dan atap. Baru kemudian pindah ke sebelah barat di sebuah dermaga ketika pelebaran taman di depan Kastil Batavia pada tahun 1636. Pasar ini berbatasan dengan dua kanal yaitu Maleischegracht dan Kali Besar. Sejak tahun 1672, nelayan-nelayan yang berjualan di Pasar Ikan bukan hanya orang Batavia, tetapi datang dari daerah pantai Utara Jawa Tengah, Jawa Timur dan Cirebon atau “orang-orang wetan” serta orang Tionghoa. Kawasan di sebelah Utara menjadi tempat tinggal para nelayan dan penampungan sementara bagi awak kapal hendak masuk pelabuhan sambil menunggu ijin berlabuh. Lama kelamaan, kawasan tersebut dikenal dengan nama Kampung Luar Batang atau kampung yang berada di luar pos pemeriksaan. Namun karena padat dan kumuh, menyebabkan wabah dan membuat banyak nelayan yang meninggal.







Apa saja yang dijual di Pasar Ikan ini? Mulai dari ikan barong, ikan kakap (kaalkop), ikan krapu, ikan kurau, dan segala siput laut. Baru pada tahun 1846, pasar dipindahkan ke gedung yang terletak di seberang penginapan (Stadsherberg) yang berasa di pelabuhan Sunda Kelapa. Sekitar 1920-an, Pasar Ikan dibangun dengan bentuk bangunan heksagonal, di mana bangunan ini terdiri dari empat bangunan berbentuk segi enam yang dihubungkan dengan bentuk atap pelana. Jika dilihat dari atas mirip benteng dengan empat kubu pertahanan. Sebenarnya pada awalnya bangunan ini adalah fasilitas teknis dari pelabuhan ikan di Pasar Ikan. Pasar ini kemudian dimanfaatkan sebagai tempat pendaratan ikan dan pelelangan ikan. Seiring waktu, pasar ini tak hanya menjual ikan, tapi juga berbagai barang, kain, peralatan nelayan dan peralatan musik tradisional Betawi. Sebelum digusur, namanya dikenal dengan Pasar Ikan Luar Batang. Sedangkan pelelangan ikannya tak digunakan sejak tahun 1987, karena dipindahkan ke Muara Baru. Sejak itu banyak pemukiman liar yang menutupi cagar budaya ini. Hingga pada tahun 2016 dilakukan penggusuran untuk melakukan program revitalisasi.








Bekas Galangan Kapal VOC
Kini kita beralih menuju ke arah selatan. Ada satu bangunan dengan tulisan Galangan VOC. Bangunan bergaya tertutup atau Closed Dutch Style ini juga memiliki konsep yang sama dengan Museum Bahari, yaitu adanya besi angkur berbentuk huruf Y terbalik, sebagai salah satu antisipasi robohnya bangunan pada saat gempa. Dulunya bangunan ini adalah kantor pusat kegiatan perusahaan dagang Hindia Belanda, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang didirikan pada 1628 di atas tanah bekas kubu pertahanan Inggris yang pertama dan berseberangan dengan Kastil Batavia. Di sini pula dulu merupakan lokasi tiang bendera sekaligus pos penjaga untuk kapal-kapal yang masuk ke Batavia, sebelum akhirnya dihancurkan pada 1826 dan kemudian fungsinya digantikan dengan Menara Syahbandar.

Galangan kapal yang dulu dinamakan Compagnies Timmer-en Scheepswerf atau Timmerwerf (Pelabuhan Pembuat Kapal) ini pernah terbakar tahun 1721 karena kebakaran hebat yang merembet dari vierkant. Di bagian utara bangunan terdapat Equipagepakhuizen atau gudang barang keperluan galangan kapal, seperti jangkar, tali tambang, layar, dayung, tongkang, dan perahu untuk membawa material dan para tukang ke pelabuhan atau ke Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Gudang dengan atap kembar ini kemudian diganti dengan gudang lain yang beratap tiga tingkat dan lebih rendah pada tahun 1920.

Bangunan galangan kapal ini sendiri berbentuk U yang terbuka ke arah Kali Besar. Di dalam kawasan ini terdapat kantor equipagemeester yaitu kepala urusan perkapalan VOC dan tempat bekerja para tukang perbaikan kapal, serta pandai besi, pembuat peta, kompas dan jam pasir. Biasanya para tukang ini bekerja di dalam bengkel dan pekarangan galangan kapal atau equipagewerf. Pada awalnya kapal-kapal besar VOC dibawa ke galangan untuk diperbaiki. Namun karena adanya pendangkalan Kali Besar mengakibatkan kapal besar tidak bisa masuk, sehingga kapal-kapal besar diperbaiki di Pulau Onrust. Sejak itu galangan kapal hanya digunakan untuk memperbaiki kapal-kapal berukuran kecil dan sedang. Lalu tahun 1746 sebagian bangunan digunakan sebagai kantor pos pertama di Batavia yang didirikan oleh Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff. Di tahun 1809, galangan kapal ditutup karena Gubernur Jenderal Daendels tidak bersedia memelihara bangunan ini dan disewakan kepada seorang tukang kayu berkebangsaan Tionghoa. Baru pada tahun 1812 ditambahkan selasar yang menghadap ke sungai dan dindingnya diberi batu. Kemudian pada tahun 1826-1859, bangunan ini digunakan sebagai tempat transit penumpang kapal laut. Sebab kala itu kapal-kapal besar terpaksa berlabuh di lepas pantai karena pelabuhan terlalu dangkal. Sehingga para penumpang naik atau turun dengan menggunakan sampan pengumpan.


Sekitar abad ke-19, galangan kapal ini menjadi milik Pensioensfonds voor de Europeese en voor gelijkgestelde militairen beneden den opsier in Nederlandsch-Indië atau organisasi dana pensiun. Setelah era kemerdekaan, pada tahun 1950 sampai 1960-an bangunan ini menjadi milik TNI dan menjadi tempat penyimpanan perlengkapan tentara NICA yang sudah dilucuti. Tahun 1978 Gubernur Ali Sadikin membangun saluran penghubung yang kini disebut Kali Pakin, yang mengakibatkan sebagian bangunan galangan dipangkas.
Nah, sebelum kita menuju ke selatan lagi. Kita mau mengulik apa saja bangunan yang sebenarnya ada di sini. Karena kalau kita lihat, yang selalu orang tahu hanya Galangan VOC saja. Namun sebenarnya kompleks galangan kapal ini sampai ke bangunan yang ada di sebelah selatannya, yaitu Restoran Chinese Cuisine. Lalu di sebelah selatannya ada kanal Chineesegracht yang kini sudah diurug dan menjadi Jalan Kembung. Bangunan-bangunan di sini dimiliki oleh beberapa orang yang berbeda. Untuk bangunan yang utara kepemilikannya berganti-ganti, hingga pada 1997, Susilawati atau Then Tjuk Lan membeli gedung galangan ini untuk dijadikan ruko. Namun karena diberitahu bahwa bangunan itu adalah cagar budaya, dia dilarang untuk merobohkannya. Susilawati kemudian merenovasinya pada tahun 1998 hingga 1999, dengan harapan bisa menghidupkan kembali fungsi bangunan. Setelah dipugar, bangunannya dialihfungsikan menjadi kafe di lantai satu, dan di lantai dua menjadi restoran, galeri dan ruang serbaguna. Sayangnya pada tahun 1998, Jakarta dilanda kerusuhan dan membuat bisnis Susilawati bangkrut. Meski demikian restorasi bangunan tetap dilanjutkan dengan biaya sendiri. Susilawati sempat ingin menjual bangunan ini karena sudah tidak punya motif ekonomi. Apalagi setiap tahun dia harus mengeluarkan uang ratusan juga untuk membayar PBB dan listrik.
Sedangkan gedung bagian selatan digunakan sebagai Restoran Chinese Cuisine. Keduanya bisa dibedakan, karena gedung utara memiliki jendela kayu berdaun ganda dan pintu masuk yang diberi kanopi tambahandan gedung selatan memiliki jendela panel kaca yang sebagian dinaungi oleh kanopi berbentuk lengkung.

Di bagian selatan ada satu restoran yang dulunya adalah bangunan bekas Ankerwerf atau Dermaga Jangkar. Anker Timmer Werf atau Ankerwerf ini tidak diketahui kapan dibangunnya tetapi diperkirakan menjelang akhir abad ke-17. Di dermaga ini biasanya digunakan sebagai pembuatan dan gudang penyimpanan jangkar kapal dan juga terdapat gudang gula yang besar. Jika Timmerwerf digunakan untuk memperbaiki kapal kecil dan sedang, Ankerwerf sendiri digunakan sebagai tempat untuk memperbaiki kapal jung Cina. Pada tahun 1834, Ankerwerf menjadi bagian dari kantor pabean besar atau Grote Boom dan kantor pusat pelabuhan atau havenkantoor.


Sekitar tahun 1990-an, Ankerwerf dipugar oleh pemiliknya yaitu PT Karya Tehnik Utama. Setelah pemugaran selesai, bangunan diambil alih oleh Restoran Raja Kuring yang menjalankan setengah bangunan sebagai restoran. Sebagian bangunan kala itu digunakan sebagai rumah burung walet. Namun pada Juni 2018 ada beberapa bagian yang ambruk karena kayu yang membusuk dan rapuh. Bangunan ini juga sering dikenal dengan sebutan Gedung Palang.


Nah, tadi sempat disinggung tentang Grote Boom. Ini adalah nama untuk Pos Pabean Besar. Lokasinya di tepi barat Sungai Ciliwung atau kalau sekarang berada di ujung selatan Restoran Raja Kuring. Bangunan berlantai dua ini berdiri dari tahun 1834 hingga 1852, karena setelah itu dipindahkan ke di sisi timur kanal pelabuhan lama Batavia. Supaya para pendatang tak perlu bolak-balik dari pabean kecil ke pabean besar atau sebaliknya. Selain Grote Boom ada juga yang namanya Kleine Boom atau pos pabean kecil. Lokasinya berada di tepi barat kanal pelabuhan lama Batavia. Tapi kemudian dipindah ke tepi timur kanal dekat dengan Stadsherberg pada tahun 1848. Pos pabean kecil ini menjadi landingplaats atau tempat melabuh dan bongkar muat sebelum meneruskan perjalanan ke Batavia.


Sebenarnya perjalanan tidak berhenti di sini, tapi karena lokasi berikutnya sudah saya sering tulis jadi kita berhenti di sini. Tapi kalau penasaran, dua lokasi berikutnya adalah Jembatan Kota Intan dan Padrao di Jalan Cengkeh yang bisa dibaca di tulisan saya sebelumnya.
Nah, ternyata panjang ya ceritanya. Meski sebenarnya untuk rutenya sendiri tidak terlalu jauh. Jujur sebenarnya masih penasaran, karena saat ikut walking tour ini terkendala hujan di tengah-tengah acara. Mungkin itu tandanya saya harus ikut lagi untuk menjelajah kawasan ini. Terima kasih sudah membaca ya, sampai bertemu di perjalanan berikutnya.
One thought